BAB 745 Que Yan Bangun
"Sayang." Ibu Que juga tampak puas.
"An Yaruo memandangi anak perempuannya, berkata dengan penuh kasih, 'Berikan Teddy Bear di tanganmu ke Bibi, sekarang waktunya sarapan.'"
Putri kecil itu sangat penuh pengertian, dengan patuh menyerahkan Teddy Bear kesayangannya kepada pembantu muda di sebelahnya.
An Yaruo seketika duduk di samping ibu Que Yan, bersama-sama menyuapi makanan ke anak.
Ibu Que Yan melihat sang putri kecil sama sekali tidak pilih-pilih makanan, dan setiap suapan dikunyah dengan sungguh-sungguh, tak kuasa memuji An Yaruo, "Anak yang belum genap dua tahun ini, kau didik dengan sangat baik."
An Yaruo berkata sejujurnya, "Aku sebenarnya tidak terlalu sengaja mengajarinya, tapi dia benar-benar penurut... Sepertinya dia mengerti semua yang kukatakan."
Ibu Que Yan tak bisa menahan haru, "Kalau Que Yan bangun dan melihat putrinya begitu menggemaskan dan penurut, pasti sangat lega."
"Pasti, aku yakin Que Yan akan segera sadar." An Yaruo tetap mengucapkan kalimat itu, menghibur ibu Que Yan sekaligus dirinya sendiri.
……
Setelah sarapan selesai, Ayah Que pergi ke perusahaan keluarga Que, ibu Que Yan mengajak putri kecil bermain, sementara An Yaruo kembali ke kamar Que Yan.
Seperti setiap hari sebelumnya, dia mulai mengobrol panjang lebar dengan Que Yan.
Dia takkan pernah lupa suatu kali saat mengobrol dengan Que Yan, tangan Que Yan pernah bergerak, sehingga dia yakin semua yang diucapkannya sekarang pasti bisa didengar Que Yan.
Dia mengambil tangan kiri Que Yan dari selimut dan menggenggamnya erat, karena tangan kiri adalah jalan menuju jantung. Dia berharap bisa sedekat mungkin dengan hatinya.
"Que Yan, kau tahu tidak? Kondisi tubuh Ayah sudah sangat lemah, tapi demi mempertahankan usaha untukmu, ia terus berusaha keras. Juga Mama, setiap pagi masuk menemuimu, dia selalu menangis... Jika kau tidak mau melihat mereka menderita seperti ini, cepatlah bangun..."
Melihat Que Yan masih tetap diam tanpa reaksi apapun, An Yaruo sekali lagi tak kuasa menahan kemerahan orbit matanya. "Que Yan, aku sangat merindukanmu. Aku benar-benar ingin mendengar suaramu lagi... Tahukah kau betapa bahagianya aku ketika tahu kau menghindariku karena tumor otak? Saat itu seluruh dunia saya menjadi terang... Sayangnya, ketika aku tahu perasaanmu padaku, kau sudah tertidur seperti ini dan aku tak bisa lagi mendengar suaramu..."
Saat mengucapkan ini, An Yaruo menundukkan kelopak mata, butiran air mata jatuh menimpa selimut. "Sudah lama aku tidak menangis, tapi hari ini aku tak tahan. Karena aku tidak tahu apakah kau masih ingat, hari ini adalah hari perkenalan kita. Tujuh tahun yang lalu di hari ini, kau mengajakku bertemu... Bisakah kau beri keajaiban lagi? Di hari yang sama tujuh tahun kemudian ini, bangunlah dan mari kita lanjutkan hubungan kita, ya?
Masih tidak merasakan reaksi apapun dari Que Yan, An Yaruo tak kuasa meletakkan kepalanya perlahan di dada Que Yan, mendengarkan detak jantungnya yang kuat dan teratur. "Kau hanya tertidur, tapi sudah lebih dari setahun, kau benar-benar harus bangun... Kau tidak boleh egois seperti ini mengabaikan orang tuamu, mengabaikan putri kita, mereka sangat membutuhkanmu... Jika kau ingin mendengar putri kita memanggilmu 'Ayah' langsung dari mulutnya, cepatlah sadarkan diri..."
An Yaruo juga tidak tahu apakah ini ilusi, tiba-tiba, dia seolah merasakan frekuensi detak jantung Que Yan mengalami perubahan kecil, terlihat sedikit lebih cepat dari biasanya.
An Yaruo terkejut melepaskan diri dari dada Que Yan, memandangnya, dan menyadari bulu mata Que Yan tampak bergetar halus.
An Yaruo tidak percaya dengan penglihatannya sendiri, lebih takut ini hanya fatamorgana, lalu menggosok matanya. Setelah memastikan getaran bulu mata Que Yan bukan ilusi melainkan kenyataan, dia menggenggam tangan Que Yan dengan gembira dan berkata dengan gugup, "Que Yan, kau dengar ucapanku kan? Sekarang kau mendengar..."
Jari-jari Que Yan bergerak lagi, sangat halus, tapi An Yaruo tetap merasakannya...
Detik berikutnya, dia melepas tangan Que Yan, berlari girang keluar kamar dan berteriak ke pelayan, "Cepat panggil dokter, cepat panggil dokter... Que Yan sepertinya sudah bangun..."
Para pelayan membeku, setelah tersadar, ada yang memberitahu dokter, ada yang menghubungi orang tua Que.
Ketika An Yaruo kembali masuk ke kamar, Que Yan telah membuka mata. Meski tatapannya masih kosong, namun bola mata berwarna amber-nya terlihat jernih, seolah ia baru saja bangun tidur.
"Que Yan..."
Dalam sekejap mata, air mata An Yaruo langsung mengalir deras. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam erat tangan Que Yan sambil terisak, "Kau sadar... akhirnya kau sadar..."
"Aku... kenapa..."
Que Yan bersusah payah mengeluarkan suara, namun tak mampu menyusun satu kalimat utuh.
Tenggorokan An Yaruo tersekat oleh isak tangis sampai tak bisa bersuara, hanya bisa menangis tersedu-sedu.
……
Dokter segera tiba, semua orang berkerumun di dalam kamar.
Meski kini Que Yan kembali tertidur, dokter memberi ketenangan pada An Yaruo dan orang tua Que. "Dalam contoh kasus pasien vegetatif yang pulih, tidur kembali setelah sadar sangat umum. Karena terlalu lama tak terkena cahaya, mata mereka sensitif terhadap rangsangan cahaya. Selain itu, tubuh yang lama terbaring menyebabkan kekakuan otot. Mereka butuh masa adaptasi... Jadi tak perlu khawatir ia tidur lagi, karena kali ini tidur sungguhan. Nanti ia akan bangun lagi, dan setiap kali sadar akan semakin beradaptasi, sampai akhirnya fisiknya pulih seperti manusia normal... Tentu selama masa transisi ini perlu perawatan intensif."
Ibu Que Yan yang beragama Kristen segera berdoa memohon perlindungan Tuhan.
An Yaruo duduk di tepi ranjang, sangat khawatir saat ini hanyalah mimpi. Ia terus-menerus mencubit kakinya sendiri hingga memar, akhirnya yakin ini kenyataan.
"Yaru, Que Yan bisa bangun, semua ini berkatmu... Aku benar-benar berterima kasih!" ucap ibu Que Yan tulus.
"Aku selalu percaya dia bisa mendengar ucapanku. Rupanya dia memang bisa..." An Yaruo menempelkan tangan Que Yan erat-erat di pipinya, baru menyadari tangan itu kini terasa lebih hangat dari masa lalu.
Tiba-tiba, pelayan membawa putri kecil masuk dari luar.
Ibu Que Yan segera menggendong sang putri, gembira berkata, "Keke, Ayahmu sudah sadar... Lihatlah Ayahmu."
Putri kecil memandang Que Yan dengan bingung. Karena kemampuan bicaranya masih terbatas, hanya bisa terbata, "Tutup mata..."
An Yaruo paham maksudnya. Ia menghapus air mata di wajah, tersenyum menjelaskan, "Ayahmu sedang tidur. Sebentar lagi akan bangun... Kita menunggu di sini, ya?"
Sang putri mengangguk. Sepasang mata indahnya tak lepas mengamati ayahnya. Secara naluriah ia merasa kedekatan khusus, sama sekali tidak takut pada sosok di ranjang yang tak pernah bersuara ini.
Ponsel An Yaruo berdering. Kebetulan yang menelepon Gu Qingyou. Segera diangkatnya, sulit menahan kegembiraan, "Qingyou, Que Yan sudah sadar..."
"Apa?" suara Gu Qingyou langsung bergetar. "Kau bilang Que Yan sadar?"
“Ya, ia baru saja membuka mata, bahkan sudah berbicara... Dokter bilang dia akan tidur sebentar, nanti akan bangun lagi...”
