Bab 746 Cepat Panggil Ayah
Pemulihan Que Yan bisa dibilang merupakan hal paling membahagiakan yang terjadi dalam hidup An Yaruo.
Ketika Que Yan sekali lagi membuka matanya, An Yaruo tak kuasa menahan air mata.
Perlu diketahui, meski dokter memastikan Que Yan pasti akan sadar kembali, An Yaruo tetap merasa khawatir di relung hatinya...
Kini menyaksikan tatapan Que Yan yang semakin jernih, bola mata ambernya yang semakin bening, tenggorokan An Yaruo justru tersekat hingga tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
“Menangis kenapa?”
Que Yan kembali bersuara. Suaranya yang awalnya terdengar sulit kini sudah jauh lebih baik, mulai kembali normal, tak lagi serau sebelumnya.
An Yaruo buru-buru mengusap air mata di sudut matanya. “Aku tidak nangis, tidak... Aku di sini menemanimu bicara.”
“Benar, Que Yan. Selama setahun terakhir, Yaru merawatmu dengan sangat tulus. Kalau bukan karena perawatannya yang telaten, mungkin kau tak akan bisa bangun secepat ini...” Yang berbicara adalah ibu Que Yan, wajahnya penuh kepuasan dan rasa syukur.
Ekspresi Que Yan membeku sesaat. “Setahun?”
“Iya, kau tertidur lebih dari setahun... Selama itu, Yaru-lah yang merawatmu.” Suara ibu Que Yan tersekat.
Que Yan mengerutkan alis. “Pantas saja seluruh tubuhku tak bisa bergerak...” Ia mencoba menggerakkan anggota badannya, namun tenaga tak kunjung datang, meski sensasi fisik masih bisa dirasakan.
An Yaruo，“Dokter bilang ini normal, lagipula kau sudah terbaring terlalu lama, jadi untuk pulih seperti dulu, harus dilakukan langkah demi langkah...”
Que Yan sepertinya tak mau menerima diri sendiri seperti ini, mencoba bangkit duduk, tapi seluruh tubuhnya baru setengah bangkit, kembali terjatuh keras ke ranjang.
An Yaruo melihatnya tersayat hati, segera merangkul Que Yan.“Dokter bilang kau tak perlu panik... Masa pemulihanmu tak akan lama, mungkin dua minggu sudah bisa kembali seperti semula.”
Que Yan menghela napas penuh ketidakberdayaan.“Sudah merepotkan semua orang karena aku...”
An Yaruo menggelengkan kepala dengan keras,“Kami semua sangat berharap kau bisa tersadar...”
“Aku lapar.” Que Yan tiba-tiba berkata seperti ini.
Mendengar itu, An Yaruo segera menjawab,“Mau makan apa? Kita akan segera siapkan.”
Que Yan berkata,“Sepertiga aku belum makan selama berabad-abad... Aku mau makan semua yang ada.”
“Kalau begitu aku akan masak untukmu.” An Yaruo bergegas ingin bangkit dari tepi ranjang.
Tapi ibu Que Yan menepuk bahu An Yaruo dengan penuh kasih,“Kamu tak perlu repot-repot, temani saja Yan bicara di sini. Aku sendiri yang akan menyiapkannya.”
An Yaruo mengangguk.
Ibu dan ayah Que Yan segera meninggalkan kamar, tak lama kemudian para pelayan juga mundur. Kini di kamar hanya tersisa Que Yan dan An Yaruo berdua.
Mungkin karena sebelumnya mereka tak pernah resmi menjadi kekasih, percakapan pun terasa canggung. Mereka saling memandang, terperangkap dalam kesunyian.
Akhirnya An Yaruo memecah keheningan terlebih dahulu,“Direktur Jiang dan Qingyou sudah dalam perjalanan ke Lyon, seharusnya akan segera tiba...”
Que Yan terkecil tipis, "Jun pasti akan mengejekku sampai mati kalau melihatku tak bisa bergerak seperti ini."
An Yaruo ikut tersenyum. "Selama lebih dari setahun kamu koma, perusahaanmu diurus oleh Direktur Jiang. Perkembangannya sangat baik."
Que Yan tetap tak mau berterima kasih, mendengus pelan, "Jangan kira dia bisa lepas dari utangnya hanya karena sudah mengurus perusahaanku..."
Melihat Que Yan kembali ke sikap sembrononya yang dulu, senyuman An Yaruo mulai dibayangi kilatan air mata.
Que Yan menangkap bayangan itu, bertanya lemah, "Kenapa sekarang kamu jadi mudah menangis?"
An Yaruo segera menundukkan kelopak mata, berusaha menahan air mata yang semakin berkumpul di sudut matanya. "Aku hanya sangat senang kamu bisa bangun..."
Que Yan menyipitkan mata sedikit, bola mata ambernya memancarkan daya pikat sensual. "Dalam ingatanku, aku tak pernah sekalipun melihatmu menangis."
An Yaruo menggigit bibir bawahnya dengan lemah, bergumam pelan, "Bisakah kita tidak membahas air mata lemahku ini?"
Suara Que Yan lembut, "Baik."
Tepat pada saat itu, pelayan menggendong putri kecil masuk ke dalam ruangan.
Que Yan hampir langsung mengenali gadis kecil itu sebagai putrinya. Mata ambernya yang dalam tak berkedip memandangi wajah mungil bagai giok pahatan sang anak. "Koko sudah sebesar ini?"
An Yaruo sedikit terkejut, "Kamu tahu namanya Koko?"
"Qingyou sudah memberitahuku sebelumnya." Jawab Que Yan jujur.
"Ya, aku menamainya An Xiao Ke. Tapi Ayah, Ibu... maksudku orang tua kau, mereka tidak mengizinkan anak ini bermarga An. Sudah diputuskan anak ini akan bermarga Que. Nama ini hanya nama panggilan, nama resminya nanti kau yang tentukan." An Yaruo menceritakan dengan tenang.
"Baik." Que Yan menjawab sambil tak berhenti menatap putrinya.
Sang putri kecil tampak malu-malu. Bagaimanapun juga, ayahnya adalah sosok yang asing namun terasa familiar. Ia memandangi Que Yan, tubuh mungilnya gemetar mencari perlindungan di pelukan sang pengasuh.
An Yaruo segera bangkit mengambil sang putri, berbicara lembut, "Sayang, tadi Mama bilang Ayah sedang tidur... Sekarang Ayah sudah bangun. Cepat panggil Ayah!"
Mata mungilnya berkedip-kedip. Meski masih ada rasa takut, bibir merah ceri itu perlahan terbuka, "Ayah."
Que Yan ingin sekali bangkit memeluk anaknya. Sayang, kelemahan tubuhnya kembali membuatnya menyerah. Ia hanya bisa membalas dengan suara lembut, "Pintar."
Mendengar suara Que Yan yang begitu lembut, sang putri mulai berani. Mata hitamnya yang besar menatap lekat, seolah ingin menggali semua rahasia tentang ayahnya.
Tiba-tiba, pintu kamar diketuk perlahan.
An Yaruo menyahut, "Silakan masuk."
Di luar dugaan, yang muncul adalah Jiang Jun dan Gu Qingyou. Emosi keempat orang ini meledak seketika. Ruangan sunyi, namun keempat pasang mata itu mulai memerah.
"Entah sudah berapa lama, Gu Qingyou akhirnya berbicara, 'Sampai sekarang aku baru berani percaya Que Yan benar-benar sudah sadar... Di pesawat tadi, aku terus takut kalau ini cuma mimpi.'"
"Qingyou, sepertinya selama lebih dari setahun ini Jun merawatmu dengan baik. Penampilanmu jauh lebih baik dari dulu, semakin cantik juga." Que Yan tersenyum berkata.
Gu Qingyou mengangguk, tenggorokannya tersekat membuatnya tak bisa melanjutkan bicara.
Jiang Jun membuka suara, "Awalnya kukira kau akan tidur beberapa tahun lagi. Rupanya Tuhan masih sayang padamu... Perusahaan dikembalikan. Kerja kerasku mengurus perusahaanmu selama setahun ini akan kuhapuskan dengan utang yang belum kukembalikan..."
Que Yan dengan santai menyahut, "Direktur Jiang, aku tidak memintamu mengurus perusahaanku..."
Mata gelap Jiang Jun berkelip licik, sudut bibirnya naik sedikit. "Kalau begitu, akan kukembalikan perusahaanmu ke kondisi setahun yang lalu."
Que Yan tetap menunjukkan ekspresi tak kenal takut.
Tiba-tiba, An Yaruo membisik di telinga Que Yan, "Perusahaanmu di bawah Direktur Jiang nilainya sudah naik lebih dari satu miliar... Kalau dikembalikan ke kondisi lama, kau justru rugi."
Que Yan batuk kecil, lalu berkata, "Sudahlah... Antara saudara seperjuangan, ngitungin apa sih. Benar kan, Qingyou?"
Gu Qingyou mengangguk terus-menerus, tak kuasa menegur Jiang Jun. "Dia baru saja sadar, sudah bicara utang piutang... Bisakah kau si pedagang ini tidak bahas uang di saat seperti ini?"
Jiang Jun kehabisan kata.
