Bab 659: Takutkah?

　　　　Bab 659 Takutkah? 　　　　Saat kembali ke kamar Guan Yumo, Mu Ying tak kuasa mendesah dalam hati. Sebenarnya tadi ia sangat berharap Guan Yumo mau menciumnya, layaknya kekasih biasa. Usai berciuman, dia akan berbisik lembut janji akan cepat pulang... 　　　　Sayang mereka bukan kekasih. Sekalipun ia bisa mencium pipinya, memeluk tubuhnya, dia takkan pernah menunjukkan kelembutan dan perhatian seperti pada orang yang dicintainya... 　　　　Ia tahu tak seharusnya kecewa. Bersamanya, sudah seharusnya menerima kenyataan ini... 　　　　Tapi bisakah hati manusia benar-benar dikendalikan? 　　　　Mulut boleh bilang tak peduli ada orang lain di hatinya, tapi itu hanya karena terlalu mencintai. Di relung hati, ada sudut yang diam-diam terus mengilu... 　　　　Selalu ada pertanyaan yang mengusik... 　　　　Mengapa yang dicintainya bukan dirinya? 　　　　Tak ingin larut dalam pertanyaan tanpa jawaban, Mu Ying menelepon Gu Qingyou. 　　　　Ia belum mengucap terima kasih pada Jiang Jun yang memberi strategi, sehingga ia bisa bertahan di sisinya. 　　　　“Mu Ying.” 　　　　Di seberang sana, Gu Qingyou segera mengangkat telepon. 　　　　Mu Ying tersenyum dan berkata, "Rencana berhasil, sekarang aku sudah berada di Paris, dan dia berjanji tidak akan lagi menjauhiku." 　　　　Gu Qingyou juga berseri-seri, "Aku tahu kau pasti berhasil, karena Guan Yumo memang punya perasaan padamu, hanya saja dia sendiri belum menyadarinya." 　　　　Mu Ying menghela napas getir. 　　　　Di dunia ini, mungkin hanya Gu Qingyou satu-satunya yang mengira Guan Yumo punya perasaan padanya, karena hanya dia yang tidak tahu siapa sebenarnya orang yang dicintai Guan Yumo. 　　　　Surat yang ditulisnya untuk Jiang Jun kala itu, sebenarnya adalah "ancaman" berbasis hal ini. 　　　　Jika Jiang Jun tidak mau membantunya, dia akan membongkar fakta ini pada Gu Qingyou. Dia tahu betapa kuatnya hasrat posesif Jiang Jun terhadap Gu Qingyou, sampai-sampai pria itu tidak ingin ada bayangan mantan pacar sekilas pun muncul di benak istrinya. 　　　　Tentu saja, "ancaman" seperti ini sebenarnya tidak mempan pada Jiang Jun. Alasan sebenarnya sang suami Gu Qingyou ini mau membantu, mungkin karena tidak ingin Guan Yumo terus mengincar istrinya. 　　　　Mengira keraguan itu muncul dari ketidakpercayaan diri Mu Ying, Gu Qingyou segera menghiburnya, "Mu Ying, aku serius. Perasaannya padamu jelas melampaui sekadar perasaan kakak-adik." 　　　　Mu Ying berjalan menghampiri jendela kaca di kamarnya, menatap taburan bintang di langit. "Qingyou, aku tidak berharap dia bisa jatuh cinta padaku. Cukup bisa terus menemaninya, merawatnya, melihatnya dari dekat... itu sudah lebih dari cukup." 　　　　Gu Qingyou mendesah pelan, “Guan Yumo benar-benar berbahagia, karena cintamu padanya, tak semua orang bisa sepertimu.” 　　　　“Sudahlah, sampaikan terima kasihku pada Direktur Jiang, sekalian bilang padanya, aku akan setia menjagakan rahasianya.” 　　　　“Rahasia?” Gu Qingyou terkecil tipis. “Kalian berdua ternyata masih punya rahasia?” 　　　　Mu Ying bercanda, “Nyonya Jiang tidak akan cemburu buta kan?” 　　　　Gu Qingyou licik berkilah, “Nanti saat kau interogasi dia, pasti terkait barang yang kau tulis pakai bahasa Italia di kertas itu tempo hari.” 　　　　Mu Ying melanggar aturan main, “Benar! Kau harus menginterogasinya habis-habisan! Masak dia berani menyimpan rahasia dengan wanita lain?” 　　　　Gu Qingyou terhibur oleh ulah Mu. “Aku pasti akan mengorek habis rahasianya!” 　　　　Mu Ying menyusul tertawa, “Kalau sudah selesai interogasi, kabari aku hasilnya. Aku penasaran apakah suamimu berbohong atau jujur.” 　　　　Gu Qingyou kembali terkekik-kekik. 　　　　…… 　　　　Pukul sebelas malam, Guan Yumo akhirnya pulang dari luar. 　　　　Ia mengira Mu Ying sudah tertidur, tapi ternyata wanita itu masih bersandar di sofa, asyik membaca buku dengan fokus luar biasa, bahkan tak menyadari kedatangannya. 　　　　Khawatir akan mengejutkannya, ia memilih tak bersuara, langsung mendekati sang kekasih. 　　　　Saat derap langkahnya terdengar, Mu Ying mengangkat kepala. Begitu melihat sang pujaan, buku di tangannya langsung terlempar saat ia berlari mendekat. “Kak...” 　　　　Harus diakuinya, perasaan hangat ini sungguh menyenangkan. 　　　　Dulunya kapanpun ia kembali ke kamar, kamar selalu sunyi. Kini seluruh ruangan seolah hidup karena kehadirannya. 　　　　Ia melepas mantel jas dan meletakkannya di samping. "Kenapa belum tidur?" 　　　　Dia sudah memeluknya, mendongakkan paras cantik tanpa cela. Mata berbinar penuh sukacita. "Aku bilang akan menantimu pulang..." 　　　　Ia menggores hidungnya. "Jangan menunggu sampai larut begini lagi, paham?" 　　　　Dia menggeleng, memeluknya semakin erat. "Akan kutunggu pulangmu seberapa larutpun." 　　　　Tanpa sadar ia mengangkat dagunya. "Berarti aku tak boleh pulang larut lagi?" 　　　　Bibirnya terkikik, "Tergantung tega tidaknya membuatku menunggu." 　　　　Ia tersenyum pendek, "Aku mau mandi dulu." 　　　　Barulah dia melepaskan pelukan, tapi berkata serius: "Kubawakan piyama. Mulai sekarang semua yang seharusnya dilakukan istri, akan kukerjakan." 　　　　Sebelum sempat menjawab, dia sudah buru-buru ke kamar ganti pakaian mengambil piyamanya. 　　　　Saat hendak menerima piyama itu, tiba-tiba tanpa alasan tangannya merangkul pinggang rampingnya, mengangkat tubuhnya. 　　　　Ia sendiri tak menyangka, apalagi dia. Dengan wajah memerah penuh malu, gagap berkata: "Kak..." 　　　　Tatapannya membara seperti merekat. "Takut?" 　　　　Dia tahu apa yang ia tanyakan, sebenarnya di relung hati ada ketakutan, lagipula proses sebelumnya tidak ada yang nyaman, tapi dia tidak membiarkan diri mundur. Sebaliknya, dia menatap langsung bola mata membara itu dengan tegas, "Tidak takut." 　　　　Meski jawabannya seperti itu, ia tetap menunduk membisikkan kelembutan di telinga, "Kali ini aku berjanji tidak akan membuatmu tidak nyaman..." 　　　　"Aku percaya padamu." 　　　　"Kau yakin tidak mau kembali?" Ciumannya di daun telinga itu adalah bujukan terakhir dengan tekad baja. 　　　　Dia mengangkat kepala, memandangnya dengan tulus, "Aku tidak akan kembali. Aku mau bersamamu." 　　　　Jarinya menyelusup ke rambutnya, mengangkat wajah itu, mencium dengan kelembutan tak tertandingi. Dia menutup mata, telah memutuskan untuk menyerahkan segalanya. 　　　　Ia mengangkatnya dalam pelukan, menuju ranjang besar satu-satunya di kamar. 　　　　…… 　　　　Keesokan harinya, Mu Ying terbangun saat matahari sudah tinggi. 　　　　Saat sadar, Guan Yumo sudah tidak di sini. Kenangan semalam membuat pipinya membara, selimut ditariknya sampai menutupi kepala... 　　　　Sekarang dia akhirnya tahu mengapa orang-orang menyebutnya melelehkan jiwa, karena kenyataannya memang sangat menyenangkan. 　　　　Benar. 　　　　Sebelum semalam, citranya tentang hal ini sama sekali buruk. Tentu karena sebelumnya ia tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Tapi kelembutannya tadi malam... Baru sekarang dia tahu bahwa hal semacam ini bisa begitu sempurna. 　　　　…… 　　　　“Mu Ying mandi kemudian turun ke bawah kantor, di depan jendela kaca ruang tamu ia menemukan bayangan Guan Yumo.” 　　　　“Ia masih berdiskusi dengan Munyi, topiknya mungkin tentang Dark Angel, karena ekspresi keduanya terlihat agak tegas.” 　　　　“Munyi tak sengaja melihatnya, berbicara beberapa patah kata lagi dengan Guan Yumo, lalu pergi.” 　　　　“Dia menghampiri Guan Yumo, semula mengira akan ada sedikit obrolan tentang kehangatan semalam, namun ternyata ia bersikap seolah tak ada yang terjadi.” “BAB 660 Baik, baik, tidak perlu pemeriksaan lagi” 　　　　“BAB 660 Baik, baik, tidak perlu pemeriksaan lagi” 　　　　“Sudah sarapan?” 　　　　“Meski ucapannya penuh perhatian, hati wanita itu tetap kecewa.” 　　　　“Baru ia sadar, tak seharusnya berfantasi tentang hati pria itu—perhatiannya hanyalah kasih kakak-adik, sementara kebersamaan semalam tak lebih dari nafsu pria terhadap wanita.” 　　　　“Dia menyungging senyuman ringan di wajah, 'Belum, aku baru bangun.'” 　　　　“'Ayo makan dulu, nanti kita ke pusat kota.' Guan Yumo berkata demikian lalu pergi seolah ada urusan.” 　　　　“Dia terpaku di tempat, sadar tak pantas kecewa tapi tetap saja perih…” 　　　　…… 　　　　“Setengah jam kemudian, mereka menyusuri jalan menuju pusat kota Paris.” 　　　　“Mu Ying yang masih diliputi kekecewaan memilih memandang pemandangan luar dari jendela mobil ketimbang berbicara.” 　　　　“Guan Yumo menyadari keanehan itu, bertanya lembut, 'Tidak enak badan?'” 　　　　“Mu Ying menggeleng, 'Hanya sedikit lelah.'” 　　　　Guan Yumo mengira itu karena kelelahan semalam, seketika merangkul bahunya dan menyandarkannya di pangkuannya. "Tidur sebentar... Nanti sampai rumah sakit aku bangunkan." 　　　　"Rumah sakit?" Mu Ying membeku. "Kita pergi ke rumah sakit?" 　　　　Guan Yumo memandanginya. "Kau lupa, kemarin sebelum berangkat ke Paris sudah kuberitahu, aku sudah membuatkan janji dengan dokter untukmu." 　　　　Baru teringat, tadi dia lupa minum pil kontrasepsi yang ada di tasnya. 　　　　Sebenarnya menurut pemahamannya tentang pria ini, jika dia hamil, pastilah ia akan bertanggung jawab. Dengan begitu, tak perlu susah payah berusaha mempertahankan kehadirannya. Tapi dalam beberapa kali hubungan mereka, tak pernah terlintas keinginan untuk mengandung anaknya... 　　　　Inilah alasan mengapa sejak pertama kali bersamanya, dia selalu menyiapkan pil kontrasepsi. 　　　　Menurutnya, tanpa cinta antara dua insan, tak pantas memiliki anak. Karena anak adalah buah cinta, bukan alat yang bisa dimanfaatkan... 　　　　Karena itu, waktu itu sengaja dia uji apakah ia menginginkan anak. 　　　　Beruntung, jawabannya negatif. 　　　　Meski jelas terlihat ia menyukai anak-anak, sama seperti dirinya, tak ingin seorang anak tumbuh dalam keluarga yang tidak sehat. 　　　　Dari sini bisa dipastikan, jika suatu saat ia benar-benar menemukan cinta sejati dan memiliki buah hati, pastilah ia akan sangat menyayangi anaknya... 　　　　Tapi jika dia sampai hamil, pastilah ia marah besar. Meski biasa membiarkannya bertingkah semaunya, tapi untuk urusan ini, takkan ada maaf baginya. 　　　　Jadi, dia akan berhati-hati... 　　　　Dia takkan membiarkan kejadian tak terduga terjadi pada dirinya, karena juga tak ingin ada nyawa kecil tak bersalah yang terkena imbas. 　　　　…… 　　　　Mu Ying telah menyiapkan cara menghadapi, karenanya begitu memasuki gerbang rumah sakit, dia sengaja membuat matanya berkaca-kaca. 　　　　Guan Yumo yang menemani ke rumah sakit, benar-benar segera menyadari kemerahan di matanya, menghentikan langkah di koridor lalu memeluknya. 　　　　"Aku tahu datang ke sini membuatmu sedih lagi, tapi aku tak mau kau menyerah. Teknologi sekarang sudah maju, pasti ada cara menyembuhkan." 　　　　Dia bersandar di dada yang berdetak mantap, menutup mata dengan suara tersekat, "Kak, bisakah aku tak usah diperiksa? Aku tak mau..." 　　　　Guan Yumo merayu dengan sabar, "Urusan ini tak bisa kau tentukan seenaknya..." 　　　　Dua aliran air mata jernih mengalir dari sudut mata Mu Ying. "Aku memang tak mau lagi diperiksa..." 　　　　Melihat air mata itu, dada Guan Yumo tiba-tiba mencengkeram kencang. Tangan lembutnya mengusap butiran kristal itu, "Jika kau takut, aku akan setia menemanimu di sini." 　　　　Mu Ying menggeleng, tiba-tiba menatapnya dengan orbit mata yang basah, "Menurutku tak perlu lagi pemeriksaan. Kecuali Kakak mau memiliki anak bersama denganku, selain itu kesembuhanku tak penting." 　　　　Guan Yumo terdiam sejenak, lalu berbisik pelan, "Jika kau memutuskan mencari pasangan yang cocok, kau akan menyesal..." 　　　　“Kak, sebenarnya kau sama sekali tak punya keinginan untuk bersama aku,” Mu Ying dengan perlahan melepaskan genggaman tangan Guan Yumo, keluar dari pangkuannya yang hangat, mengikuti kalimat yang sejak lama tersimpan di relung hatinya, menyergah dengan tegas, “Kau menipuku ke sini untuk pengobatan, lalu setelah aku sembuh, kau tak mau lagi padaku, kan?” 　　　　“Bagaimana mungkin kau berpikir begitu?” Guan Yumo mengerutkan alis dengan ketidaksenangan, suaranya berat penuh wibawa, “Saat di Milan sudah kukatakan, apapun hasil pengobatanmu, aku tak akan lagi meninggalkanmu, kecuali kau sendiri yang tak lagi bersedia bersamaku.” 　　　　Mu Ying berteriak histeris, “Lalu mengapa Kakak membawaku ke sini untuk diobati?” 　　　　Guan Yumo menjelaskan dengan sabar, “Tak ada yang bisa memprediksi variabel terbesar di masa depan... Aku hanya berharap kau masih memiliki jalur mundur.” 　　　　Sebenarnya Mu Ying sangat paham di relung hatinya, Guan Yumo hanya masih berharap dia bisa menemukan kebahagiaan yang menjadi miliknya di kemudian hari. Bukan untuk menjauhkannya, tapi dia memutuskan untuk terus mencengkeram masalah ini. "Kakak tak perlu bicara muluk-muluk seperti ini. Kau hanya tak menyukaiku, tak peduli padaku. Kau mau mendorongku pergi, jadi kau ingin cepat-cepat menyembuhkanku..." 　　　　"Xiao Ying, jangan memberontak tanpa alasan." Sampai sekarang, Guan Yumo masih menjaga kesabaran dan rasionalitasnya. 　　　　Mu Ying membiarkan wajahnya basah oleh air mata. 　　　　Dia bukan tipe orang yang mudah menitikkan air mata, tapi saat ini selama dia memikirkan Guan Yumo tak mencintainya, dia bisa membuat air matanya mengalir lebih deras... 　　　　“Aku mengira Kakak benar-benar tak akan pergi lagi dariku, tapi rupanya Kakak hanya menipuku, Kakak sama sekali ingin mendorongku pergi...” Mu Ying serunya spontan menangis tersedu-sedu, beruntung ini rumah sakit pribadi, tak banyak pasien yang lewat, pertengkaran mereka tak menarik perhatian, hanya mengganggu kesunyian rumah sakit. 　　　　Guan Yumo akhirnya diam, Mu Ying tahu ini karena air matanya. 　　　　Ia selalu takut melihatnya menitikkan air mata, setiap kali dia menangis, ia tak bisa berbuat apa-apa, makanya dia memikirkan jurus ini. 　　　　"Sudah, sudah..." Guan Yumo akhirnya memilih kompromi, di dunia ini, mungkin dialah satu-satunya yang bisa membuatnya berkompromi. "Jika kau tak mau diperiksa, kita pulang saja, ke depannya tak perlu lagi melakukan pemeriksaan." 　　　　Pandangannya sudah tak lagi berkabut air mata, tersekat ia berkata, "Benarkah yang Kakak katakan? Kak benar-benar mengizinkanku tak perlu pemeriksaan lagi?" 　　　　Guan Yumo mendesah pelan, kembali merangkulnya ke dalam pelukan, dengan penuh kasih ia mengusap air mata di sudut mata dan wajahnya. "Maaf, aku tak mempertimbangkan dengan matang, seharusnya tak terburu-buru membawamu untuk pemeriksaan, membuatmu mengira aku hanya ingin menyembuhkanmu lalu menjauhkanmu..." 　　　　Dia merebah di dadanya, menikmati perlindungan eratnya, terisak pelan. 　　　　Meski emosi itu sengaja dipicunya sendiri, tapi luka di relung hati itu nyata... 　　　　Dia benar-benar tangisi ketiadaan cintanya, jadi setiap butir air mata yang jatuh adalah kejujuran. 　　　　Guan Yumo memeluknya lebih erat, dagu dengan lembut menempel di dahinya, berbisik penuh kasih, "Kita tak perlu periksa sekarang... Nanti saat kau mau, aku akan antar kau ke sini lagi, ya?" 　　　　Mu Ying mengangguk dalam pelukan Guan Yumo, namun tangis terisaknya masih belum bisa berhenti...