"Jangan beri tahu Kakakmu."
Saat kembali ke mobil, dia sekali lagi mengingatkan Qingyou.
Wajah Qingyou sudah dipenuhi jejak air mata. "Mengapa begini? Kau dan Kakak susah payah melewati semua rintangan..."
Dia menyandarkan diri di sandaran kursi, tersenyum datar. "Ini mungkin hukumanku...Aku terlalu banyak berhutang pada orang."
Qingyou menggelengkan kepala keras-keras. "Aku tak mau ada apa-apa padamu..."
Dia memandang Qingyou dengan lembut. "Sudah, sebelum pulang, pastikan keringkan air mata...Kakakmu sebentar lagi pulang, aku tak mau dia menangkap jejak-jejak hubungan."
"Beri tahu Kakak, dia pasti punya cara..." suara Qingyou tersekat.
Dia berkata dengan tenang, "Tak ada cara lagi, karena saat operasi transplantasi jantung sebelumnya, dokter sudah memberitahuku bahwa aku tak bisa melakukan operasi ganti jantung lagi..."
"Bagaimana mungkin begini?" Qingyou terisak-isak, tak percaya dengan kenyataan ini.
Ia diam-diam bersandar di sandaran kursi. "Menurut dokter, frekuensi sakit jantungku akan semakin sering, lalu aku akan mati dalam kesakitan hebat... Jadi sekarang aku hanya bisa melakukan hal yang kumau, menyelesaikan keinginanku yang tertunda."
"Tidak, aku mau bilang ke kakakku..." Qingyou hendak mengeluarkan ponsel.
Langsung ia mengulurkan tangan mencegah. "Jangan lakukan ini, Qingyou, kau sudah berjanji padaku takkan memberitahu kakakmu..."
"Tapi kau sebentar lagi akan mati..." Qingyou menangis tersedu-sedu.
Ia memeluk Qingyou, perlahan menyandarkan kepala di bahu Qingyou, berkata mantap, "Kakakmu belum menyelesaikan masalah perusahaan. Jika dia tahu jantungku bermasalah, pasti takkan bisa fokus... Aku tak mau dia terganggu."
"Tapi perusahaan tak penting baginya, yang dia pedulikan hanya kau..."
"Aku tahu, tapi aku tak mau dia kehilangan semuanya karena aku... Harus kau ingat, andai bukan karena aku, yang dia miliki akan jauh lebih banyak dari sekarang."
"Kakak ipar..."
Perlahan ia melepas pelukan Qingyou, memohon, "Kumohon janji padamu, jangan beri tahu kakakmu."
Air mata Qingyou berlinang jatuh. "Jika benar kulakukan ini, nanti kakakmu pasti sangat benci padaku..."
“Tapi kau harus paham, yang kulakukan ini benar.” Dia tersenyum sambil berkata, “Biarkan aku juga memikirkan Kakakmu sekali, jangan biarkan dia terus berkorban untukku!”
Qingyou menggelengkan kepala keras-keras.
Dia mengulurkan tangan menyeka jejak air mata di sudut mata dan wajah Qingyou. “Sayang, jangan nangis... Kalau Kakakmu pulang lebih awal dan melihatmu seperti ini, pasti ia akan mencurigai.”
Qingyou baru kemudian menahan air matanya dengan susah payah, mencela keras, “Mengapa Tuhan begitu kejam padamu dan Kakakku?”
Dia tetap tersenyum.
Saat itu, ponsel Qingyou berdering.
Khawatir itu panggilan dari Jiang Jun, dia segera mengingatkan, “Tolong jangan beri tahu Jiang Jun... Sudah kukatakan, Jiang Jun terlalu logis, pasti akan memberitahu Shan Yan.”
Qingyou terisak-isak mengeluarkan ponsel dari tas, tapi ternyata telepon bukan dari Jiang Jun. “Ini Ibu.”
“Ibu?”
Qingyou mengangguk, menarik napas dalam, lalu menekan tombol penerimaan. “Ibu...”
Entah apa yang ibu mertua katakan di ujung sana, tiba-tiba Qingyou terkejut berseru, “Ibu bagaimana bisa tahu?”
Tak lama kemudian, Qingyou langsung mematikan telepon ibu mertua.
Melihat adegan ini, dia bertanya ragu, “Qingyou, kenapa kau tutup telepon Ibu?”
Qingyou membeku sejenak, lalu menjawab, “Kakak ipar, tak kusangka percakapan kita di Kota C sebelumnya didengar Ibu. Ibu tahu aku ikutmu ke rumah sakit, Ibu sedang menanyakan kondisimu...”
Dia sedikit kaku.
“Aku tidak tahu bagaimana menjawab Ibu, dalam panik aku langsung menutup telepon.”
Setelah tersadar, dia bertanya, "Ibu masih mengatakan apa lagi padamu?"
Qingyou menggelengkan kepala, "Beliau hanya terus menanyakan kondisimu."
Tak disangka, begitu Qingyou selesai bicara, ponsel kembali berdering.
Melihat itu telepon ibu mertua lagi, Qingyou panik berkata, "Bagaimana ini? Ibu lagi..."
Dia menutup matanya sebentar, lalu menarik napas dalam dan berkata, "Berikan teleponnya padaku!"
Qingyou terkejut, "Kakak ipar, kamu..."
Dengan tenang dia menjawab, "Karena Ibu sudah tahu kamu menemaniku ke rumah sakit, biar kujelaskan yang sebenarnya!"
Qingyou malah menyimpan ponselnya, sambil menggeleng, "Tidak bisa! Aku tak boleh biarkan kamu memberitahu penyakitmu ke Ibu..."
Dia mengerutkan alis, "Ada apa?"
Suara Qingyou tersekat, "Kau kira aku tidak tahu Ibu sudah meneleponmu?"
Tatapannya terhenti.
Qingyou menangis, "Sejak Kakak ketahuan sampai sekarang, aku sudah lama melihat sikap Ibu padamu berubah... Ibu menyalahkanmu karena selalu membuat Kakak kena masalah... Jadi kurasa Ibu pasti sudah mengatakan hal-hal keterlaluan padamu."
Dia memang tahu Qingyou orang yang teliti, tapi tak menyangka adik iparnya ini juga menangkap hal tersebut.
Dengan tenang dia berkata, "Kau terlalu banyak berpikir..."
Qingyou menggelengkan kepala, “Aku tidak berlebihan, karena aku memahami karakter Ibu... Jadi jika Ibu tahu kondisi penyakitmu, Ibu akan semakin membujukmu untuk meninggalkan Kakak.” Dengan pasrah ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, mendengar nada ponsel Qingyou yang masih terus berbunyi, berkata datar, “Qingyou, aku tak mau menipumu... Sebelumnya Ibu memang sudah meneleponku, berharap aku mau meninggalkan kakakmu, tapi sama sekali tak ada keinginan seperti itu dalam pikiranku, karena aku sangat mencintai kakakmu, dan tahu kakakmu juga sangat mencintaiiku,
Jika aku meninggalkan kakakmu, sungguh akan mengecewakan cinta tulusnya... Tapi sekarang, aku memutuskan untuk mempertimbangkan saran Ibu.”
“Kakak ipar...” Qingyou terisak.
Pandangan datarnya menatap kaca depan mobil, dengan tenang ia berkata, “Selama ini kakakmu telah banyak berkorban untukku, sekarang saatnya aku yang berkorban untuknya... Lagipula, jika tak segera kukorbankan diri, kesempatanku akan habis...”
“Jika kau meninggalkan Kakak, kakakku pasti akan menggila mencarimu ke seluruh penjuru dunia...”
Ia mengangguk, “Aku tahu dia akan begitu, tapi pada akhirnya dia akan bangkit demi kedua anak kami, karena kedua anak tak bisa kehilangan dia...”
“Kakak ipar...”
Ia menutup mata. “Qingyou, sudah... Berikan teleponnya padaku!”
Qingyou masih menyembunyikan ponsel di belakang punggungnya.
Ia mengulurkan tangan. “Jika kau tak mengizinkanku menerima telepon ibu mertua sekarang, nanti aku akan meneleponnya sendiri.”
Qingyou memandanginya dengan pilu, lama sekali baru perlahan mengeluarkan ponsel itu.
Ia mengambil ponsel itu, langsung menekan tombol penerimaan.
Ibu mertua mengira itu Qingyou, menegur pelan, "Sejak kapan kau bahkan tak mau jujur pada ibu?"
Dia menarik napas dalam-dalam, tersenyum, "Ibu, ini aku."
Ibu mertua membeku. "Su Mo."
Dengan tenang dia menjelaskan, "Ibu, Qingyou tidak memberitahu kondisi tubuhku karena bingung bagaimana mengubah sebutan hubungan..."
"Mengapa?" Suara ibu mertua bergetar, seolah mencium firasat buruk.
Senyumnya tetap tersungging, perlahan dia berkata, "Ibu, mungkin aku tak bisa bertahan lama..." "Apa...?" Ibu mertua terkejut luar biasa, tak percaya pada telinganya sendiri.
