BAB 661: PRIA TAK PERNAH MEMBERI KELEMBUTAN USAI BERHUBUNGAN
Guan Yumo merangkulnya erat, bersabar merayu, "Sudah... jangan nangis lagi."
Setelah lama sekali, terisak Mu Ying perlahan mereda.
Guan Yumo menyeka sisa air mata di sudut mata dan wajahnya. "Pulang yuk?"
Mata Mu Ying yang masih basah memandangnya, tatapan lemahnya memancarkan belas kasihan. "Apa Kak akan marah padaku?"
Guan Yumo menatapnya balik, berbisak lembut, "Bodoh, mana mungkin kita marah padamu."
Barulah Mu Ying menunjukkan senyum tipis.
Guan Yumo tersenyum kecil, menggoda, "Kayak anak kecil aja, air mata gampang banget keluar."
Mu Ying bergumam lirih, "Aku jarang nangis di depan Kak."
Ekspresi Guan Yumo kembali serius, jari-jari panjangnya menyibak rambut yang menutupi dahinya yang mulus. "Aku ingin kau pahami, sejak memutuskan untuk hidup bersamamu seumur hidup, aku takkan pernah meninggalkanmu lagi."
Mu Ying menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu Kak juga jangan bilang aku akan bertemu orang yang cocok, karena aku cuma mau hidup sama Kak selamanya."
“Cukup...” Guan Yumo menghela napas, lalu menundukkan kepala, menempatkan ciuman yang penuh kemesraan di dahi perempuan itu, terakhir memandangnya dalam-dalam. "Aku berjanji tak akan lagi mengucapkan kata-kata seperti itu."
Mu Ying memeluk erat Guan Yumo dengan bahagia, telinganya menempel rapat di dadanya, menyimak detak jantungnya. "Akhirnya Kak tak lagi menganggapku hanya sebagai adik..."
Guan Yumo menunduk menggigit lembut daun telinga Mu Ying. "Bodoh, kalau hanya menganggapmu adik, mana mungkin ada perasaan seperti antara pria dan wanita?"
Tubuh Mu Ying bergetar sedikit, ia mengangkat pandangannya. "Maksud Kak, sekarang Kak sudah menganggapku sebagai wanita?"
Guan Yumo mematuk bibirnya, lalu dengan suara parau berkata, "Ya, adikku sudah lama dewasa."
Mata Mu Ying berkilat oleh air mata bahagia, tiba-tiba ia menarik leher Guan Yumo, berjinjit, dan aktif menciumnya.
Guan Yumo terhenti sejenak, tapi hanya sedetik, kedua tangannya menopang pinggulnya, semakin dalam menikmati ciuman mesra itu.
Detak jantung Mu Ying berdebar kencang.
Karena tak pernah ada momen seperti sekarang ini, di mana ia aktif membalasnya.
Ciuman ini terus berlanjut...
Saat mereka berpisah, perempuan itu melihat antusiasme di mata pria itu, menyadari itu adalah kebutuhan paling primal seorang lelaki. Dengan malu ia menunduk.
Tapi Guan Yumo perlahan mengangkat wajahnya, memandanginya.
Dia terpaksa menatap matanya, namun bulu mata panjangnya bergetar halus karena malu.
Guan Yumo bersuara rendah bergetar, "Ke depannya aku tidak akan lagi menganggapmu sebagai adik…"
Mu Ying menggigit dengan lembut bibir merahnya yang sedikit bengkak akibat ciuman, bertanya pelan, "Kalau begitu, bolehkah aku memanggilmu 'Mo' saja, bukan 'Kak' lagi?"
"Tentu saja."
Mu Ying tersenyum lebar.
Persis di saat itu, Mai Li menghampiri mereka.
Mai Li baru saja menghubungi dokter. Entah kebetulan lewat atau sudah lama mengamati mereka berciuman tanpa mengganggu, kedatangannya tepat waktu.
"Tuan, dokter sudah menunggu di ruang kerja. Apakah kita akan menemuinya sekarang?" tanya Mai Li dengan hormat.
Mendengar ini, jantung Mu Ying berdebar kencang.
Untungnya Guan Yumo menjawab datar, "Beri tahu dokter kita tidak akan datang. Aku akan menghubunginya jika diperlukan."
"Baik." Mai Li mengundurkan diri.
Koridor luas kembali sepi hanya untuk mereka berdua. Mu Ying ingin menggenggam tangan Mo, merasakan jari-jari mereka saling terkait. Namun tiba-tiba tubuhnya terangkat dalam dekapan horizontal.
Tubuhnya melayang di udara, Mu Ying kaget refleks memeluk leher Guan Yumo. "Kak…"
Tanpa menjawab, Guan Yumo langsung menggendongnya menuju gerbang rumah sakit.
Saat Mu Ying didorong ke kursi belakang mobil, gadis itu buru-buru protes, "Mai Li belum kembali…"
Guan Yumo langsung duduk kembali di kursi pengemudi, menyalakan mesin, menginjak gas, gerakannya bak awan mengalir tanpa jeda. Setelah mobil melaju mulus di jalan, barulah ia menjawab Mu Ying, "Waktu berikutnya tak perlu kehadirannya."
"Ah?"
Mu Ying seketika tak paham, hanya melihat Guan Yumo menyetir semakin kencang. Akhirnya Guan Yumo memarkir mobilnya di jalan sepi yang jarang dilalui manusia.
Jalan ini jelas sudah lama tak tersentuh manusia. Roda-roda menggerus rumput liar di lantai kayu, meninggalkan bekas tapak dalam.
Mu Ying tak mengerti kenapa Guan Yumo tiba-tiba membawanya ke tempat terpencil ini, tapi pemandangan di sini justru memikatnya...
Langit di sini biru safir, hamparan rumput hijau membentang, disertau danau biru di sampingnya. Seluruh gambaran ini mirip adegan dari buku dongeng.
Dengan gugup, setelah mobil berhenti sempurna, ia bersiap turun untuk menikmati pemandangan. Tak disangka, saat hendak mendorong pintu mobil, tiba-tiba pintu sudah dibuka oleh Guan Yumo yang diam-diam menghampiri dari kursi depan...
Tak sempat bereaksi, Guan Yumo sudah merengkuh kedua tangannya, mengunci di atas kepala. Tubuh jangkungnya menindih, memberikan ciuman penuh kelembutan namun tetap arogan.
Baru saat ini Mu Ying paham maksud dibalik perjalanan mereka ke tempat sepi ini...
Teringat mereka baru saja... semalam, dalam relung hati ia takjub akan stamina pria ini yang luar biasa.
“Tapi bisakah ia lebih lembut, kursi kulit asli mobil ini memang mewah, tapi terlalu keras... Pinggangku sampai sakit terkena permukaannya...
Sayangnya di saat seperti ini, mana ada kesempatan baginya untuk bersuara. Gerak-geriknya bagai badai dahsyat yang menyapu seluruh tubuhku...
……
Mu Ying merasa seluruh tubuhnya hampir remuk. Tapi melihat Guan Yumo berdiri menghadap danau sambil merokok, ia tetap merapikan pakaiannya, mendekat, lalu memeluknya dari belakang.
Ia merasa inilah perbedaan mendasar antara pria dan wanita.
Pria tenang setelah bercinta, sementara wanita justru semakin ingin berpelukan mesra.
Karena sedang merokok, Guan Yumo hanya menggenggam tangannya dengan satu tangan. Suaranya yang lembut berbisik, "Masih ada rasa tidak nyaman?"
"Tidak. Aku malah menginginkan perasaan ini," jawab Mu Ying dengan malu, menempelkan pipinya di punggung pria itu.
"Setelah rokok ini habis, akan kuantar kau pulang ke apartemen."
Menghirup aroma maskulin dan bau tembakau samar dari tubuhnya, Mu Ying berbisik lembut, "Nanti malam... kau akan kembali ke apartemen?"
"Ya."
Mendengar jawaban Guan Yumo, Mu Ying memeluknya semakin erat. "Pulang cepat ya."
……
Mobil berhenti di depan apartemen Guan Yumo di pusat kota Paris.
Mengetahui Guan Yumo harus ke perusahaan untuk menangani urusan yang tertunda, Mu Ying patuh turun dari mobil, melambaikan tangan pada kekasihnya.
“Tak mau, Guan Yumo malah turun dari mobil, melepas mantel jasnya sendiri, menyampirkannya di kedua bahu Mu Ying.”
Mu Ying penuh keraguan bertanya, “Mo, aku tidak kedinginan.”
Guan Yumo menjawab dengan nada datar, “Tetap pakai meski tidak kedinginan.”
“Ya?”
Mu Ying mengira Guan Yumo tidak suka pakaiannya. Mengingat postur tubuhnya yang proporsional, ia sering mengenakan baju-baju sulit namun seksi. Namun hari ini ia sengaja memilih baju putih berlengan lebar dengan jeans yang sopan.
