Bab 922 Ikatan Ayah dan Anak
Setelah bercerai dengan Shan Yan, hal paling menyiksanya adalah bagaimana menjelaskan hal ini pada Xiao Xi.
Tentu saja, dia tahu akhirnya Xiao Xi pasti bisa mengerti dan mematuhi keputusan orang tua. Namun hatinya begitu pilu membayangkan kesedihan si kecil...
Dunia anak seharusnya dipenuhi kepolosan, tapi sebagai orang tua, mereka justru harus memberinya begitu banyak kepedihan...
Saat dia duduk di sofa sambil mencengkeram kening lelah, Tante Qu mendekat dan duduk di sampingnya. "Masih memikirkan cara menjelaskan pada Xiao Xi?"
"Ya, aku benar-benar tak tega melihatnya menangis." Suaranya terdengar pilu.
Tante Qu merangkul bahunya dengan lembut. "Xinmei tahu betapa sulitnya menjelaskan hal ini padanya. Makanya, sekarang Xinmei sedang berbicara dengan Xiao Xi."
Mendengar itu, tangannya turun dari kening. "Apa? Ibu sudah membicarakan ini dengannya?"
Tante Qu menghela napas. "Ya. Xinmei bilang tak ingin melihatmu menderita..."
Dia mengangkat pandangan ke arah lantai dua. "Kurasa Ibu pasti lebih tersiksa daripada aku saat menceritakan ini pada Xiao Xi..."
Tante Qu mengangguk, "Xinmei tidak tahu betapa sakitnya kau dan Shan Yan berpisah... Tapi sekarang kalian bahkan sudah menandatangani perjanjian perceraian, semuanya sudah tidak bisa diubah lagi!"
Dia berkata dengan rasa bersalah, "Tante, nanti saat aku tidak di rumah, tolong rawat Ibu dengan baik menggantikanku ya..."
"Tentu saja, tapi kau juga harus sering-sering mengajak dua anak ini mengunjungi Xinmei. Kalau tidak, dia pasti akan sangat kesepian..." pesan Tante Qu.
Dia mengangguk kuat-kuat, "Tante jangan khawatir, aku akan sering membawa Xiao Xi dan Xiao Bei kembali. Kapanpun Tante ingin mereka tinggal di sini, bisa menyuruh orang untuk menjemput..."
"Ya."
Sebentar kemudian, Xiao Xi berlari menuruni tangai lantai dua sambil menangis.
Melihat adegan ini, hatinya seperti tercabik-cabik, kabut tipis langsung menyelubungi matanya.
"Mama——"
Xiao Xi menerobos masuk ke dalam pelukannya, memeluk erat-erat tubuhnya.
Air matanya tak tertahan lagi menetes dari orbit mata. "Xiao Xi..."
Xiao Xi terisak pilu, menunjukkan kelemahan yang bahkan tidak pernah muncul saat penyakitnya kambuh. "Mama, bisakah kau tidak berpisah dengan Ayah? Bisakah?"
Bocah itu meratap penuh kesedihan, pupil polosnya dipenuhi aliran air mata yang menyayat hati. "Xiao Xi, Nenek pasti sudah menjelaskan. Ayah dan Ibu tidak saling mencintai. Memaksakan diri bersama hanya akan menyiksa kami berdua..."
Xiao Xi tidak percaya dengan kenyataan ini, menggelengkan kepala keras-keras. "Aku tak mau Ayah dan Mama berpisah..."
Ia menarik napas dalam, berusaha tetap kuat sambil menyeka air mata di mata Xiao Xi sambil menghiburnya, "Sayang, kau harus paham... Meski Ayah dan Mama berpisah, cinta kami padamu tak akan berubah... Dan nanti saat sekolah di Kota C, kau bisa menginap di rumah Nenek kapanpun kau mau..."
Mendengar itu, Xiao Xi perlahan menundukkan kepala, menangis dalam bisikan.
Ia menekan kepala Xiao Xi ke dalam pelukannya, memeluk erat tubuh kurus anak itu sambil berbisik, "Xiao Xi, Ayah dan Mama minta maaf... Tapi kami akan merawatmu dengan lebih banyak kasih sayang. Kau tak akan pernah kehilangan aku dan Ayahmu..."
Pada akhirnya Xiao Xi yang penuh pengertian ini, setelah menangis sampai lelah, terpaksa menerima kenyataan pahit ini. Saat ini anak itu hanya diam membisu dalam pelukan ibunya.
Ia tahu anak ini terluka. Bagaimanapun mereka sebagai orang tua telah menipunya. Tapi si kecil yang baik ini sama sekali tidak menyalahkan mereka...
Ini membuat relung hatinya dipenuhi rasa bersalah yang lebih dalam, tapi ia tak tahu cara menenangkan anaknya.
Xiao Xi akhirnya tertidur dalam pelukannya dengan diam. Di ujung bulu mata hitam yang lentik itu, masih menggantung butiran air mata jernih...
Rasa bersalah itu membuat air matanya tak henti mengalir.
“Tante Qu menghiburnya,” “Kau jangan tangisi……Xiao Xi anak yang penuh pengertian, dia pasti mengerti.”
Dia kehilangan kata-kata.
Di saat itu, suara ibu mertua terdengar.
“Mengingat Xiao Xi masih begitu sedih, tinggallah di sini beberapa hari lagi sebelum pindah, jangan sampai Xiao Xi sulit menerima!”
Ia segera menyeka air mata, melihat mata ibu mertua sama bengkak seperti dirinya.
Awalnya dia berencana pindah besok, kini sudah tak tega mengajukannya lagi. “Ya, tunggu perasaan Xiao Xi membaik, aku akan pindah.”
Ibu mertua bersandar di kursi roda, tak tahan menyeka air mata. “Xiaomei, teleponlah Shan Yan nanti, suruh dia pulang malam ini……Xiao Xi sedang sedih begini, masih ada hati pergi ke wanita lain?” kata ibu mertua geram.
Tante Qu langsung bangkit dari sofa. “Aku akan segera telepon Shan Yan.”
……
Malam hari, dia mengangkut selimut ke kamar Xiao Xi untuk menemaninya tidur, tak sengaja melihat Shan Yan di dalam kamar anak itu.
Sore tadi Tante Qu bilang Shan Yan akan pulang malam ini, tapi saat makan malam tak datang, sempat dikiranya tak akan kembali……
Karena kehadirannya, dia tak berani masuk, memeluk selimut diam di pintu, sementara Shan Yan duduk di tepi ranjang, menatap Xiao Xi dengan intens. Pria yang biasanya waspada itu, kini jelas tak menyadari kedatangannya.
Entah apakah merasakan tatapan ayah, tubuh XiaoXi bergerak-gerak, perlahan bangun dari tidur pulas.
Shan Yan melihat itu, perlahan membelai dahi Xiao Xi, dengan penuh kasih berkata, "Bangun tidur?"
"Ayah." Xiao Xi perlahan mulai sadar.
Shan Yan tersenyum lembut, "Hei, BOY... Ayah sudah bilang, pria sejati boleh berdarah tapi tak boleh menangis, apapun yang terjadi kau harus kuat, paham?"
Xiao Xi mengerutkan hidungnya, suaranya masih tersekat, "Ayah, benarkah kau tak mencintai Mama?"
"Anak kecil seharusnya tidak bertanya hal serumit ini." Shan Yan menjawab dengan sabar.
Xiao Xi mengulurkan tangan dari selimut, menggenggam erat lengan Shan Yan, memohon, "Ayah, bisakah kau tidak berpisah dengan Mama? Asal kalian tetap bersama, aku janji akan sangat patuh, tak akan merepotkan kalian..."
Suara Shan Yan sedikit serak, "Xiao Xi, kau anak yang baik, memiliki dirimu adalah kebanggaan terbesar kami seumur hidup... Tapi urusan perasaan tak bisa dipaksakan, saat kau besar nanti, kau akan mengerti keputusan kami."
"Ayah... Hik..." Xiao Xi akhirnya tak bisa menahan tangis pedih.
Shan Yan mengangkat Xiao Xi dari selimut, mendudukkannya erat di pangkuannya, menghibur, "Ayah dan Mama takkan pernah meninggalkanmu... Meski nanti kau tinggal dengan Mama, kapanpun kau merindukan Ayah, telepon saja, tak peduli Ayah sedang apa atau di mana... Ayah akan langsung muncul di hadapanmu untuk menemanimu."
Mendengar ini, Xiao Xi baru mulai sedikit lega, mata jernih yang penuh air mata memandangi ayahnya, "Benarkah? Ayah."
Shan Yan tersenyum tipis, namun suaranya masih terdengar getir, "Tentu saja benar. Kapan ayah pernah bohong padamu? Dan malam ini... Ayah akan menemanimu tidur di sini, membacakan cerita kesukaanmu..."
"Ayah..." Xiao Xi mengulurkan tangan memeluk Shan Yan, meringkuk erat dalam dekapan pria itu.
