Bab 864 Pengobatan
Dia tidak memikirkan usulan Ibu Gu, karena meski tidak menikah dengan Shan Yan, dia tetap harus pergi ke Australia kali ini.
Malam hari kembali ke apartemen membereskan barang, dia pergi ke rumah sakit untuk menemani Xiao Xi, tak disangka saat sampai di kamar pasien Xiao Xi, Shan Yan sudah ada di dalam.
Awalnya dia hendak mendorong pintu masuk, ragu sejenak, akhirnya tidak jadi membuka. Berdiri di depan pintu kamar pasien, melalui kaca jendela transparan, memandangi mereka.
Tak disangka apa yang dikatakan Xiao Xi ternyata benar...
Ia benar-benar memakai piyama, bersandar di tepi ranjang, dengan serius membacakan kisah 《Aesop's Fables》 untuk Xiao Xi.
“Itu adalah sosok kelembutannya yang sudah lama tidak ia lihat.” Sejenak, hatinya tiba-tiba terasa pedih tanpa alasan.
Dia tidak mengerti mengapa memiliki perasaan seperti ini, tapi, sosoknya seperti ini sungguh sangat menawan.
Xiao Xi memeluknya, menikmati cerita dengan penuh perhatian.
Adegan ini menghangatkan hatinya...
Benar-benar tak pernah terbayangkan, seorang sibuk seperti dirinya setiap malam dengan sabar merayu Xiao Xi tidur. Harus diakuinya, ia memang seorang ayah yang luar biasa.
Jadi, akhir-akhir ini dia bisa pergi ke Australia dengan tenang. Ia yakin Shan Yan bisa merawat Xiao Xi dengan baik.
Lalu, dia keluar dari kamar pasien, tidak mengganggu mereka.
……
Keesokan harinya, dia menarik barang bawaan tepat waktu ke bawah kantor. Awalnya mengira hanya supir sendiri, tapi tak menyangka Shan Yan duduk di kursi belakang mobil.
Sama sekali tidak mengira Shan Yan akan menemaninya ke Australia. Ibu Gu juga memberi tahu, ia masih harus kembali ke Kota H untuk menyelesaikan urusan bisnis. Jadi tak paham mengapa ia muncul.
Supir turun membukakan pintu mobil untuknya. Setelah ragu sebentar, akhirnya dia naik ke mobil.
Shan Yan sedang menelepon, tepat selesai saat dia masuk. Tatapannya yang dingin melirik sekilas. "Dokumen sudah dibawa semua?"
Dia mengangguk, "Sudah lengkap."
"Baik." Ia menarik kembali tatapannya.
Awalnya tak ingin bertanya, tapi benar-benar khawatir ia ikut ke Australia. Setelah bergulat dalam hati sejenak, akhirnya bertanya dengan tenang, "Kau juga ikut?"
Setelah beberapa detik, Shan Yan baru menoleh, tatapan penuh maknanya tertuju padanya. "Kau perlu aku temani pergi?"
Dia seketika merasa malu, batuk kecil, lalu berkata tegas, "Karena bukan ke Australia, lalu tujuanmu sekarang..."
Shan Yan menatapnya dengan pandangan rumit dan dalam, namun tak menjawab.
Saat itu, mobil tepat berhenti. Dia melihat supir ternyata memarkir di depan Kantor Catatan Sipil. Seketika dia membeku.
"Sekarang kau tahu tujuan aku?" Setelah mengucapkan itu, Shan Yan turun dari mobil.
Dia akhirnya seolah mengerti maksud Shan Yan membawanya ke sini. Karenanya, meski supir telah membukakan pintu mobil, dia masih enggan turun.
Shan Yan memandangnya, sudut bibirnya naik sedikit. "Kenapa? Saat berjanji pada Ibuku kau begitu praktis, sekarang malah takut?"
Dia menghindari pandangan, merasakan napasnya mulai berat.
Shan Yan tampak kehilangan kesabaran. "Aku kasih waktu 60 detik. Jika tak mau turun, aku tak memaksa. Tapi ingat: jika kita punya anak kedua nanti, hak asuhnya juga akan jadi milikku."
Mendengar itu, dia refleks menoleh tajam, melotot. "Berdasar apa?!"
Shan Yan tetap tersenyum lebar. "Berdasar ketidakmampuanmu melawanku."
Dia menggigit bibirnya erat-erat hingga berkedut.
Shan Yan tetap santai, "Masih ada 30 detik lagi."
Memikirkan hak asuh kedua anak, kedua tinjunya mengepal. Akhirnya, dengan mengatupkan gigi, dia turun dari mobil.
Apa lagi di dunia ini yang lebih penting baginya selain anak?
Lagipula meski menikah, mereka hanya suami-istri simbol tanpa substansi. Untuk apa dia peduli?
Senyum puas merekah di wajah Shan Yan. "Bagus, kau akhirnya belajar mengalah juga."
Dia tak menghiraukan Shan Yan, melangkah melewatinya langsung menuju Kantor Catatan Sipil.
Shan Yan sepertinya tertawa getir. Suara itu menusuk telinganya, tapi demi anak, dia memaksa diri terus berjalan.
……
Tak disangkanya pernikahan adalah hal sakral, tapi proses pendaftarannya ternyata sederhana sekali.
Mereka duduk bersama mengambil beberapa foto, mengisi formulir, lalu semua prosedur selesai...
Hanya dalam satu jam, buku merah sudah di tangan. Shan Yan menyuruh bodyguard-nya Qin Kai langsung menyimpannya.
Buku merah itu tak meninggalkan kesan apapun di hatinya. Dia tahu ini pernikahan tanpa cinta - demi anak, sama seperti motifnya.
Menatap Shan Yan yang kini resmi menjadi suaminya, sikap dinginnya tak berubah. "Boleh aku pergi sekarang?"
Shan Yan memandanginya, sudut bibirnya melengkung perlahan. "Perasaanmu pasti hancur sekarang? Tapi demi anak, kau rela menderita."
Melihat kegembiraan di wajahnya, dada dia bergelombang hebat karena emosi, tak tahan untuk melawan balik, "Ya, jika bukan demi anak, aku takkan pernah sedikit pun tersentuh denganmu!"
Shan Yan sama sekali tidak marah, tetap menjaga senyuman, berkata dengan santai, "Maaf kita masih harus terikat bersama... sisa umur harap banyak bimbingan!"
Dia berbalik pergi, tak mau lagi melihat senyuman puas diri di wajahnya.
Setelah itu, dia naik ke mobil, supir langsung mengantarnya ke bandara, tapi tak disangka, dia akan menumpang pesawat pribadi Shan Yan ke Australia.
Adanya pesawat pribadi tak membuatnya heran, lagipula dalam beberapa tahun singkat ini dia sudah mengakumulasi kekayaan yang dahsyat, tapi yang membuatnya bingung adalah bagaimana mungkin dia diizinkan menikmati pesawat pribadinya?
Bukankah dia sangat membencinya?
Mengapa masih mau membuatnya menyentuh barang-barang pribadinya?
Karakternya benar-benar misterius baginya.
Bagaimanapun, menggunakan pesawat pribadinya menghindarkan banyak masalah, dengan waktu tersingkat dia tiba di pulau kecil milik Guan Yumo, berhasil bertemu Linda yang akan memeriksanya.
"Pulau ini sangat indah, sayang tak ada waktu untuk menikmati pemandangan memesona di sini." Ujarnya terharu saat Linda memeriksanya.
Linda tersenyum menjawab, "Ya... Sebelummu datang, Direktur Que dan Yaru baru saja pergi. Andai saja Direktur Guan mau menjual pulau ini, Direktur Que pasti sudah membelinya karena Yaru sangat menyukai tempat ini."
“Gadis mana yang tidak suka di sini... Indahnya bagaikan dunia lain.” Dia ingat, satu ketukan setelah turun dari pesawat, keindahan pulau ini membuatnya terpana begitu lama. Tak pernah terbayang, suatu hari kecantikan suatu tempat akan membuatnya kembali menyukai dunia ini.
Linda meletakkan instrumen yang sedang dikalibrasinya, memeriksa layar instrumen sekali lagi, lalu melepas perangkat tak dikenal yang menempel di tubuhnya. Dengan senyuman, dia berkata, "Kondisimu jauh lebih baik dari perkiraanku... Tenang, aku akan menyembuhkanmu."
Memasang kancing bajunya, dia bangkit duduk dan memandang Linda dengan keterkejutan, "Sudah selesai diperiksa?"
