BAB 750 KELUAR DARI KELUARGA QUE
Mengapa ayah ibu bisa datang ke sini?
Jangan-jangan mereka sudah dengar kabar Que Yan siuman?
Jika benar begitu, ini benar-benar sial...
Saat menuruni tangga, An Yaruo dilanda kegelisahan, tapi hal yang paling ditakutkannya tetap terjadi...
“Mertua.”
Ibu An menyapa Ibu Que Yan dengan nada akrab.
Ibu Que Yan terpaksa tersenyum, “Selamat datang.”
“Aku dengar Que Yan sudah sadar, jadi aku sengaja datang ke sini bersama ayah Yaru untuk menjenguknya.” Sambil berkata demikian, Ibu An melepas beberapa suplemen berkualitas tinggi yang dibawanya.
Pasangan Que segera mempersilakan Pasangan An duduk di sofa. Ibu Que berkata sopan, “Kalian berdua terlalu baik, tak perlu membawa banyak barang seperti ini.”
“Harus, harus! Lagipula Que Yan adalah menantu laki-lakiku.” Ibu An tersenyum sambil berkata.
Wajah Pasangan Que tiba-tiba berubah kaku, sepertinya mereka bingung harus menjamu bagaimana selanjutnya.
An Yaruo duduk di samping ibunya untuk meredakan kecanggungan, lalu berbisik, “Ibu, kenapa Ayah dan Ibu datang ke keluarga Que tanpa memberi tahu aku?”
Ibu An melirik putrinya. “Ibu khawatir kau ditindas... Orang kaya seperti keluarga Que biasanya mata duitan. Dulu saat Que Yan belum sadar, mereka berjanji akan menikahkanmu dengannya. Sekarang dia sudah bangun, Ibu takut mereka ingkar janji...”
“Tapi seharusnya Ayah Ibu tidak datang sembarangan tanpa bertanya padaku...” desis An Yaruo dengan sedikit kesal.
Ayah An menyadari perubahan ekspresi putrinya dan bertanya tegas, “Kenapa? Apakah keluarga Que benar-benar ingkar janji?”
“Graaah...”
An Yaruo bingung menjawab. Untungnya saat itu, Que Yan muncul di ruang tamu.
Hari ini kondisinya lebih baik dari kemarin, sudah tidak perlu memakai tongkat. Jalannya masih agak lambat, namun aura heroiknya hampir pulih sepenuhnya.
Pasangan An sebelumnya belum pernah bertemu Que Yan. Saat melihat Que Yan yang tinggi tegap dan tampan luar biasa, bibir Ibu An langsung tersenyum puas.
Reaksi Ayah An lebih berlebihan. Membeku sejenak, lalu berkata, "Ini Que Yan?"
Ibu Que Yan menjawab dengan lembut, "Iya... Maaf ya, tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, jadi gerakannya agak kurang leluasa."
Ayah An langsung tersenyum menganga, "Yaru kita memang punya tatapan yang tajam."
Que Yan duduk di sofa. Melihat suplemen di meja teh kecil, ia berkata serius, "Terima kasih perhatiannya, Paman dan Bibi."
Ibu An segera gelengkan kepala sambil tersenyum, "Kenapa masih memanggil kami Paman dan Bibi... Kau menantu kami, sudah seharusnya kami menjengukmu."
Mendengar itu, Que Yan menatap An Yaruo.
An Yaruo tahu pasti turunnya Que Yan sekarang adalah perintah orang tuanya pada pelayan. Ia merasa malu membuatnya terjebak dalam situasi canggung ini. Bangkit dari sofa, ia menarik tangan kedua orang tuanya dan berkata tegas, "Ayah, Ibu, ikut aku ke ruang tamu kecil."
Pasangan An benar-benar membeku kaku, tapi tertarik oleh Yaruo ke ruang tamu kecil. Ibu An hanya sempat berkata "Maaf ya" pada keluarga Que.
Begitu tiba di ruang tamu kecil, Ibu An melepaskan diri dengan kasar dari Yaruo dan berkata kesal, "Dasar anak ini... Kenapa kau tidak sopan seperti ini? Mereka sedang menjamu kita di sana, tiba-tiba kau menarik kami ke sini tanpa alasan jelas?"
An Yaruo dengan tenang memandangi orang tuanya, menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Ayah, Ibu, kalian seharusnya tidak datang sembarangan ke keluarga Que tanpa izinku..."
Ibu An dengan nada marah menyahut, "Apa ada yang tidak tepat dari kami mengunjungi menantu kami di sini?"
An Yaruo menundukkan kelopak mata dengan muram. "Siapa yang bilang Que Yan adalah menantu kalian?"
Pasangan An langsung membeku.
An Yaruo menatap lantai marmer yang mengilap, melanjutkan, "Que Yan bukan menantu kalian. Di antara kami sama sekali tidak ada perasaan."
"Apa?" Ayah An terkejut.
Ibu An buru-buru bertanya, "Kalau tidak ada perasaan, kenapa sebelumnya kau merawatnya sekuat tenaga?"
"Benar!" Ayah An mengerutkan kening. "Bukankah kau pernah bilang kalau Que Yan sadar, kalian akan menikah?"
"Sebenarnya perkataan tentang pernikahan dengan Que Yan itu bohong. Aku merawatnya mati-matian hanya demi uang." An Yaruo perlahan mengangkat pandangannya.
Keraguan dan kebingungan jelas terpancar dari wajah Pasangan An.
An Yaruo menatap orang tuanya dengan serius, "Sebenarnya keluarga Que menjanjikan dua ratus juta padaku untuk merawat Que Yan, karena anak kami mungkin bisa membangunkannya... Kupikir ini cara mudah dapat uang, jadi aku setuju. Agar kalian tidak menolak, terpaksa aku berbohong tentang hubungan cinta kami."
Ibu An membeku di tempat, lama tak mengucapkan sepatah kata pun.
Ekspresi Ayah An sangat tegas, saat ini menatap dingin An Yaruo. "Apa yang kau katakan benar?"
An Yaruo berkata dengan tenang, "Ya, hari ini Que Yan sudah bersiap mentransfer 200 juta ke rekeningku, dan aku juga bersiap keluar dari keluarga Que... Tak kusangka, kalian tiba-tiba datang."
Pada detik ini, Ayah An juga terperangkap dalam kesunyian.
Ibu An tersentak, dengan suara yang luar biasa keras berkata, "Yaru, jujurlah pada ibu, apakah keluarga Que ingkar janji?"
An Yaruo mengerutkan alisnya, "Ibu kenapa berpikir begitu? Keluarga Que benar-benar tidak ingkar janji."
Tatapan curiga Ibu An menancap padanya, "Benarkah? Tapi anak perempuanku selalu menganggap uang seperti kotoran, sekarang bagaimana bisa jadi begitu materialistis?"
"Itu 200 juta!" An Yaruo berusaha menampilkan ekspresi berlebihan di wajahnya. "Bukan dua ratus ribu, dua juta, tapi 200 juta... Ini uang yang tak bisa Ayah hasilkan seumur hidup berbisnis!"
"Jadi dulu kau melahirkan anak Que Yan, juga demi uang?" Ayah An bertanya dengan suara dingin.
An Yaruo agak gentar melihat tatapan tegas ayahnya, menggigit bibir bawahnya lembut, "Kukira dengan ini bisa masuk keluarga Que, tapi tak kusangka keluarga Que punya prasangka kelas sosial terlalu kuat, mereka sama sekali tak bisa menerimaku——"
Pak.
Tak disangka, Ibu An saat ini menampar An Yaruo dengan tamparan keras.
Tamparan ini memutus teriakan An Yaruo, membuat tubuhnya limbung, nyaris terjatuh, sementara pipinya terasa perih membara.
“Kapan keluarga An pernah mengajarmu seperti ini?” Ibu An gemetar karena marah, dadanya naik turun tak beraturan.
An Yaruo hanya bisa merasakan pedih di matanya, terlalu kesakitan untuk bicara.
Ayah An segera menenangkan Ibu An, "Buai apa kau memukul anak? Meski pendidikannya kurang, itu juga salah kita."
Ibu An sebenarnya sangat menyayangi An Yaruo. Matanya yang kini memerah segera berkaca-kaca. "Mengapa kau meniru perempuan lain yang rakus akan uang?"
An Yaruo menerima teguran ibunya dengan pasrah, tak sepatah kata pun membela diri.
Ayah An mengelus bahu Ibu An. "Sudahlah... Lebih baik kita pulang daripada terus mempermalukan diri di sini."
Ibu An terisak pilu. "Bagaimana mungkin kami punya anak dengan nilai hidup tidak benar sepertimu..."
