BAB 934 BANGUN DALAM PELUKAN
Di luar jendela, angin sepoi-sepoi mengibaskan tirai biru muda, hembusannya yang lembut menyentuh dua tubuh yang masih bergumulan di ranjang, membawa hawa dingin.
Su Mo mendesah menggoda, perlahan mulai siuman.
Begitu membuka mata, langsung terlihat wajah tampan Shan Yan yang seolah terukir sempurna.
Ini pertama kali dia mengamati wajahnya sedekat ini di siang bolong, untuk seorang pria, bulu matanya benar-benar terlalu panjang dan lebat.
Dalam tidurnya saat ini, aura dingin dan angkuhnya lenyap sama sekali. Kening yang biasanya selalu berkerut kini terlihat rileks, membuatnya tampak seperti bocah tak bersalah...
Beberapa helai rambut hitam bandel menutupi dahinya, melunakkan garis tegas wajah yang selama ini terlihat tak tergoyahkan, memberinya kesan lugu dan lebih mudah didekati.
Tanpa sadar dia mengulurkan tangan ingin menyentuh wajah tampan yang kini menghantui pikirannya, tapi tiba-tiba tangannya ditangkap oleh tangan pria itu.
Dia terkejut, lalu wajahnya tak terkendali merekah dalam senyum bahagia, suara lembutnya berkata, "Kau sudah bangun?"
Siapa sangka, Shan Yan tak menjawabnya, malah kedua tangannya mengangkat, membuat tubuhnya tertindih di atas badan pria itu.
Seketika pipinya memerah sampai ke pangkal telinga.
Bagaimana tidak, saat ini mereka telanjang bulat.
Ia menepuk tangan pria itu perlahan, "Kau ngapain sih?"
Shan Yan memeluk erat pinggulnya, baru perlahan membuka mata, tatapan malasnya menatapnya, "Kau mengintipiku?"
Ketahuan, dia merasa sangat malu tapi tak canggung, sedikit menegakkan kepala, "Kenapa, tidak boleh?"
Shan Yan tersenyum, tatapannya penuh kasih sayang. "Boleh."
Ia segera menyandarkan kepala di dada pria itu, menyimak detak jantungnya saat ini. "Aku sangat merindukanmu akhir-akhir ini."
Shan Yan menunduk, mencium rambutnya yang harum. "Bicaralah lagi."
Suara lembutnya, "Apa?"
"Apa saja, asalkan itu ungkapan perhatianmu padaku." Suara bernada merdu itu berkata.
Senyum merekah di wajahnya, ia memeluk erat pria itu dengan puas. "Shan Yan, satu-satunya keinginanku sekarang adalah menjalani hidup bersamamu."
"Masih ada?" Hawa panas napasnya menyentuh telinganya, suara itu bagai gumaman.
"Aku mencintaimu, sangat sangat mencintaimu." Katanya dengan tulus.
"Aku juga mencintaimu."
“Setelah mengucapkan kalimat ini, ia berguling, menindih tubuhnya di bawah, kepala terkubur dalam lehernya, bibir panas mencium kulit sensitif di lehernya.”
Dia memeluk lehernya, tak sadar tenggelam dalam keindahan pagi ini, tapi masih menyisakan sedikit kewarasan. "Hari ini kau tidak pergi ke perusahaan?"
"Aku hanya ingin tinggal di ranjang bersamamu."
“……”
Selanjutnya, waktu indah kembali berlanjut.
……
Hampir siang ketika dia akhirnya terbangun.
Membuka mata, tak melihatnya di samping, dia kaget, membungkus diri dengan selimut lalu bangkit duduk, baru melihatnya berdiri di depan meja dapur sedang menangani bahan makanan.
Melihat kemejanya di meja samping ranjang, jelas sudah dipersiapkan untuknya. Setelah memakai kemeja, dia bertelanjang kaki menuju dapur.
Awalnya ingin memberi kejutan, tapi ternyata Shan Yan yang sedang fokus mengolah bahan makanan tetap melihatnya tanpa mengangkat kepala. "Bangun?"
Dari belakang dia memeluk erat tubuh Shan Yan, pipi menempel di punggungnya. "Kenapa tidak membangunkanku?"
"Aku ingin kau tidur lebih lama." Suara lembut Shan Yan terdengar.
"Tapi kau juga belum lama tidur..." Wajahnya memerah setelah mengatakannya.
Shan Yan tersenyum menggoda, "Tapi konsentrasiku penuh."
Dia canggung mengalihkan topik, "Sedang mengolah apa?"
"Salmon."
"Salmon?" Dia terkejut, "Kau bahkan bisa memasak ikan?"
“Sebenarnya tidak terlalu bisa, tapi karena kau suka makan ikan, jadi aku belajar teknik mengolah berbagai jenis ikan… Tapi hari ini baru pertama kali membuat salmon jadi hidangan panas, harapannya cocok dengan seleramu.” Ia berkata tenang, sambil terus mengiris tipis daging salmon di atas talenan.
Dia tak tahan memeluknya lebih erat, suaranya serak, “Aku benar-benar melewatkan terlalu banyak tentangmu dulu…”
“Sudah, kau duduk dulu di sebelah. Sebentar lagi siap.” Shan Yan menoleh, mencium dahinya.
“Tak mau.” Tangannya masih tak melepaskan, erat memeluk tubuhnya. “Aku di sini menemanimu, lalu kau ajari aku teknik memasak. Nanti aku yang masak untukmu dan dua anak kita…”
Shan Yan tersenyum lembut, “Lupakan saja. Aku takut dapur rumah kebakaran lagi.”
Mukanya memerah. “Makanya kau harus mengajarku… Kalau kau tak sempat, aku sudah daftar kursus masak.”
“Aku tak mau kau repot.” Shan Yan tiba-tiba melepas sarung tangan plastiknya, kedua tangan merangkul bahunya. “Bersamaku, tak perlu kau melakukan apapun. Asalkan di hatimu ada aku, dan aku akan memberimu manja seumur hidup.”
Matanya berkaca-kaca, tak tahan lagi menceburkan diri ke pelukannya. “Tapi aku ingin melakukan sesuatu untukmu… Karena aku ingin mempertahanmu, membuatmu tak punya alasan lagi untuk meninggalku.”
Shan Yan dengan puas memeluknya, dagu menempel di dahinya. "Berjanjilah, setiap kalimat yang kau ucapkan padaku adalah tulus, dan kau akan menepati setiap perkataanmu padaku."
Baru saat ini dia menyadari betapa tidak amannya relung hati pria itu. Dia mendongak, menatap mata gelapnya yang dalam, berkata kata demi kata dengan sungguh-sungguh. "Aku bersumpah, setiap kata yang kukatakan padamu keluar dari hatiku yang sejati... Aku mencintaimu, ini fakta paling pasti yang bisa kujamin saat ini."
Kedalaman mata Shan Yan terlihat lembut penuh kasih. Ia mengangkat dagu gadis itu, lalu menundukkan kepala.
Tapi siapa sangka, ponsel Shan Yan tiba-tiba berdering.
Khawatir ada urusan penting, dia mendorongnya perlahan. "Lebih baik kau angkat telepon dulu!"
Alis Shan Yan berkerut, jelas kesal karena ciuman yang gagal tadi. "Siapa yang tidak tahu waktu."
Gadis itu tersenyum, melepaskan diri dari pelukannya, lalu mengambil ponsel untuknya.
Dia tidak melihat layar ponsel, jadi tidak tahu siapa yang menelepon. Tapi saat melihat perubahan halus pada wajahnya, dia mulai menebak-nebak identitas si penelpon.
Shan Yan mengerutkan kening. "Aku harus menerima telepon ini."
Tentu saja dia tidak protes, hanya mengangguk.
Siluet tegap Shan Yan yang mengenakan baju rumah segera bergerak menuju jendela kaca di kamar. Memandang dunia di bawah kakinya, ia menekan tombol penerimaan.
Daripada mendekat untuk menyadap pembicaraan, gadis itu memilih mengenakan sarung tangan plastik tipis dan melanjutkan pekerjaan memfillet salmon yang tadi tertunda.
“Meski dia dan Shan Yan berjarak cukup jauh, karena kamar sunyi, dia sedikit bisa mendengar ucapan Shan Yan pada Ji Sixi.”
“Ya, aku tak akan mengantarmu naik pesawat. Semoga perjalananmu lancar...”
Mungkin Ji Sixi menebak ada alasan lain Shan Yan tak bisa mengantar, maka Shan Yan memberi penjelasan, “Su Mo ada di sini.”
Setelah kalimat itu, Ji Sixi terlihat berbicara panjang dengan Shan Yan, membuatnya lama terdiam.
