Bab 858 Shan Yan Tiba-tiba Kembali
Dia tak menyangka, hujan ini ternyata tak kunjung reda. Sebenarnya di Kediaman Gu ada supir yang bisa mengantarnya ke pusat kota, tapi Ibu Gu bilang supirnya sedang izin cuti dua hari ini. Jadi, dia hanya bisa menunggu hujan berhenti dulu.
Xiao Xi malah senang bukan main. Padahal dia belum setuju untuk menginap, Ibu Gu sudah menyiapkan kamar untuknya…
Dia tak bisa pergi, melihat Xiao Xi begitu gembira, akhirnya mengalah.
Tapi, bisa menghabiskan waktu lama bersama Xiao Xi membuatnya merasa puas sekali.
Malam hari setelah makan malam, dia menemani Xiao Xi.
Meski Xiao Xi sudah besar dan tak perlu lagi dibuai sampai tidur, dia tetap bersandar di tepi ranjang, membacakan 《》 yang tak pernah bosan didengar anak itu.
Saat asyik bercerita, tiba-tiba Xiao Xi menatapnya dengan tatapan kosong.
Dia tersenyum memandangi anaknya, “Ada apa?”
Mata hitam pekat Xiao Xi yang mirip ayahnya menatapnya, berkata pelan, “Waktu Ayah bacakan 《》, sama seperti Mama. Setiap kali selalu jelaskan dulu pesan moralnya, baru ceritakan kisahnya.”
“Oh?” Dia terkejut, Shan Yan ternyata sempat membacakan cerita untuk Xiao Xi. “Ayahmu… dia tidak sibuk?”
"Sibuk, tapi Ayah tak pernah bermalam di luar. Seberapapun larut, dia pasti pulang menemani aku." Xiao Xi menjawab dengan tulus.
Ia mengusap kepala Xiao Xi penuh kasihan. "Kau selalu tidur bersama Ayah?"
"Tidak. Kata Ayah, sebagai pria sejati aku harus bisa tidur sendiri. Tapi selama Ayah di rumah malam hari, dia selalu bacakan kisah untukku."
"Oh." Ia tak pernah meragukan rasa cintanya pada Xiao Xi. Benar juga, rupanya ia bisa mempercayakan Xiao Xi padanya.
Tiba-tiba Xiao Xi memeluknya sambil bertanya dengan suara yang masih kekanakan, "Mama, sampai sekarang Ayah belum punya pacar, Mama juga belum punya pacar. Bisakah kalian kembali bersama?"
Ia tersenyum, mengelus punggung anak itu dengan hati tersayat. "Xiao Xi, kau harus tahu... Ayah dan Mama tidak pernah resmi bersama."
"Kalau tidak pernah bersama, bagaimana bisa ada aku?" Xiao Xi membalas bertanya.
"Ini..." Seketika ia kehabisan kata.
Xiao Xi melanjutkan, "Mama, apa karena Mama tidak suka Ayah?"
"Aku..." Baru sekarang ia sadar, pertanyaan sederhana ini ternyata sulit dijawabnya.
Dulu jawaban untuk pertanyaan ini bisa langsung terucap. Tapi sekarang... Mengapa ia ragu?
Ia tak tahu...
Yang ia tahu, sejak Shan Yan tak lagi muncul dalam kehidupannya, dunianya seperti kehilangan sesuatu...
"Tapi mungkin ini karena tak nyaman, lagipula, jangan-jangan seseorang yang selalu memperhatikanmu di dekatmu, seperti suatu barang yang kau miliki, tiba-tiba menghilang, manusia pasti akan kecewa."
"Mama, kau belum menjawabku!" Saat dia tenggelam dalam pikirannya, Xiao Xi mendesak.
Dengan tersenyum paksa, dia menjawab, "Xiao Xi, Mama hanya bisa bilang, aku dan Ayahmu tak mungkin selamanya."
Wajah Xiao Xi terpampang kesepian. "Mama, kenapa tak bisa bersama? Ayah sangat menyukaimu..."
Seketika alisnya berkerut. "Xiao Xi, jangan bicara sembarangan seperti ini di hadapan Ayahmu, paham?"
"Aku tidak berbohong, di dompet Ayah selalu ada foto Mama, bukankah ini berarti Ayah merindukan Mama?" Xiao Xi berkata dengan sangat serius.
Dia tersenyum, "Dompet Ayahmu tidak sering dibawa, kan?"
Sebenarnya di dompetnya ada satu foto dirinya, dia sudah lama tahu, hanya tak menyangka masih disimpan di dompet, mungkin lupa membuangnya, lagipula dia jarang membawa dompet...
"Betul, dompet Ayah selalu disimpan di laci meja samping tempat tidur." Xiao Xi menjawab.
"Nah... Kalau Ayahmu benar-benar merindukan Mama, mana mungkin foto Mama disimpan di laci?" Dengan sabar dia menjelaskan, berusaha membuat anak itu mengerti bahwa dirinya dan Shan Yan tak mungkin bersatu.
Xiao Xi berpikir dengan serius, sepertinya menerima perkataannya, kecewa kembali terpampang di matanya. "Mengapa Ayah Ibu orang lain selalu bersama, hanya Ayah Ibu Xiao Xi yang terpisah……"
Ia tersayat hati memandang Xiao Xi, suaranya tiba-tiba serak, "Maaf... Ini kesalahan Ayah Ibu padamu."
Xiao Xi memeluknya erat. "Mama, aku tak menyalahkan Ayah atau Mama, aku hanya ingin kalian selalu bisa menemaniku……"
Ia menunduk mencium dahi Xiao Xi, berkata serius, "Xiao Xi percaya, Ayah Ibu akan selamanya mencintaimu, kita takkan pernah meninggalkanmu."
Xiao Xi baru menutup mata, suara mengantuknya berkata, "Kalian harus menepati janji itu ya!"
"Ya." Janjinya.
Tentu ia akan selamanya mempertahankan anak ini, inilah satu-satunya motivasi yang membuatnya bertahan hidup saat ini.
……
Saat keluar dari kamar Xiao Xi, kebetulan bertemu Tante Gu dan Tante Qu yang baru naik ke lantai dua.
Tante Gu membuka pembicaraan dengan ramah, "Su Mo, di sini hanya ada tiga kamar. Kamar lain jarang dipakai sehingga belum dirapikan... Tidur bersamaku mungkin terlalu sempit karena ranjang Xiaomei sudah digabung, sedangkan kamar Qingyou tidak bisa kau tempati mengingat Jiang Jun sering menemani Qingyou menginap di sini. Jadi malam ini kau harus menginap di kamar Shan Yan... Tenang, sprei dan semuanya sudah kuganti. Kau tak perlu merasa risi itu kamarnya."
“Tidak apa-apa, aku bisa tidur di Sofa.” Sebenarnya dia tidak masalah tidur di mana pun, bahkan jika harus tidur di kamarnya, dia bisa tidur di sofa kamarnya. Tapi dia merasa jika dia tidur di kamarnya, dan ia mengetahuinya, pasti akan sangat marah.
“Kenapa harus kau yang tidur di Sofa?” Ibu Gu mengerutkan alis dalam-dalam. “Kau adalah Mama Xiao Xi. Jika Xiao Xi tahu kau tidur di sofa, Nenek ini akan dimarahinya...”
“......” Benar juga. Xiao Xi selalu mempertahankan dirinya. “Baiklah, aku akan tidur di kamar Shan Yan.” Bagaimanapun tidur di sofa, dia tak perlu terlalu kesal.
Ibu Gu menghela napas lega. “Kalau begitu tidak akan mengganggumu lagi, istirahatlah cepat.”
“Baik, Anda juga segera istirahat.”
“Ya.”
……
Dia memasuki kamar Shan Yan. Meski Shan Yan sudah lama tidak pulang, jelas kamar ini setiap malam dibersihkan oleh orang yang disuruh Ibu Gu. Udara di dalamnya sangat segar.
Duduk di sofa, matanya melirik sekeliling. Tak bisa menahan diri menyukai desain kamar ini.
Gaya kamar bertema pedesaan - gaya favoritnya. Berada di sini membuat orang rileks.
Tapi anehnya, bagaimana mungkin pria itu juga menyukai gaya seperti ini?
Jangan-jangan dekorasi kamar ini dulu dibuatnya untuk dirinya?
Memikirkan ini, dia bangkit dari sofa. Jarinya membelai lembut wallpaper biru langit di tembok, pikiran terperangkap dalam lamunan.
Jika dulu mereka menikah, apakah sekarang mereka akan bahagia?
Mengapa dia merasa mereka mungkin bisa bahagia?
Mengapa ada perasaan tak terkatakan yang tumbuh dalam dirinya terhadapnya...?
Dulu dia begitu membencinya, tapi kini... Tanpanya, dunianya terasa kehilangan sesuatu yang tak tergantikan, hampa...
