"Bab 1001Karena Aku Mencintaimu"
Shan Yan pulang kerja sore hari tepat waktu ke apartemen. Ia sudah memikirkan cara berbicara dengannya, jadi berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa. "Hari ini lelah tidak?" Saat melepas mantel jasnya, ia berbisik penuh kasih.
"Hari ini pergi ke Kota S, jadi agak lelah." Shan Yan menopang pinggangnya, menikmati pelayanannya.
"Ah, pagi tadi kau pergi ke Kota S ya?" Ia tahu perjalanan pulang-pergi ke Kota S membutuhkan setidaknya setengah hari, pantasan ia terlihat letih.
"Ya, berurusan dengan sebuah bank di sana... Jika bank ini mau meminjamkan uang, mungkin bahaya Ximei bisa terselesaikan." Shan Yan berkata sejujurnya.
"Ah?" Ia berseri-seri bertanya, "Benarkah? Bank ini mau meminjamkan uang ke Ximei?"
Shan Yan mengangguk, "Direktur bank ini sebelumnya punya hubungan baik denganku. Tapi meminjamkan jumlah sebesar ini, dia perlu pertimbangan... Jadi hasilnya masih belum jelas."
"Tapi setidaknya masih ada harapan, bukan?" Ini kabar terbaik yang didengarnya akhir-akhir ini.
Shan Yan menunduk mematuk bibirnya, "Selama kau ada di sini, tak ada yang bisa membuatku kehilangan keyakinan."
Ucapannya membuat hati perempuan itu tiba-tiba dipenuhi rasa bersalah dan menyalahkan diri.
Ia begitu mencintainya, tapi dirinya selalu mengecewakannya.
Perempuan itu menunduk, tiba-tiba tak tahu bagaimana membicarakan urusan Ji Sixi dengannya.
Shan Yan menangkap pusat permasalahannya, mengerutkan alis tampan. "Ada apa? Tiba-tiba diam saja?"
Perempuan itu mengangkat pandangan memandang Shan Yan, begitu bergejolak.
“Ada apa?” Shan Yan mengira dia ada urusan, menariknya dalam pelukan. "Masih ada pusat permasalahan yang tak bisa kau ceritakan padaku?"
Memikirkan janin di perut Ji Sixi, dia menggigit bibir, pada akhirnya membuka bibir dengan getir, "Shan Yan, aku memutuskan ingin membantu Ji Sixi."
Mendengar itu, tubuh Shan Yan jelas kaku sejenak, tapi tak berkata apa-apa, hanya tatapannya menjadi sedalam lautan tenang.
Dia merasa sangat bersalah, "Aku tahu seharusnya mendengarkanmu, karena ucapanmu tak terhitung kali terbukti benar, tapi... Ji Sixi hamil, aku tak bisa diam melihat dia dan janinnya ketahuan, lagipula ini kesalahanku."
Shan Yan diam, wajahnya terlihat dingin.
Dia menundukkan kepala, relung hatinya penuh hutang pada Shan Yan, namun tak sanggup menahan siksaan nurani. "Jadi, Shan Yan... izinkan aku menelepon Lu Jingzhi sekali saja, aku janji hanya sekali. Jika dia tak mau dengar bujukan, aku takkan peduli lagi."
Shan Yan memandangnya, akhirnya bersuara, "Kalau begitu kutanya, jika Lu Jingzhi dalam telepon meminta pertemuan, apakah kau akan menemuinya?"
Secara refleks dia mengangkat kepala, langsung menjawab, "Sudah kukatakan tadi, aku hanya akan menelepon. Jika dia tak mau dengar, aku akan menyerah... jadi sama sekali takkan kutemui dia."
Shan Yan menyipitkan mata dengan kelicikan menggemaskan, meninjau ulangnya dengan tatapan meragukan, "Bagaimana jika Lu Jingzhi bilang dia akan melepaskan Ji Sixi asalkan kau mau menemuinya?"
"Ini..."
"Akan kautolak pertemuannya?"
“Aku……” Seketika, dia tak tahu bagaimana menjawab. Sebelumnya sama sekali tidak terpikir olehnya pertanyaan ini.
Shan Yan dengan suara dingin melanjutkan, “Pernahkah kau berpikir, mungkin tindakan Lu Jingzhi terhadap Ji Sixi sebenarnya adalah jebakan? Tujuannya ingin memanfaatkan Ji Sixi untuk memancing rasa ibamu, sehingga dia mendapat kesempatan mendekatimu.”
“Tapi menurutku tidak... Dia tak perlu bersusah payah seperti ini hanya untuk menemui aku sekali.” Dia jujur mengungkapkan isi hatinya.
Shan Yan mendengus sinis, sudut bibirnya terangkat. “Mengapa tak mungkin? Kau harus tahu, sekarang ini sangat sulit baginya untuk menemuimu.”
Benar. Saat ini Shan Yan mengerahkan bodyguard yang melindunginya 24 jam. Selain pergi bersama Shan Yan, hampir tak pernah dia melangkahkan kaki keluar apartemen. Lu Jingzhi sama sekali tak punya kesempatan untuk bertemu lagi.
Alisnya berkerut. “Menurutmu dia akan bersusah payah memanfaatkan Ji Sixi hanya untuk mendapat simpatiku, meredam kerinduan?”
“Tentu. Dia sangat mengenalmu.” Begitu kata Shan Yan.
“Tapi apa gunanya bertemu denganku?” tanyanya bingung.
“Mungkin di relung hatinya telah tersusun rencana baru.” Suara Shan Yan berat penuh makna.
“Maksudmu...” Kerutan di keningnya semakin dalam. “Kau pikir dia mungkin berniat jahat padaku?”
“Ya.”
Seketika dia menggeleng. “Tapi beberapa pertemuan sebelumnya telah membuktikan dia takkan...”
Shan Yan menyeringai dingin. “Dulu tidak, bukan berarti sekarang tidak. Pikirannya selalu misterius. Dan aku tak mau kau mengambil risiko ini.”
“Tapi ini hanya dugaanmu, dan jika kau salah menebak, nyawa Ji Sixi mungkin akan…” Dia kembali teringat mimpi aneh pagi tadi, hatinya masih trauma hingga saat ini.
Dia sangat paham, jika benar-benar ada yang terjadi pada Ji Sixi, nuraninya akan tersiksa seumur hidup.
Shan Yan mengangkat tangan merangkul bahunya. “Sudah kukatakan, bahkan jika sesuatu terjadi pada Ji Sixi, itu bukan salahmu.”
“Tapi Ji Sixi sedang mengandung… Shan Yan, ini menyangkut dua nyawa sekarang!” Tatapan memohonnya tertuju padanya.
Shan Yan kembali diselimuti kesunyian.
Dia menundukkan kepala, suara seraknya terdengar, “Jika aku tidak memberitahu kebenaran pada Lu Jingzhi, Ji Sixi tidak akan dalam bahaya… Karena itu aku benar-benar tidak bisa mengabaikan suara hati.”
Shan Yan mendesah pelan, “Lu Jingzhi sengaja memanfaatkan kebaikan hatimu.”
Tanpa keberatan mengangkat wajah, karena tahu pasti tatapan Shan Yan saat ini penuh kekecewaan. Namun di hadapan dua nyawa, terpaksa sekali lagi dia mengecewakannya. “Menurutku kau terlalu waspada, sehingga mengira semua ini adalah jebakan Lu Jingzhi...”
Kembali Shan Yan terdiam lama, lalu berkata datar, “Bagaimana jika aku tetap tidak setuju?”
Dia menutup mata sebentar. “Maka akan kuterus memohon, sampai kau setuju.”
Shan Yan melepaskan pelan genggamannya dari bahu wanita itu. “Kau akan menyesal.”
Dia tahu dia telah membuatnya sangat tidak senang. Dia lama memejamkan mata. "Kau bilang ini jebakan Lu Jingzhi, ini hanya dugaanmu, tapi kenyataannya Ji Sixi sudah dibelenggu oleh Lu Jingzhi, jika tidak Tan Yan takkan mencariku..."
Shan Yan lama tidak berbicara.
Dengan keras bagai besi dia mempertahankan postur tubuhnya yang tegak, tak ada niat untuk menyerah.
Entah berapa lama, akhirnya dia mendengar suara berat Shan Yan, "Jika kau benar-benar memutuskan untuk melakukan ini, aku tak akan menghentikanmu. Karena aku tak ingin kau tak bahagia, dan tak mau memaksamu."
Mendengar itu, perlahan dia membuka mata. Baru sadar matanya sudah dipenuhi kabut air tipis. Suaranya tersekat, "Maaf, Shan Yan... Aku sekali lagi mengecewakanmu."
Shan Yan menghela napas panjang, lengan panjangnya tetap merangkul erat tubuhnya. "Antara kita tak perlu kata 'maaf'. Karena aku mencintaimu... Tadi aku bukan marah padamu, hanya berharap keputusanmu sudah direnungkan dalam-dalam."
Dia menunduk di dada pria itu. "Sudah kupikirkan... Aku harus melakukan ini..."
