Bab 983 Jangan Menangis (2)
Shan Yan mengangkat tangan perempuan itu, menempelkannya erat di atas jantungnya.
Detak jantung kuat itu berdenyut seirama dengan detak jantungnya sendiri.
Dengan suara serak ia bertanya, "Apa sekarang terasa lebih nyata?"
Perempuan itu mengangguk pelan, berkata tersekat. "Bisakah kau bicara lebih banyak?"
"Aku mencintaimu, Su Mo." Patuh ia mengucapkan, tatapannya penuh ketulusan. "Seumur hidupku, tak ada yang kuinginkan kecuali dirimu."
Bola matanya kembali basah oleh air mata. "Sejak kapan kau tahu tentang keberadaan Lu Jingzhi?"
“Kau hentikan air mata, akan kuberitahu.” Shan Yan mencium sudut mata yang basah oleh air mata.
Dia menarik napas dalam-dalam, menekan perpaduan kepedihan dan sukacita di hatinya, baru bisa mengendalikan air mata.
Shan Yan akhirnya melihat dia tidak menangis lagi, baru berkata, “Sejak aku bertemu Ji Sixi.”
“Ah?” Dia terkejut. “Saat kau bertemu Ji Sixi, kau sudah tahu dia punya maksud tertentu mendekatimu?”
Shan Yan memeluknya erat, dagu menempel di rambut lembutnya. “Dia terlalu miripmu, segala hal seperti dirimu, bahkan pertemuan pertama kami pun sangat mirip dengan pertemuan pertama kita dulu.”
“Pertemuan pertama?” Dia memandangnya dengan bingung.
Ia tersenyum tipis. “Kau memang sudah lupa bagaimana kita berkenalan dulu.”
Dengan rasa bersalah dia menggigit bibir bawah, “Maafkan aku... Aku benar-benar tidak ingat perkenalan kita dulu, hanya tahu kita pernah sahabat baik. Setiap kali sedih, aku selalu mencarimu di rooftop vila yang jarang ditinggali ayah, menceritakan semua isi hati.”
Shan Yan menggeleng. “Tak apa, lagipula saat itu pikiranmu hanya dipenuhi Jiang Jun.”
Dia buru-buru menyela, “Tapi itu sudah berlalu, perasaanku pada Jiang Jun sekarang...”
Tiba-tiba Shan Yan menyumbat mulutnya dengan ciuman.
Dia membeku sejenak, lalu merangkul lehernya erat, larut dalam keintiman bibir yang romantis.
Setelah lama bercumbu, barulah mereka melepas pelukan.
Saat tatapan saling bertemu, dia melanjutkan topik tadi, "Jiang Jun bagiku sudah menjadi masa lalu, sedangkan kaulah masa kini dan masa depanku."
"Aku tahu." Suara parau Shan Yan yang merdu terdengar.
Dia bergumam, "Lalu kenapa kau menciumku? Aku sampai mengira kau tidak percaya ucapanku..."
Wajah tampannya merekah senyum, "Aku hanya suka melihatmu tegang, dan lebih suka lagi saat kau berusaha keras menyenangkanku di saat genting itu."
Dengan kesal, dia mengangkat tinju dan memukul dada kekarnya. "Keterlaluan!"
Shan Yan menekan kembali kepalanya ke pangkuan, perlahan berkata, "Aku takkan pernah melupakan pertamakali melihatmu... Saat itu kau baru pulang dari luar negeri, menjadi gadis tercantik yang pernah kulihat. Matamu berbinar jernih bagai bintang di langit, senyummu manis mampu melelehkan segala kepahitan di dunia... Saat itu aku berpikir, alangkah indahnya jika gadis ini kelak bisa menjadi istriku!"
Dia mendongak, memandangnya yang tengah terbenam dalam kenangan. "Aku tidak sebagus yang kau katakan..."
Shan Yan menundukkan mata, menatapnya dalam-dalam. "Bertahun-tahun ini kau jarang tersenyum, tapi tahukah kau? Saat kau tersenyum, itulah pemandangan terindah di dunia."
"Benarkah?"
Shan Yan mengangguk. "Waktu itu aku masih hijau. Aku tak berani menunjukkan rasa suka di hadapanmu, apalagi status kita bagai langit dan bumi..."
“Dalam ingatanku, kau adalah orang yang paling sedikit bicara di antara semua bawahan Ayah.” Ya, saat itu dia masih merasa bahwa ia agak tidak menyukainya, karena setiap kali Ayah menyuruhnya mengantarnya pergi, ia selalu menunjukkan wajah yang dingin.
“Karena saat itu kau selalu menceritakan tentang pacar resmimu, aku sangat tidak senang.”
“... Pantas saja kau jarang berbicara denganku.”
“Aku tidak berbicara denganmu, agar aku juga tidak perlu sering mendengar dari mulutmu tentang kemesraanmu dengan pacarmu...”
Dia menyembunyikan wajahnya di dadanya, mengendus aroma maskulinnya yang harum. “Tapi justru karena kau jarang bicara, itu membuatmu terasa spesial, jadi kemudian aku ingin berteman denganmu...”
“Aku tahu kau akan mau berteman denganku.”
“Ah?” Matanya terbelalak menatapnya. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Shan Yan tersenyum halus. “Karena kau gadis yang berbaik hati. Melihatku yang selalu murung, kau ingin meredam kesedihan di relung hatiku...”
Mata bulatnya membelalak tak percaya. “Jadi, sebenarnya aku terjebak dalam skenariomu?”
Shan Yan mengangkat tangan, menggores lembut tulang hidungnya. “Bisa dibilang ini bukan jebakan... Lebih tepatnya usahaku agar kau menyadariku...”
Dengus kecil meluncur dari hidungnya. “Masih berkilah... Kalau bukan karena sikapmu yang selalu dingin, mana mungkin aku tertarik... Kupikir, pemuda tampan seperti ini jika terus menyendiri, sungguh disayangkan seumur hidup...”
“Tampan?” Ujung alis Shan Yan berkerenyit bahagia. “Rupanya penampilanku yang menarik perhatianmu.”
“……”
Shan Yan kembali mencium dahinya. "Aku mengakui, saat itu aku begitu iri pada Jiang Jun hingga hampir gila, tapi kalian berdua memang sepadan, tak mungkin aku tidak mendoakanmu dalam hati... Jadi, aku berharap bisa menjadi sahabatmu, seumur hidup ini meski hanya bisa menjagamu sebagai teman di dekatmu."
Dia mengangkat tangan dan mengelus pipinya dengan penuh kasih. "Aku ingat suatu kali naik mobilmu, tiba-tiba ada mobil di depan yang lepas kendali menyerbu kami. Saat itu kau langsung mempertahankan aku yang duduk di kursi penumpang... Sejak detik itulah kita menjadi sahabat. Kemudian kuberitahu semua isi hatiku, sementara kau selalu menyimak dengan diam dan membantuku mencari solusi masalah."
"Aku tak mau melihat wajahmu yang tak bahagia. Setiap kali kau bersedih, aku berpikir: Jika aku yang menemani, takkan pernah kubiarkan kau merasakan kesedihan." Suara Shan Yan terdengar parau.
"Dulu yang membuatku sedih hanya urusan keluarga. Tapi tak bisa kuberitahu Jiang Jun, karena tak mau dia tahu aku ini anak haram..."
"Aku tahu, saat itu kau merasa rendah diri di hadapan Jiang Jun."
"Makanya semua kesedihan itu hanya bisa kubicarakan padamu..." Sambil berkata demikian, dia memeluk lehernya erat, menatap dalam-dalam. "Kini kusadari, Tuhan memang sudah menakdirkan Jiang Jun hanya sebagai orang yang lewat dalam hidupku. Karena yang selalu menemani di saat sedih memang dari dulu sampai sekarang adalah kau."
Shan Yan tak tahan menunduk dan mematuk bibirnya. „Ji Sixi ada sedikit kemiripan denganmu, dia tiba-tiba muncul di duniaku, selalu tersenyum ramah. Ini memang membuatku melihat bayanganmu dalam dirinya, menciptakan kebingungan...“
„Maksudmu, kau menganggapnya sebagai aku?“
„Ya. Setelah aku datang sendirian ke Kota H, aku pernah membayangkannya sebagai dirimu.“
