BAB 966 Pertemuan Malam
Percaya bahwa dengan menjaga jarak dari Tan Yan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, desas-desus tentang mereka akan lenyap, yang paling dikhawatirkannya saat ini adalah memperebutkan hak asuh dua anak dengan Shan Yan.
“Dia tidak tahu apakah Shan Yan benar-benar akan mengajukannya ke pengadilan, tetapi dia benar-benar berharap hal itu tidak terjadi, karena Xiao Xi sudah cukup dewasa. Jika Xiao Xi melihat orang tuanya saling berhadapan di pengadilan, betapa sedihnya hati anak itu... Dia sangat berharap Tuhan bisa membuat Shan Yan secara sukarela menyerahkan hak asuh kedua anaknya padanya.”
“Dering ponsel berbunyi, menarik kembali pikirannya yang tenggelam.”
“Agar tidak mengganggu ibu yang baru tertidur, dia segera pergi meninggalkan kamar.”
“Tak disangka telepon itu dari Shan Yan. Hatinya berdebar kencang, menyesuaikan napasnya beberapa detik sebelum akhirnya menekan tombol penerimaan.”
“Dia tidak bicara. Suara berat dan segar miliknya terdengar.”
“Keluar.”
“Maksudmu apa?” Suaranya tetap tak bisa dikontrol, bergetar halus, tapi yakin ia takkan menyadarinya.”
“Aku di depan gerbang Rumah Bi. Keluar sekarang, kita perlu bicara.” Setelah itu, Shan Yan langsung memutuskan sambungan.”
“Dia membeku sesaat, lalu segera berlari ke kamarnya, mendekati jendela, menggeser tirai.”
“Di luar gerbang Rumah Bi, mobil familiar itu menyinari kegelapan malam dengan lampunya.”
“Meski tak bisa melihatnya di dalam mobil, dadanya tiba-tiba tersekat oleh kepedihan.”
“Baru sekarang dia sadar, perasaan rindu dan keterikatan itu masih ada padanya.”
“Lama setelahnya, dia akhirnya menutup tirai, menyampirkan jas, dan turun ke lantai bawah.”
Saat ini seluruh anggota Rumah Bi sudah tidur, dia sendiri yang membuka pintu besi bergaya Eropa berwarna putih.
Mungkin khawatir dia tidak melihat mobil, lampu mobil berkedip-kedip ke arahnya.
Dalam sekejap mata itu, dia melihat bayangan Shan Yan yang duduk di kursi belakang mobil, tapi sebelum sempat melihat jelas wajah Shan Yan, silau lampu mobil sudah membuatnya tak bisa melihat apa-apa.
Setelah mengunci pintu, dia berjalan menuju mobil.
Supir sekaligus Bodyguard Shan Yan, Tan Yan, turun dari mobil dan secara pribadi membukakan pintu kursi belakang untuknya.
Memandang Shan Yan yang mengenakan setelan jas hitam pekat dengan tatapan lurus ke depan, dia mati-matian membangun pertahanan dalam relung hati, berkata dengan tenang, "Apa yang mau kau bicarakan mengenai hak asuh anak?"
"Masuk." Perintahnya semakin arogan.
"Menurutku kita bisa bicara di sini." Semakin mendekat, dia tahu jantungnya akan semakin sakit, karena bahkan aura darinya bisa membuatnya teringat kemesraan mereka yang belum lama berlalu.
"Aku tak mau mengulang." Jelas sudah ketidaksenangan di wajah Shan Yan.
Memikirkan ini tentang hak asuh anak, dan keinginannya untuk tidak benar-benar berkonflik di pengadilan, setelah beberapa saat keraguan, akhirnya dia naik ke mobil.
Qin Kai menutup pintu mobil untuk mereka, kemudian tidak ikut naik melainkan menjauh, memberikan ruang privat bagi mereka berdua.
Dia memandanginya, tak seorang pun tahu bahwa saat ini dia mati-matian menahan napas, karena setiap helaan napas di dekatnya adalah siksaan.
Suara dingin Shan Yan terdengar, "Tan Yan yang memberi strategi padamu untuk melawanku?"
Dia menundukkan tatapan. "Tan Yan tidak punya tekad sebesar itu untuk meyakinkanku, yang meyakinkanku adalah logikaku." Untuk menghindari menyebabkan Tan Yan, dia berkata demikian.
Shan Yan berpura-pura merenung sebentar. "Logikamu?"
Suaranya terdengar konyol. "Ya, logikaku... Sebelumnya aku sudah kehilangan logika dengan konyol, sekarang aku menemukannya kembali."
Shan Yan tiba-tiba menoleh, tatapan muramnya tertuju padanya. "Kalau begitu jelaskan dengan jelas, sebelumnya bagaimana kau kehilangan logika?"
Tawanya dingin. "Shan Yan, kaulah yang membuatku menyadari, cinta bisa sangat kokoh, tapi juga rentan."
Tatapan Shan Yan semakin mengerut ke arahnya. "Spesifik."
Awalnya ingin mengubur dalam-dalam di relung hati, tapi saat ini tak tahan meluap. "Kau pernah mencintaiku selama sepuluh tahun, kupikir cintamu padaku sangat kokoh. Tapi rupanya ini hanya pemikiranku. Saat kau bertemu orang yang membuat hatimu berdebar lagi, cintamu bisa berubah dengan mudah."
Shan Yan mulai menyipitkan matanya. "Maksudmu perasaanku padamu sebelumnya sama sekali tidak bisa dianggap sebagai cinta yang dalam?"
Dia tertawa menyedihkan. "Jika benar cinta yang dalam, kau tidak akan dengan mudah memasang cincin di jari manis wanita lain, sekalipun aku membuatmu sangat marah."
"Lalu bagaimana denganmu?" Shan Yan membalas bertanya. "Tan Yan begitu memperhatikanmu. Berani kau katakan tidak ada sedikitpun debaran hati padanya?"
"OK, aku benci nada sombongmu." Dia mengangkat kepala dengan geram, melototi mata hitamnya. "Aku bukan kau, tak akan main dua kaki. Cintaku selalu murni, jadi aku tak pernah tertarik pada Tan Yan. Perhatian Tan Yan padaku juga cuma persahabatan biasa."
Sesuatu di mata Shan Yan seakan memudar, tatapannya berubah lembut. "Berarti kau tak akan pernah jatuh cinta pada Tan Yan?"
Dia tak paham perubahan tatapannya yang tiba-tiba, tapi nada meragukan itu membuatnya meledak, "Aku tak hina seperti bayanganmu! Aku takkan merusak keluarga orang!"
Shan Yan mengerutkan alis, "Bukankah dulu kau terang-terangan merusak rumah tangga Jiang Jun dan Qingyou?"
Dia menggigit bibir, "Kalau kau anggap aku seperti itu, tak perlu penjelasan panjang! Yang penting hati aku bersih!"
Shan Yan tiba-tiba bertanya, "Dingin?"
Emosinya sedang memuncak. Pertanyaan tak terduga ini membuatnya bengong, "Apa?"
Shan Yan sabar mengulang, "Kutanya apakah kau kedinginan? Jaket tipis begini saja yang kau pakai."
Dia tak mengerti logikanya, "Shan Yan, aku tak mau berdebat. Mari bahas hak asuh anak!"
"OK, boleh." Sambil berkata begitu, Shan Yan menaikkan suhu pemanas mobil.
Pemanas membungkus tubuhnya dengan hangat, dia baru menyadari betapa dinginnya dirinya. Rupanya suaranya gemetar tak terkendali saat berbicara dengannya, selain karena gugup menghadapinya, juga karena kedinginan.
Harus diakui, saat tubuh mulai menghangat, amarah dalam hatinya pun sedikit mereda. Terlebih ia sudah berjanji akan membicarakan hak asuh anak dengannya.
"Aku tidak ingin berhadapan di pengadilan. Jadi jika memungkinkan, kuharap kita bisa mencapai konsensus secara diam-diam mengenai hak asuh anak," ujarnya dengan tenang.
Shan Yan bersandar di kursi kulit asli, mata hitamnya yang dalam menatapnya. "Aku juga punya pemikiran serupa. Lagipula masyarakat ini selalu mengasihani yang lemah. Cukup kau meneteskan beberapa air mata di pengadilan, hakim pasti menganggapku menindas yang lemah."
Rupanya dia sudah memperkirakan akhir dari konfrontasi langsung ini. "Kalau begitu hak asuh anak jatuh padaku. Sebagai imbalan, sekaligus demi kebaikan kedua anak, aku izinkan kau menjenguk mereka kapan saja."
"Aku bisa menyetujui itu, tapi dengan satu syarat."
Mendengar persetujuannya, hatinya berseri-seri. "Katakan."
