Bab 982 Jangan Menangis...
Shan Yan seperti menangkap jejak-jejak hubungan, tatapannya tiba-tiba berubah drastis - dari kedalaman laut yang tenang menjadi gemerlap galaksi bercahaya.
"Kau..."
Sebelum kalimatnya selesai, wanita itu sudah menerobos masuk ke dalam pelukannya, memeluknya erat-erat. "Aku sudah tahu segalanya, kau tetap mencintaiku..."
Tubuh Shan Yan sejenak kaku, lalu perlahan melepaskan pelukan erat yang membelitnya.
Dia memandangnya dengan getir, seperti anak yang malang.
Shan Yan menatap wajahnya, mata yang dalam tak terlihat dasarnya. "Siapa yang memberitahumu?"
Suaranya tersekat, "Ji Sixi. Dia mencariku, bilang dia tahu kau diam-diam merencanakan sesuatu melawan Lu Jingzhi, kemudian aku juga mendapat konfirmasi."
Shan Yan memandangnya tanpa reaksi jelas di wajah.
Ia tak bisa memahami ekspresi seperti ini, mengernyit. "Apakah Ji Sixi membohongiku?"
Shan Yan tak menjawab.
Air matanya mulai menetes, karena mengira akan melihat rasa sakit hati dan kasih sayang di wajah tampannya. "Benarkah aku dimanfaatkan Ji Sixi?"
Jakun Shan Yan hanya bergerak, tetap membisu.
Air matanya mengalir deras. "Jawablah aku? Atau katakan lagi dihadapanku, bahwa kau tak mencintaiku..."
Shan Yan akhirnya bersuara, suaranya parau tak biasa. "Kau memang ditipu..."
Tubuhnya gemetar hebat dalam ketidakpercayaan.
Namun Shan Yan mengangkat tangan, membelai lembut pipinya yang halus. "Awalnya bisa kutahan dua hari, sekarang kau ajari bagaimana tega melepas?"
Dia terpaku, tak paham ucapannya, tapi suara riang tawa dari dalam apartemennya membuatnya menahan napas, mengira ada orang lain.
Tapi detik berikutnya, ia mengenali suara riang itu... Ya, berasal dari suaranya sendiri.
Seluruh dirinya membeku, lalu dia cepat-cepat melangkah memasuki Apartemennya.
Tak disangka-sangka, di bawah cahaya lampu redup Apartemennya, bayangan raksasa memutar gambar mesra mereka berdua yang pernah menghabiskan waktu bersama di sini...
Tanpa bisa mengontrol, dia menutupi mulut sambil menatap bayangan dirinya yang saat ini sedang dipeluk dari belakang olehnya...
Dia ingat saat itu, ketika dia hanya berdiri di jendela kaca menikmati gemerlap malam Kota H, tiba-tiba ia mendekat diam-diam dan memeluknya dari belakang...
Kala itu dia kaget dan sempat menegurnya, namun kalimat menyalahkan belum selesai diucapkan, sudah ditutup oleh ciumannya, disusul keintiman yang menggoda...
Air matanya bagai mutiara giok yang putus talinya, ia menunduk mulai terisak...
"Jangan nangis..."
Dalam kebingungannya, dia mendengar suaranya. Mengangkat pandangan berkabut, dilihatnya ia yang tanpa disadari telah berdiri tegak di hadapannya.
Tapi mana mungkin dia menghentikan air mata di saat ini, hanya merasakan dada dipenuhi segudang kekesalan...
Tatapan Shan Yan yang dalam mengunci dirinya, tiba-tiba ia mengulurkan tangan menekannya erat ke pangkuannya, menciumi dahinya.
Aroma maskulin yang familiar ini, kehangatan tubuh yang dikenali, sikap arogan yang tak asing, membuatnya terisak pilu...
Mereka pun sunyi sepi, hanya berpelukan seperti ini, sangat sangat lama, tak satupun melepaskan genggaman...
Hingga dia merasakan kedua kakinya mulai kebal, barulah dia perlahan mundur dari pangkuan pria itu, sepasang mata yang masih berkaca-kaca menatapnya erat.
Shan Yan tiba-tiba menangkupkan wajah wanita itu, suara rayuannya terdengar, "Jangan nangis lagi, ya?"
Begitulah sifat wanita, semakin dirayu pria, semakin deras air mata mereka...
Karena dahaga akan kasih sayang, juga karena kepuasan dan kelegaan.
"Mengapa kau bisa berpura-pura begitu sempurna di Langit Putih? Kau membuatku merasa telah benar-benar kehilanganmu?" desisnya dengan suara tersekat penuh tudingan.
Shan Yan mengusap air matanya perlahan dengan ibu jari, melihat aliran air mata yang tak kunjung henti, seketika ia mencium sudut matanya.
Hingga tangisnya mulai terkendali, barulah tatapan dalamnya menyelami wajah wanita itu, bisiknya pelan, "Sebenarnya aktingku payah, hanya saat itu kau tak melihat kilatan air mata yang juga menggenang di mataku... Saat itu, hatiku remuk redam."
Seketika isak tangisnya meledak kembali.
Orbit mata Shan Yan memerah, bola mata suramnya diselimuti kabut air tipis. "Maaf, aku mencintaimu."
Tak perlu kata-kata lagi, wanita itu menyelam ke dalam dekapan pria itu, memeluknya erat-erat. "Jangan minta maaf, asal kau mencintaiku, itu sudah cukup..."
Shan Yan menekan tubuh wanita itu dengan kuat di pangkuannya.
……
Malam sudah sangat larut, mereka masih terpaku di sofa. Wanita itu membiarkan diri dalam dekapan pria itu, sementara lengannya mengikat erat pinggangnya.
Kota H akhirnya menghentikan keriuhan malam hari, memasuki kondisi tertidur lelap, seluruh dunia kehilangan semua suara, diam hingga hanya tersisa detak jantung mereka berdua.
Dia bertanya, "Saat aku tidak ada, kau seorang diri melihat setetes-demi-setetes kenangan kita di sini seperti ini?"
Shan Yan mendekatkan rambutnya yang memancar aroma harum. "Aku merindukanmu, setiap detik dan menit."
Dia terlalu mudah terharu, lehernya seketika menjadi parau. "Jadi di apartemen ini ada kamera pengawas?"
"Ya, semua yang terjadi di apartemen ini tercatat." Shan Yan mencium daun telinganya.
Dia sedikit menoleh, memandanginya.
Ia perlahan membuka mata, tatapan berkabut menahan pandangannya. "Ada apa?"
Dia mengangkat tangannya, membelai lembut aliran alisnya. "Kau tahu betapa sakit hatiku saat tahu kau memberi cincin pasangan pada Ji Sixi?"
Shan Yan menggenggam tangannya, telapak tangan hangat membungkus tangannya. "Aku tahu, tapi aku sudah membuat cincin nikah untuk kita, hanya belum memberikannya padamu."
"Benarkah?" Suaranya tersekat tak terkontrol.
Shan Yan mencium jari-jari rampingnya. "Ya, tidak lama lagi kau akan melihat... Keindahannya akan membuatmu mengingat cinta kita."
Dia menunduk, karena mata dipenuhi air mata bahagia.
Shan Yan juga menunduk, perlahan menempelkan dahinya pada dahi. "Biarkan aku memelukmu, boleh?"
Dia tak bisa menahan terisak. "Aku benar-benar mengira kau sudah tak mencintaiku lagi..."
Shan Yan mengangkatnya dari Sofa, mendudukkannya di pangkuannya sendiri.
Dia menyandar di dada kokohnya yang penuh kehangatan, tak pernah sekalipun merasakan kebahagiaan sedalam ini.
Dengan suara parau ia berkata, "Bodoh, setelah mencintaimu bertahun-tahun, jika benar bisa menyerah semudah itu, aku tak akan tersiksa selama ini..."
Perlahan ia mengangkat kepala dari pangkuan Shan Yan, bola matanya dipenuhi penyesalan. "Maaf..."
Shan Yan menggenggam tangan kirinya, menautkan jari-jari mereka. "Yang harus minta maaf adalah aku... Aku bersumpah akan melindungimu seumur hidup, tapi malah membuatmu meneteskan begitu banyak air mata."
Dia menggelengkan kepala keras-keras, menggenggam erat tangan pria itu. "Apa ini mimpi? Jika memang mimpi, kuharap ini takkan pernah usai..."
