Bab 840 Kebenaran
Semua penderitaan dan getir di relung hati muncul, air mata mengaburkan pandangannya. Setelah menenangkan diri, tanpa disadari ia sudah berada di hadapannya, menopangnya perlahan untuk berdiri.
Di belakang mereka terbentang laut yang luar biasa indah. Langit mulai gelap, mercusuar di kejauhan mulai memancarkan cahaya.
Saat cahaya mercusuar menerangi tubuh mereka, barulah ekspresi masing-masing jelas terlihat. Diam-diam air mata berderai di pipinya, sementara di matanya memantul cahaya air yang diterangi mercusuar.
Que Yan perlahan menangkupkan wajahnya, tatapan dalamnya menatapnya. "Yaru, kau percaya? Di dunia ini tak ada seorang pun atau satu hal pun yang lebih penting bagiku daripada dirimu, hanya saja, aku belum pernah terpikir akan kehilanganmu, karena aku selalu tahu kau begitu peduli padaku... Jadi, dalam setiap keputusan yang kuambil, aku selalu menganggap wajar bahwa kau tak akan meninggalkanku, kau akan memahamiku, mentoleririku, kau akan selalu menantiku di tempat semula..."
An Yaruo memandang mata berkaca-kacanya dengan berat. "Kau benar, dulu memang begitu, aku juga merasa seumur hidup tak mungkin berhenti mencintaimu. Tapi rupanya cinta itu rapuh, saat kau mencintai hingga batas maksimal, hingga tak sanggup lagi mencintai, hingga jiwa raga lelah, cinta pun tak bisa dilanjutkan..."
Que Yan mengangguk, matanya semakin berkaca-kaca, membuat bola mata ambernya suram bagai mata air yang dalam. "Hingga kini saat aku hampir kehilanganmu, barulah kusadari selama ini aku seenaknya menyia-nyiakan perasaanmu, belum pernah benar-benar mempertimbangkan posisimu dengan mendalam..."
An Yaruo berkata dengan hati perih, "Sebenarnya ini bukan salahmu, karena cinta yang selalu kuberikan memang sedemikian dalam, sehingga kau merasa aku takkan pernah meninggalkanmu... Tapi sebenarnya aku tidak sekuat, setahan, dan seteguh yang kau bayangkan."
"Jangan bicara begitu, semuanya salahku..." Que Yan merangkul erat An Yaruo ke dalam pelukannya, menundukkan wajahnya jauh ke dalam rambutnya.
An Yaruo ragu beberapa detik, baru mengangkat tangan menopang punggungnya, sambil berkata, "Kau tak perlu menyalahkan diri dan sedih, karena, sampai hari ini pun aku tak membencimu... Aku tahu kau sudah memberiku sangat banyak, hanya saja syaratku terlalu tinggi..."
"Tidak, syaratmu tidak tinggi." Suara Que Yan di telinganya terdengar parau.
An Yaruo bersandar di bahunya, air mata mulai jatuh tak henti, membasahi kemeja putih mahalnya.
Que Yan mencium rambutnya, melanjutkan, "Selama ini pengorbananku padamu memang tak pernah cukup... Karena dalam hubungan kita, aku selalu pihak yang menerima, sedangkan kau yang terus memberi."
An Yaruo tak menjawab, karena lehernya sudah dipenuhi kepahitan.
Que Yan perlahan melepaskan An Yaruo, memandangi matanya yang basah oleh air mata, penuh penyesalan berkata, "Maaf, aku baru menyadari di detik-detik akhir ini bahwa pengorbananku selama ini sama sekali tak sepadan, aku terus menerus menyia-nyiakan perasaanmu..."
An Yaruo menggelengkan kepala dengan pedih, air matanya jatuh bagai mutiara giok yang putus talinya. "Jangan lanjutkan... Sebenarnya memberi atau tidak, tergantung pada cinta atau tidak. Jika kau sungguh mencintainya, tentu rela memberi lebih, tapi jika tak mencintai, wajar jika sedikit memberi..."
"Kau pikir aku tak mencintaimu?" suara serak Que Yan membalas bertanya, wajah pria yang biasa penuh kesombongan itu kini dipenuhi kepedihan.
Hati An Yaruo terasa sakit sesak. "Aku rasa kau sebenarnya tak pernah menyadari hal ini... Kau harus tahu, saat kau mencintaiku seperti aku mencintaimu, kau akan berkorban seperti diriku..."
Que Yan menatapnya tajam. "Jika kuberitahu, saat ini aku hanya memikirkan masa depan tanpamu di sampingku, hidupku terasa kehilangan makna. Semuanya menjadi tak berarti... Apakah kau percaya?"
An Yaruo menggeleng. Tanpa keraguan. "Aku tak percaya. Karena melalui tindakanmu selama ini, kau telah membuktikan bahwa aku tak begitu penting dalam hidupmu..."
"Yaru, percayalah. Aku tak bisa membuktikan perasaanku dulu karena tak pernah kubayangkan kau akan benar-benar pergi. Tak pernah terpikir aku akan kehilanganmu..." Suara Que Yan penuh penyesalan.
Tangan An Yaruo menekan dada Que Yan, perlahan mendorongnya. "Cukup... Sebenarnya kau tak benar-benar paham perasaanmu sendiri."
"Yaru..." Que Yan terpana sejenak.
An Yaruo menggeleng getir, suaranya tersekat. "Mencintai seseorang takkan pernah lupa untuk menjaga dan melindungi. Jika tak bisa begitu, artinya kau tak benar-benar mencintai..."
"Jika tak cinta, mengapa kuberjuang mati-matian merencanakan masa depan kita? Mengapa kupersiapkan segalanya untuk kita menetap di Maladewa? Mengapa kurencanakan pernikahan kita di sini?" bantah Que Yan dengan suara serak.
Pernikahan?
An Yaruo membeku karena dua kata ini.
Que Yan maju dua langkah, dengan keras kepala menghambat bahu kurusnya, menatapnya tanpa berkedip, berkata dengan tulus dan serius, "Kau tahu? Aku sudah mengatur pernikahan kita, asal kau mengangguk setuju, kita akan menyambut pernikahan megah dan romantis yang pernah kita rencanakan bersama... Selain itu, orang tuaku, orang tuamu, dan semua sahabat kita sudah kuantar ke Maladewa, mereka akan bersama-sama menyaksikan pernikahan kita..."
An Yaruo sama sekali tidak menyangka kedatangannya ke Maladewa adalah untuk mengumpulkan persiapan pernikahan mereka. Seketika ia terdiam.
"Aku tahu kau bersedia datang mencariku, ini membuktikan di relung hatimu kau belum benar-benar meninggalkanku... Yaru, kau masih percaya padaku, bukan?" Que Yan berbisik dengan suara serak.
An Yaruo menatapnya kosong, bola matanya perlahan dikaburkan air mata. "Que Yan, kurasa pernikahan ini harusnya dirancang Qingyou dan yang lain untukmu, ya?"
Que Yan mengerutkan alis. "Kau... mengapa berkata begitu?"
An Yaruo tersenyum getir, "Karena aku yakin pasti mereka yang merencanakan strategi untukmu... Kenyataannya, saat kau meninggalkan Kota C, kau sudah memutuskan untuk meninggalkan perasaan kita, bukan?"
Que Yan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak meninggalkan, hanya..."
"Hanya apa?" An Yaruo bertanya.
Cahaya mercusuar tepat menyapu wajah Que Yan saat ini, kedipan berkaca-kaca di matanya samar terlihat. "Hanya saja kupikir saling pengertian antara kita terlalu sedikit, sungguh sulit untuk benar-benar bersama."
Hati An Yaruo berdebar sakit. "Kalau begitu yang kau pikirkan, mengapa masih mempersiapkan pernikahan di sini."
Que Yan terhenti sejenak, perlahan berkata, "Seperti yang kau katakan tadi, semua orang memberiku tekanan, dan... aku ingin Koko berkembang dalam keluarga yang utuh."
