Bab 826 Bajingan
Que Yan memandangnya bagai predator, seluruh tubuhnya memancarkan bahaya yang mengerikan.
An Yaruo merasa pembicaraan sudah cukup sampai di sini, berbalik hendak meninggalkan kamar, apalagi Que Yan saat ini benar-benar terlalu menakutkan.
Namun, sebelum An Yaruo sempat melangkah, Que Yan tiba-tiba sudah memeluknya dari belakang.
Dia menjerit kaget, detik berikutnya teriakannya diblokir oleh bibirnya yang membara...
Dengan sekuat tenaga dia melawan, kedua tangan dan kakinya menghajar dan menendang...
Tapi ia seperti tak merasakan sakit sama sekali, membalikkan tubuhnya, menekannya ke tembok putih kamar.
Dia menggebrak tinjunya sekuat tenaga ke punggungnya, tapi Que Yan tetap garang menguasai bibirnya, menggerus dan menghisap tanpa henti, tak peduli sekeras apapun perlawanannya tangan yang membelenggu pinggulnya tak juga dilepas.
Hingga perlahan tenaganya habis, pasrah menerima segala permintaannya, barulah ia melepas bibirnya yang sudah bengkak, tatapan muramnya menembus bola matanya yang penuh dendam. "Benarkah? Hubunganmu dengan Su Yize sudah 'sesuai namanya'?"
"Lepaskan aku——"
Baru saat ini An Yaruo menyadari, ia sama sekali tak percaya kalau dirinya punya "hubungan" dengan Su Yize.
Que Yan dengan kemarahan yang tertahan membalas, "Tak mau kulepaskan, lalu bagaimana?"
An Yaruo memalingkan wajah, menghindari tatapannya yang sanggup melahap manusia, memohon: "Jangan kaujerumuskan Yize, kumohon..."
Que Yan menekan kedua kaki An Yaruo untuk mencegahnya kabur, kedua tangannya segera menangkup wajah halus An Yaruo, menatapnya tajam. "Kau tak tega menyakitinya, tapi tega menyakitiku?"
Mata An Yaruo mulai meneteskan air mata jernih yang membuatnya terlihat begitu memelas. "Aku tak punya pilihan, dokter Su sudah terlalu banyak berkorban untukku..."
Akhirnya mendengar isi hatinya, segala kemarahan Que Yan lenyap seketika. Ia menatap wajah An Yaruo erat-erat, berkata parau, "Kau harus tahu perasaan tak bisa dipaksakan..."
An Yaruo menundukkan kelopak mata, air mata berderai jatuh. "Perasaan bisa dipupuk, asalkan aku melupakanmu..."
Que Yan mengangkat wajah An Yaruo, menatap pupil matanya yang jernih. "Aku tak mengizinkannya, karena mulai sekarang, aku takkan membiarkanmu menjauh selangkah pun!" sumpahnya dengan arogan.
"Que Yan..."
An Yaruo masih ingin bicara, tapi Que Yan sudah menundukkan kepala, kembali merengkuh bibir merahnya yang lembut dengan garang.
An Yaruo menghantam bahunya sekuat tenaga, berusaha melawan, tapi karena perbedaan kekuatan yang terlalu besar, ia sama sekali tak bisa menghentikan ritsleting rok yang sedang diturunkan...
……
Dengan geram ia mengangkatnya ke ranjang, tak memberi kesempatan untuk melawan. Tubuhnya menindih, kedua tangan An Yaruo dipakukan di samping kepalanya, bibirnya menciumi leher halusnya.
An Yaruo tidak lagi bergerak, tapi air mata bagai banjir jebol tanggul.
Que Yan akhirnya merasakan rasa asin air mata yang terendam saat mencium bibir merahnya. Dengan menahan diri sekuat tenaga, ia memperlambat ritme sambil memandangi wajah indahnya yang memejamkan mata. Suara penuh kasihan berkata, "Aku berjanji akan memanggil dokter terbaik untuk menyembuhkan asma Su Yize, pasti tidak akan ada apa-apa padanya!"
An Yaruo perlahan membuka bola matanya yang berkabut air mata, tersekat berkata, "Aku sudah tanya dokter lain... Mereka bilang asma Yize tidak bisa disembuhkan..."
"Itu jawaban dokter biasa... Aku kenal seorang dokter, dia pasti bisa menyembuhkan Su Yize." Que Yan berkata penuh kepedulian.
Bola mata An Yaruo membelalak, memandang Que Yan dengan tidak percaya. "Kau serius?"
"Kapan aku pernah bohong padamu?" Usai berkata, Que Yan menunduk ke leher An Yaruo, melanjutkan ciuman di kulit sensitifnya.
An Yaruo masih terpaku, saat sadar kembali, seluruh pakaiannya sudah terlepas...
……
Saat Que Yan mengakhiri tuntutan tak terkendali terakhirnya, hari sudah malam.
Tubuh An Yaruo kini basah keringat, tanpa tenaga tersisa bagai boneka rusak.
Tapi Que Yan masih belum puas. Ia mencium dalam-dalam An Yaruo selama beberapa detik, baru merebahkan diri di atasnya dan berhenti.
An Yaruo berusaha mendorong Que Yan pergi, namun Que Yan tak mengizinkannya. Setelah beberapa menit mempersiapkan diri, ia mengangkat kepala dan memandangi bola matanya yang merah karena tangisan, perlahan mengusap jejak air mata di sudut matanya. "Berani sekali kau bilang hubunganmu dengan Su Yize itu nyata?"
An Yaruo memalingkan wajah dengan malu, berkata tersekat, "Bagaimana aku harus menghadapi Yize..."
Que Yan memutar wajah An Yaruo kembali, memaksanya menatapnya. "Kau tak perlu menghadapinya. Biar aku yang menyelesaikan."
"Tak mau!" An Yaruo melepaskan tangan Que Yan, menunduk dalam kepedihan. "Kumohon biarkan aku menghadapinya sendiri..."
Menghadapi penolakannya, Que Yan menghentikan niatnya untuk terus menyeka air matanya. "Baik, kau sendiri yang bilang padanya. Tapi aku akan menemanimu, karena aku takkan lagi membiarkanmu pergi."
"Apa lagi yang kau mau lakukan untuk mempermalukanku?" An Yaruo menatapnya dengan pedih.
"Aku..."
An Yaruo menutup matanya dengan berat, memalingkan wajah ke samping. "Tolong keluar, biarkan aku sendiri sebentar."
Que Yan tak melakukan seperti permintaannya. Ia merangkulnya erat dalam pelukan, mencium rambutnya yang basah keringat. "Aku takkan membiarkanmu sendirian lagi. Karena itu, saat ini juga aku takkan meninggalkanmu selangkah pun."
An Yaruo mulai terisak dalam pelukan Que Yan, meninju dada pria itu. "Bagaimana aku menghadapi Yize? Bagaimana..."
Que Yan membiarkan kepedihan An Yaruo terlampiaskan, terus erat memeluknya. "Aku akan menghadapinya bersamamu..."
……
Malam ini, seolah bekerja sama dengan suasana duka, hujan deras tiba-tiba mengguyur.
An Yaruo berdiri di depan jendela kaca kamar Que Yan, memandangi seluruh dunia di luar yang kabur oleh hujan. Hatinya bagai rintik hujan yang melayang-layang di udara, diterpa angin tanpa tempat berpulang.
Que Yan keluar dari kamar mandi, mengenakan arlojinya, lalu memeluknya dari belakang dengan penuh kasih sambil mencium lehernya. "Aku sudah bilang akan menemuinya besok, kau kok memaksa pergi sekarang."
Setiap detik bersama Que Yan saat ini membuat hati An Yaruo dipenuhi rasa bersalah. Ia tak kuasa menahan diri menarik tangan Que Yan yang melingkari pinggulnya, sambil merenggangkan jarak.
Melihat penolakan terus-menerus dari An Yaruo, Que Yan akhirnya tak tahan berkata, "Kau pikir memilih bersikeras bersama Su Yize itu benar? Kau hanya membalas budi, bukan ada perasaan! Bersamanya hanya mengorbankan waktunya saja!"
"Jangan lanjutkan!" An Yaruo menutup mata dengan berat, berkata lirih, "Aku mohon, bantu hubungi dokter itu di sini. Biarkan aku sendiri yang menghadapi Yize."
Wajah Que Yan berubah muram. "Aku tak mau kau pergi menemuinya sendirian!"
An Yaruo perlahan membuka mata, sorot matanya yang berkabut air mata menatap tajam. "Jika kau tak mengizinkanku menemuinya, aku akan menghilang dari pandanganmu selamanya."
Que Yan mengerutkan alis dengan khidmat, "Kau harus mengancamku seperti ini?"
An Yaruo menjawab, "Ini hutangku pada Yize!"
Que Yan akhirnya tak bisa menghentikan An Yaruo. Dengan pasrah, ia menghajar tembok putih hingga berbunyi gedebuk.
