Bab 755 Kehidupan Ini Hanya Akan Kujalani Bersamamu
An Yaruo ingin menjawab, baru menyadari lehernya tiba-tiba terasa tercekik, sulit sekali mengeluarkan satu kata, "Aku..."
Tapi ternyata tetap tak bisa mengucapkan satu kalimat utuh.
Tak disangka, Que Yan mengulurkan tangan memeluknya, kedua lengannya yang kuat erat dan hangat membopongnya.
“Mereka pernah berhubungan intim tak terhitung kali, dan ia kerap memberinya kehangatan, namun tak pernah sekali pun seperti saat ini—ia memeluknya begitu erat hingga membuatnya hampir sesak napas.
Kedua tangannya menepuk-nepuk punggung Que Yan lembut, memberi isyarat bahwa pelukannya terlalu kuat, dia benar-benar hampir tak bisa bernapas...
Barulah Que Yan sedikit mengendurkan pelukannya, tapi tetap memeluknya, menempelkan kepala di bahunya, menghirup aroma tubuhnya yang wangi.
An Yaruo ragu sebentar, akhirnya kedua tangannya juga memeluk pinggangnya, wajah menempel di dada kokohnya. Baru sekarang ia sadar betapa dirinya merindukan aroma maskulin khasnya dan aura tubuhnya.
Mereka berpelukan seperti ini sangat lama, tak ada yang berkata-kata, sampai dering telepon mengganggu kebahagiaan dan ketenangan saat ini.
An Yaruo menepuk punggung Que Yan perlahan, menyuruhnya menjawab telepon. Dengan enggan ia melepaskan pelukan dan mengeluarkan ponsel dari saku jasnya.
An Yaruo merapikan pakaiannya sebelum menatapnya.
Alis Que Yan berkerut saat berbicara ke ujung telepon, "Ya, ada urusan dadakan sore ini. Rapat besok pagi akan kuhadiri tepat waktu."
Usai menutup telepon, matanya menatap dalam-dalam wajah mungil An Yaruo yang sempurna.
An Yaruo merasa tak nyaman dengan tatapannya yang intens, wajahnya memerah saat mengalihkan topik, "Kau masih ada urusan?"
Tatapan Que Yan sedikit mereda. "Aku akan pergi besok pagi."
"Oh." An Yaruo menundukkan kelopak matanya.
Que Yan memperhatikan perubahan ekspresinya, bertanya dengan suara lembut, "Ada apa?"
An Yaruo baru perlahan mengangkat pandangannya, bertemu tatapan dalamnya. "Jadi, kau hanya bisa tinggal di sini semalam?" Perlu diketahui, sekarang sudah senja.
Que Yan menopang pinggul An Yaruo. "Tak apa, nantinya kita punya banyak waktu."
An Yaruo bertanya ragu, "Maksudmu apa?"
Que Yan memeluk An Yaruo mendekati ranjang, ia memandangi putri kecil yang terlelap di tempat tidur. "Mulai sekarang kau dan Koko akan tinggal di sini. Setiap ada waktu luang, aku akan datang menemuimu."
Mendengar itu, An Yaruo terkejut mengangkat kepala. "Kau menyuruhku dan Koko tinggal di sini?"
Mata amber Que Yan menunduk memandangnya, di balik sorotannya terlihat pemandangan dalam yang berkilat halus. "Aku tahu ini mungkin akan terasa sepi, tapi ini satu-satunya cara yang kupikirkan agar kita bisa bertemu."
"Kau yakin kedatanganmu ke sini tidak akan mencurigakan orang tuamu?" An Yaruo menyampaikan pertimbangannya.
Que Yan menjawab tenang, "Perusahaan Que memang punya bisnis di Nice. Jadi setidaknya selama lebih dari setahun, kunjunganku ke sini tidak akan menimbulkan kecurigaan."
"Pantas saja kau memilih tempat ini." An Yaruo menghela napas lega.
Que Yan kembali memandangi si manis yang terlelap di ranjang. "Dia tidak tidur sama sekali di pesawat?"
"Ya, sekarang mungkin akan tidur nyenyak cukup lama." An Yaruo memandangi putrinya, wajahnya menunjukkan kepuasan seorang ibu.
Que Yan melepas pegangan pada pinggul An Yaruo, duduk di tepi ranjang, menunduk untuk mencium dahi Koko. "Sulit untukmu... selama lebih dari setahun ini merawatku sekaligus mengurus anak."
An Yaruo menggelengkan kepala, menjawab demikian, "Tidak sulit sama sekali, setahun terakhir ini, aku merasa hanya sekejap mata."
Que Yan mengangkat kepala, menatap dalam-dalam wajahnya yang terlihat lebih kurus dibanding setahun sebelumnya. Tiba-tiba, telapak tangan hangatnya erat membungkus tangan An Yaruo yang dingin. "Meski aku sudah sadar, aku harus mengatakan... kau terlalu bodoh, seharusnya kau tidak merawatku. Jika aku tak kunjung sadar, waktumu akan terbuang..."
"Aku tahu kau pasti akan sadar, hanya masalah waktu." An Yaruo berkata sejujurnya.
"Bahkan jika kau percaya aku pasti sadar, bagaimana jika aku butuh sepuluh atau delapan tahun? Apa kau akan tetap merawatku?" Que Yan bertanya dengan serius.
"Tentu saja." Suara An Yaruo sedikit parau. "Bahkan dua puluh tahun, aku akan tetap menemanimu."
"Bodoh."
Mengucapkan dua kata itu, Que Yan dengan perih mengangkat punggung tangan putih An Yaruo, menciumnya dengan lembut.
An Yaruo menatap Que Yan tanpa berkedip, menyadari tubuhnya yang lebih kurus, namun fitur wajahnya justru terlihat lebih tampan. "Bisakah kau memberitahuku, kapan kau mulai menyukaiku?"
Que Yan terdiam sebentar, baru menjawab, "Pandangan pertama."
"Pandangan pertama?" An Yaruo terkejut.
Que Yan mengangkat kepala, alisnya berkerut, berkata dengan tenang, "Kenapa, tidak percaya?"
"Hanya merasa luar biasa, soalnya... dulu kau tak pernah menunjukkan sedikit pun." Suara An Yaruo sudah mulai terdengar gembira.
Que Yan bangkit dari ranjang, mengalihkan genggaman menjadi memeluk erat An Yaruo dengan kedua tangan, memandangnya dengan tunduk. "Jika bukan karena mencintaimu, mana mungkin setiap kali aku tak bisa menolak permintaanmu."
An Yaruo teringat saat itu dia sering meminjam uang dari Que Yan untuk urusan Gu Qingyou, dan setiap kali Que Yan selalu menulis cek tanpa sepatah kata protes. Ini memang bisa dianggap sebagai bukti ketidakmampuan menolaknya.
"Waktu itu aku mengira kau bersikap dermawan seperti ini pada semua wanita." An Yaruo memainkan-mainkan dasi Que Yan sambil menjawab.
"Kenapa aku mencium bau cemburu?" nada suara Que Yan terdengar mengejek.
An Yaruo menarik dasinya sedikit lebih kencang, mendongakkan kepala. "Apa perkataanku salah? Waktu itu kau memang masih punya wanita lain."
"Aku bisa bersumpah, meski bersama wanita lain, yang ada di relung hatiku tetaplah dirimu..." Que Yan berkata dengan tulus.
An Yaruo seketika menggeliat lemah, melepaskan genggaman tangan Que Yan. "Sudah kuduga, kau tak pernah hanya memiliki aku seorang." Ucapnya sambil memandangi putri kecil yang menggemaskan di ranjang yang masih menggeliat dan melanjutkan tidurnya.
Que Yan memeluk An Yaruo dari belakang, kali ini dengan kekuatan yang tak mengizinkannya melepaskan diri lagi. Bibir hangatnya mencium dagu An Yaruo. "Kau harus tahu, aku bersama wanita lain hanya karena kukira itu bisa membuatku melupakanmu... Tapi kenyataan membuktikan, aku sama sekali tak bisa melupakanmu..."
Tangan An Yaruo bertumpu pada lengan Que Yan, berusaha melepaskan genggamannya. "Bagaimana aku bisa tahu apakah ucapanmu ini jujur?"
“Cincin yang kuberikan itu belum cukup membuktikan ketulusan hatiku padamu?” Que Yan tak peduli penolakan An Yaruo, semakin erat memeluknya. Bibirnya yang semakin membara menciumi lehernya, suara parau berbisik.
An Yaruo terdongak tak berdaya diganggunya. "Mengingat dua hal ini bisa menjelaskan apa?"
Que Yan memutar tubuhnya, menatapnya dengan serius. "Lalu bagaimana kau ingin aku membuktikannya."
Pipi An Yaruo memerah. "Aku tak tahu..."
Que Yan mendesah pelan, membelai rambut An Yaruo. "Kalau begitu beri aku satu kesempatan. Biarkan aku buktikan perasaanku. Karena mulai sekarang, aku takkan punya wanita lain. Di kehidupan ini hanya kau satu-satunya."
