Bab 623 Aku Hanya Bisa Bersamamu, Tak Bisa dengan Orang Lain?
Mendengar ucapannya, tatapan Xu Zhan terlihat rumit, menatapnya dalam-dalam. "Awalnya aku ingin memverifikasi apakah dia memiliki hasrat posesif sebagai pria padamu. Jika hasilnya baik, aku akan memberimu selamat sebagai teman. Jika buruk, kurasa kau akan putus asa, sehingga aku masih punya kesempatan mengejarmu... Tapi sekarang, kita hanya akan tetap jadi teman!"
Perlahan ia menatap balik Xu Zhan. "Sebenarnya aku selalu merasa bersalah telah membatalkan pertunangan kita dulu. Meski saat itu berita pertunangan kita tak diumumkan ke publik, tapi ini telah mengecewakan ketulusan keluarga Xu... Tapi sungguh, seumur hidupku tak mungkin menyukai orang lain. Hanya dia yang kucintai. Jika tak bisa bersamanya, lebih baik aku menghabiskan sisa hidup dalam kesepian."
Xu Zhan menyeringai pahit, tersenyum getir sambil menghabiskan arak merah di hadapannya. "Sejak pandangan pertama, hatiku sudah berdebar kencang. Perasaan yang tak pernah kurasakan pada wanita manapun sebelumnya." Entah karena pengaruh alkohol, suaranya terdengar berat bak gemuruh laut dalam.
Dengan lembut ia menghibur, "Di kemudian hari kau pasti akan bertemu gadis yang lebih membuatmu berdebar."
Xu Zhan kembali tersenyum, tiba-tiba menatapnya dengan serius. "Mungkin... Tapi sampai detik ini, aku masih ingin mengatakannya padamu. Jika suatu hari kau berhasil melupakannya, kuharap kau memberitahuku. Agar aku bisa mengejarmu."
"Baik, jika memang suatu hari nanti terjadi. Tapi kurasa tak akan pernah ada hari seperti itu," jawabnya tegas.
Xu Zhan menggeleng, "Jangan bicara terlalu cepat. Karena, hati bisa lelah. Saat lelah itu tak tertahankan lagi, kau akan menyerah..."
……
"Bagaimanapun, dia memutuskan untuk mengikuti rencana awal Xu Zhan, tinggal semalam bersama Xu Zhan di kamar hotel."
"Meski besok akan dimaki olehnya, setidaknya bisa bertemu dengannya."
"Xu Zhan menemani orang bijak sampai taruhan nyawa, membiarkannya tidur di ranjang sementara ia sendiri tidur di sofa."
"Saat pagi tiba, mereka bersama-sama keluar dari hotel sambil tertawa bercanda."
"Xu Zhan mengantarnya kembali ke apartemen. Awalnya dia ingin mandi dan berganti pakaian lalu meminta Tang Kai mengantarnya ke Yilin, karena mengira pria itu takkan datang sepagi ini. Tapi saat Jie Teng membukakan pintu sambil menggerakkan alis dan mata, dia tahu ia sudah datang..."
"Setelah memakai sandal, dengan rileks dia menyapa pria tampan berbaju jas rapi yang duduk muram di sofa, 'Kak...kau datang.'"
"Ia bangkit dari sofa, sorot mata dingin bak bintang es menatapnya dengan muram, 'Sudah berapa hari kau berpacaran dengan Xu Zhan?'"
"'Graaah...' Dia berpura-pura lelah sambil menggeliatkan leher. 'Baru saja mulai.'"
"Mendengar itu, keningnya berkerut seperti aliran sungai. 'Baru pacaran sudah menginap di luar bersamanya.'"
"Dia menatapnya. Dalam cahaya pagi yang kelabu, bayangan tinggi tubuhnya bergerak mendekat. Wajah tampannya menyimpan kegelapan yang tak dipahaminya."
"Dia tidak menjawab."
"'Begini cara keluarga Mu mengajarimu?' Suaranya membeku."
"'Kupikir Kakak bilang takkan datang lagi menemuiku.'"
"'Jadi begini caramu menghancurkan diri?'"
"Dia memandangnya saat ini, tapi tak bisa sepenuhnya membaca ekspresinya."
"Faktanya tidak ada yang terjadi antara aku dan dia, karena semalam saat makan bersama aku minum banyak arak, jadi dia hanya mengantarku ke hotel untuk istirahat sementara." jawabnya pelan.
"Apakah gadis baik-baik akan sembarangan membiarkan pria mengantar ke hotel?" sergahnya dengan suara muram.
Entah mengapa, dia merasa pria itu sangat marah, bahkan meski tidak ada yang terjadi saat dia ke hotel dengan Xu Zhan, ia tetap tak mengizinkannya.
Ini membuatnya merasa seperti hasrat posesif yang disebut Xu Zhan, membuatnya bahagia sekaligus getir.
Dia menatap tajam matanya, "Kakak bilang aku bukan gadis baik?"
"Jangan terulang lagi!" Tiba-tiba dia memuntahkan empat kata ini.
"Mengapa?" Kali ini gilirannya menyergah. "Kakak yang ingin aku punya pacar, sekarang aku sudah punya pacar, mengapa kakak jadi begitu ketat?"
"Seorang gadis harus angun, bukan sembarangan memberi kesempatan pada pria." Akhirnya dia memberi jawaban.
Dia melawan balik, "Aku paling suka Xu Zhan, tidak boleh apa?"
Guan Yumo menatapnya dengan ekspresi muram,
"Atau kakak pikir, aku hanya boleh berhubungan intim denganmu, tidak boleh dengan orang lain?" lanjutnya.
Mendengar ini, Guan Yumo mengangkat tangan.
Dia sudah menutup mata, mengira pipinya akan terasa sakit terbakar. Tapi nyatanya, rasa sakit yang ditakuti tak kunjung datang. Perlahan dia membuka mata.
Tangannya masih menggantung di udara, dadanya naik turun hebat karena emosi. Perlahan, ia menurunkan tangannya dengan gerakan kasar.
Kesunyian tiba-tiba memenuhi ruang di antara mereka. Meski lingkungan sekitar terang benderang, tiba-tiba muncul aura penindasan yang mencekam.
"Kalau bukan karena kelakuan keterlaluanmu sebelumnya, urusan belakangan ini takkan terjadi."
"Andai Kak tak menginginkanku, meski aku pernah bertindak keterlaluan sekali, urusan selanjutnya tetap takkan terjadi."
Pertama kalinya, ia kehilangan kata-kata.
Dia memandanginya dengan kepedihan, "Kalau Kak berpikir perempuan harus menjaga reputasinya, sekarang aku sudah jadi milik Kak. Bukankah Kak juga harus bertanggung jawab?"
Wajah tampannya dingin. Bola mata hitamnya diselimuti kabut abu-abu yang tak bisa ditembusnya. "Jangan banyak bicara."
Dia tahu meski terus menginterogasi, akhirnya takkan mendapat hasil yang diinginkan. Karena pria ini tipe yang takkan berubah setelah memutuskan.
Perlahan dia menundukkan leher, memandang lantai kayu yang mengilap.
Mungkin ekspresinya yang memelas ini menimbulkan belas kasihan. Ia menghela napas panjang. "Aku hanya ingin kau lebih waspada memilih orang. Semuanya harus bertahap."
Tiba-tiba dia merangkulnya, tak kuasa menahan diri. "Sebenarnya aku tidak pacaran dengan Xu Zhan... Semalam aku benar-benar mabuk, dia cuma mengantarku istirahat di hotel."
Dia masih tak berani mengaku bahwa semalam semua itu rekayasanya.
Entah mengapa, Guan Yumo kali ini tidak menyuruhnya melepaskan pelukan, tapi juga tidak membalas memeluk. "Aku bukan melarangmu bergaul, hanya mengingatkan untuk lebih waspada."
Dengan patuh ia mengangguk, tak lagi bergantung pada tubuhnya. Melepaskan genggaman, memutuskan untuk merajuk padanya saat hatinya sedang tenang seperti sekarang.
"Kalau begitu, apa Kakak nanti masih akan datang menemuiku?" Bola mata tak bersalahnya berkedip-kedip.
"Kalau kau tetap Sayang." Nada suaranya sudah jelas melunak.
“Kalau begitu, bolehkah aku sesekali pergi ke perusahaan untuk melihat Kak?”
“Jangan menagih inchi tambahan.”
“Aku bilang hanya sesekali, apakah sesekali pun tidak boleh?”
Ia terdiam sejenak, akhirnya menjawab, “Baik.”
“Terima kasih Kak.” Dia dengan gembira berjinjit, menaruh ciuman di pipinya, lalu sebelum sempat bereaksi, buru-buru lari masuk ke kamar.
Kemudian mendengar suara pintu kamar tertutup, tahu ia sudah pergi, baru mengeluarkan kepala dari kamar.
Kakak Teng melihat wajahnya yang begitu, tak bisa menahan tawa kecil, mendekati pintu. “Nyonya, tadi saat mencium Tuan, wajah Tuan sama sekali tidak kaku, sudut bibirnya agak melengkung.”
“Benarkah? Benarkah?”
Dengan gugup dia keluar dari kamar, memeluk Kakak Teng sambil mengguncang-guncang.
Kakak Teng merintih pelan, "Nyonya, tulang-tulangku hampir remuk redam diguncangmu..."
Ia segera melepas Kakak Teng, mengelus dada Kakak Teng agar bisa bernapas lega. "Apa yang kau katakan tadi benar?"
Kakak Teng melaporkan sejujurnya, "Aku sedikit berlebihan, Tuan tidak tertawa, tapi wajahnya memang tidak seperti jiangshi..."
