Bab 630Menanggung Serangan Untuknya
Dia takkan pernah tahu betapa kalimatnya menyulut tekadnya. Kehadirannya bagai mentari yang menyinari kegelapan di relung hatinya.
Tapi tak disangka, di kemudian hari dialah yang mengajukan "berpisah".
Saat itu sebenarnya ia sudah merencanakan akan memberinya kehidupan terbaik. Maka ia bertarung sampai mati di jalan menuju puncak. Namun segala jaminan yang diberikannya tetap tak bisa menghentikan keputusan berpisah itu.
Kala itu ia mengira dia hanya takut tak mendapat kedamaian. Maka ia menyetujui perpisahan, yakin setelah bisa memberikan kehidupan stabil, dia akan kembali.
Tapi di hari kesuksesannya, ternyata dia sudah melahirkan anak orang lain...
Sakit hati yang ia rasakan saat itu masih membekas. Dengan jeritan putus asa, ia menembakkan senjata ke langit berkali-kali. Bahkan sempat terpikir, untuk apa tetap hidup? Tanpa dirinya, segalanya kehilangan makna...
Ia tenggelam dalam kemabukan selama sebulan penuh. Hanya saat Dark Angel diserang, saat Jason dan Muni membutuhkannya, barulah ia tersadar...
Di saat-saatnya di London, ia ingin mencarinya berkali-kali karena tahu dalam hati, dia sama sekali bukan wanita yang serakah akan harta dan status. Ketika dia memutuskan dengannya dan memilih bersama Jiang Jun, pasti ada alasan terdesak. Tapi akhirnya ia tak mencarinya, karena di tempat dia melihatnya, ia kerap terpaku memandang gedung megah Kelompok Jiang yang menjulang di London...
Saat itu ia sudah tahu, dia mencintai Jiang Jun. Meski muncul, mustahil membawanya kembali ke sisinya.
Kejadian kemudian, jika bukan karena Mu Ying, mungkin ia sudah melepaskannya...
Melihat ketegangan dan kepeduliannya pada Jiang Jun, barulah ia tak terkendali membocorkan bukti hubungan mereka dulu ke Jiang Jun.
Meski tahu ini mungkin menghancurkan seluruh kebahagiaannya, ia tetap nekat. Karena yakin, asalkan dia mau kembali, pasti akan lebih baik dari perlakuan Jiang Jun padanya.
Sayang, dia lebih memilih mati daripada mengkhianati Jiang Jun. Menyaksikannya terendam air laut hingga pingsan di pangkuannya, hatinya seperti hancur berkeping...
Saat itu ia begitu takut dia takkan bangun lagi. Sesal telah merusak kebahagiaannya hingga hilang harapan hidup...
Maka ia bersumpah: Selama dia baik-baik, selama hari-harinya aman, ia takkan mengganggunya lagi. Akan mengembalikannya pada Jiang Jun...
Fakta membuktikan keputusan ini benar. Daripada mengurungnya dalam kepedihan, lebih baik melihatnya bahagia di sisi yang dicintai...
Hatinya saat ini bisa begitu tenang dan damai, semata-mata karena orang yang dicintainya kini hidup dengan baik dan bahagia.
Jadi, bagaimana mungkin Mu Ying berharap ia bisa melepaskan orang ini?
Gu Qingyou sudah seperti stempel yang terpatri dalam-dalam di relung hatinya, mustahil terhapus selamanya.
Ia juga berharap bisa melepaskan, tapi jika perasaan bisa dikendalikan sendiri, itu bukan lagi namanya perasaan...
Mu Ying yang sekarang mungkin sedih, tapi saat bertemu jodoh sejati dalam hidupnya, ia akan bersyukur dan berterima kasih padanya...
Adapun dirinya, tak lagi mengagumi masa depan yang berbahagia, hanya ingin mengembangkan Dark Angel dengan baik, setidaknya membalas budi Jason dan Mooney yang merawatnya di masa paling suram dulu.
……
10 hari kemudian, kaki Mu Ying sudah membaik. Akhirnya ia naik pesawat ke New York bersama Guan Yumo.
Di pesawat, mereka tak saling berbicara seperti dua orang asing.
Mu Ying juga tak lagi sakit hati, karena rasa sakit itu sudah membeku menjadi kebal, kini tak ada yang tersisa.
Setelah 8 jam penerbangan, mereka tiba dengan selamat di Mu Residence.
Bibi An belum tahu tujuan kepulangan mereka untuk berdiskusi perceraian. Dengan gembira ia diam saja, karena Guan Yumo sudah berjanji akan menyelesaikan semua urusan. Ia tak ikut campur, apapun keputusannya akan disetujui.
Guan Yumo dan Mu Ying menuju lantai dua tempat Kakek Kedua sudah menanti di ruang kerja.
Begitu masuk, saat merasakan suasana ruang kerja yang membeku dan berat, dia sudah tahu Kakek Kedua sangat marah.
Dia hendak membujuk Kakek Kedua seperti biasa, namun tongkat sang kakek sudah meluncur keras ke arahnya.
Saat itu dia mengira akan merasakan pukulan berat, tapi rasa sakit yang ditakutkan tak kunjung datang. Ketika membuka mata dengan gemetar, barulah dilihatnya Guan Yumo menghalangi tongkat itu untuknya.
Sedikit terkejut, dia memandangnya yang bahkan tak mengernyitkan alis. "Kak..."
Guan Yumo hanya meliriknya. "Kau baik-baik saja?"
Dia menggeleng, membayangkan betapa sakitnya tongkat yang diayunkan sekuat tenaga oleh Kakek Kedua. Hatinya tersayat.
Guan Yumo seolah tak merasakan nestapa, berkata tenang, "Mu Lao, semua ini bukan kesalahan Xiao Ying. Seluruh tanggung jawab ada padaku. Tolong jukum dirinya, semua konsekuensi akan kutanggung."
Kakek Kedua mengabaikan perkataannya. Darahnya mendidih, wajahnya memerah seperti Guan Gong. "Kau... kau... kau!" Telunjuknya menuding wajahnya. "Tidak tahukah malu... Mengapa keluarga Mu memiliki anak durhaka sepertimu?"
Sejak kecil, dia tak terhitung dimaki Kakek Kedua. Tapi baru kali ini, melihat ekspresi nestapa sang kakek, hatinya begitu tertusuk. "Kakek, jangan marah... Hati-hati sakit..."
Kakek Kedua menutupi dada yang terasa sakit tercengkeram, mungkin karena serangan penyakit jantung, suaranya terdengar lebih lemah dari sebelumnya, "Kau...kau berani menipuku dengan mengaku hamil...kau...kau...benar-benar kurang ajar!"
Dia segera mencari obat yang biasa diminum Kakek Kedua di laci, menuangkan air ke gelas, lalu menghadapkannya sambil memohon, "Jangan murka dulu, mohon minum obat ini dulu. Setelahnya, hukuman apapun yang Kakek berikan akan aku terima. Hari ini aku takkan melawan lagi..."
Kakek Kedua terengah-engah menahan amarah, baru kemudian menelan obat yang diberikan. Perlahan napasnya mulai kembali tenang.
Perlahan dia mengelus dada Kakek Kedua, baru di detik ini menyadari betulu selama ini dirinya telah bertindak semaunya.
Kakek Kedua menyentakkan tangan gadis itu dengan geram, berkata dingin, "Cukup! Urusanmu akan kuhitung nanti... Keluar dulu. Aku perlu bicara dengan Tuan Guan."
Tak berani memprovokasi lebih jauh, dia mengangguk. Tapi panggilan "Tuan Guan" itu membuatnya tersentak. Sejak pernikahan mereka, Kakek selalu memanggil suaminya "Yumo". Kembalinya sebutan formal itu jelas pertanda Kakek kini menganggap Guan Yumo sebagai orang luar.
Perlahan dia meninggalkan ruang kerja, tanpa sekali pun menoleh ke arah Guan Yumo.
Tapi begitu pintu tertutup, bukannya kembali ke kamar, diam-diam dia berdiri mengintip di balik pintu, berusaha menangkap percakapan mereka.
Dadanya sesak membayangkan Kakek akan menyulitkan Guan Yumo. Bagaimanapun, pria itu tak pernah memperlakukannya dengan buruk.
