Melihat Shan Yan di TV mengenakan setelan jas abu-abu baja, tampan luar biasa dan penuh semangat mengumumkan restart proyek "Green Land", dia tersenyum seperti gadis kecil dengan ekspresi tak bisa melepaskan pandangan...
Ia benar-benar tampan.
Saat ia tersenyum, bahkan wartawan yang mewawancarainya sampai pipi memerah.
Percaya di masa depan pasti ada gadis baik yang akan merawatnya dengan tulus...
Dan karena ia begitu baik, jika Tuhan adil, hari-hari mendatang pasti akan memberkahinya...
Tik——
Mendengar suara kunci kode digital pintu kamar terbuka, secara refleks ia menoleh, tanpa sengaja bertatapan dengan orang yang baru saja tiba di rumah.
Ia tersenyum, membuka kedua tangan.
Tahu maksudnya, segera ia bangkit dari sofa dan berlari menghampiri.
Dengan lihai ia memeluknya, menciumnya erat beberapa kali. "Istri..."
Belakangan ia selalu memanggilnya begitu, dan seolah semakin lancar saja.
Mendongakkan kepala, memandangi wajahnya yang di dunia nyata lebih tampan daripada di TV, ia bertanya ragu, "Kenapa pulang?"
Pria itu tersenyum, "Aku pulang untuk menemanimu!"
Dia membantunya melepaskan mantel jas. "Bukankah hari ini pagi hari peluncuran proyek 'Hijau'?"
"Ya, proyek sudah berhasil diluncurkan. Sekarang semua pekerja sudah berada di lokasi konstruksi." Shan Yan memeluknya, bersama-sama berjalan menuju sofa.
Dia membantunya melonggarkan dasi di lehernya. "Tapi seharusnya hari ini kau punya banyak acara bisnis, kupikir kau akan pulang larut malam..."
Ia memeluknya erat-erat dengan penuh kasihan. "Tentu ada banyak acara bisnis, tapi aku menggunakan alasan tidak enak badan dan menyerahkan semuanya ke wakil direktur dan beberapa anggota dewan untuk menanganinya."
"Bisa seperti itu?" Alisnya berkerut, "Mereka yang membantumu, seperti bank yang memberimu pinjaman, jika kau tidak datang, mungkin mereka akan marah?"
Ia memandangnya dengan manja. "Biarlah mereka marah, aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanya kamu."
"Aku di rumah baik-baik saja..."
"Bukankah kamu yang mengeluh aku jarang menemanimu? Jadi sekarang selama ada kesempatan dan waktu, aku akan pulang untuk menemanimu..." Shan Yan menggores hidungnya dengan lembut.
Tak disangka ucapan santainya yang sambil lalu diingatnya dengan begitu tulus. Hidungnya mulai terasa pedih karena haru. "Kau begitu baik padaku, aku tidak tahu bagaimana membalasnya..."
Shan Yan menariknya ke dalam pelukan, menciumi leher panjangnya sambil berbisik dengan suara berat bernada merdu, "Kalau begitu balaslah dengan tubuhmu..."
"Nggak serius." Dengan kepalan kecilnya, dia mengetuk punggungnya perlahan.
Shan Yan baru melepaskan pelukannya sedikit, tapi di balik sorotan matanya masih terlihat nafsu yang menggebu.
Dia menyandarkan diri di dada-nya, sambil memeluknya, dengan suara lembut namun penuh makna berkata, "Shan Yan, kalau bisa, aku benar-benar berharap waktu bisa berhenti selamanya di ketukan ini..."
"Bodoh, saat ini saja kau sudah merasa sempurna?"
"Ya."
"Benar-benar si kecil bodoh... Kita pasti akan memiliki banyak momen yang jauh lebih indah dari sekarang di masa depan, dan kau lupa, aku masih harus melamarmu, memberimu pernikahan megah." Shan Yan menundukkan kepala, melekat erat padanya.
Senyuman samar merekah di wajahnya. "Benarkah? Lalu bagaimana rencanamu melamarku?"
"Kalau kuberitahu sekarang, apakah masih bisa menyentuh hatimu nanti?" Shan Yan menggigit perlahan lehernya.
"Bocorin sedikitlah, sekalian ceritakan persiapan pernikahan seperti apa yang kau siapkan, biar kubayangkan..." Dia sangat merindukan hari-hari seperti ini, sayangnya dia tahu itu takkan terwujud...
"Nakal, tentu saja aku tak bisa memberitahumu sekarang."
"Sedikit saja..."
"Tidak, bagaimanapun kau merengek."
"Bajingan."
Shan Yan mengangkatnya dari sofa, langsung menuju ranjang besar di kamar.
Dia melingkarkan tangan di lehernya, memandangnya dengan malu. "Sekarang aku tahu, pulang cepatmu hanya untuk..."
Shan Yan membaringkannya di ranjang, menindih tubuhnya, sambil berkata, "Istriku, kalau aku tak punya keinginan seperti ini, berarti aku tak cukup mencintaimu..."
"Memutar balik fakta." Dia berpura-pura kesal.
Shan Yan tersenyum, lalu menangkup wajahnya, perlahan menutupi mulutnya dengan ciuman penuh kasih...
……
Dia sama sekali tidak tertidur, sementara Shan Yan saat ini sedang terlelap.
Seperti malam-malam belakangan ini, diam-diam ia menatap profil tampannya yang tergambar jelas.
Ia benar-benar bersyukur, selama bersama Shan Yan, Tuhan tidak membuat jantungnya kambuh, memberi mereka hari-hari bahagia terakhir ini.
Sayang, hari-hari seperti ini akan segera berakhir...
Proyek "Lapangan Hijau" telah dimulai. Harga saham perusahaan berhasil pulih bahkan melampaui level sebelumnya saat proyek ini resmi diluncurkan kembali hari ini...
Ini berarti masalah Ximei telah terselesaikan...
Akhirnya ia bisa pergi tanpa beban...
Besok, ia akan mengunjungi Kota C untuk menjenguk dua anak lelakinya. Lusa, ia akan langsung berangkat dari Bandara Kota H meninggalkan Tiongkok...
Ia tak tahu berapa lama bisa bertahan setelah pergi, tapi yakin ini keputusan paling benar seumur hidupnya...
Setelah memberi begitu banyak kesengsaraan pada Shan Yan, akhirnya ia bisa berkorban untuknya sekali ini...
Tanpa kehadiran Lu Jingzhi, kehidupan masa depan Shan Yan tak akan lagi terhambat. Ia akan hidup tenang dan bahagia. Meski mungkin kini harus menderita sebentar kehilangannya, tapi demi anak-anak, ia pasti bisa bertahan...
Semoga penderitaannya hanya sebentar. Semoga Tuhan masih berkenan melindunginya...
……
Saat sedang mengolah bahan di dapur, Shan Yan terbangun.
Melihatnya sibuk di dapur, Shan Yan mengerutkan alis. "Kenapa tidak tidur lebih lama lagi?"
Dia memandangnya yang masih tampak santai baru bangun tidur, tersenyum tipis. "Wajahmu sekarang mirip anak remaja, sama sekali tidak terlihat seperti pria tiga puluh tahunan..."
"Benarkah?" Shan Yan mendekat, dengan natural melingkari pinggangnya. "Apa buruknya jika aku seperti anak remaja?"
Dia menggelengkan kepala. "Iya, kalau kau seperti anak remaja, aku akan terlihat sangat tua."
"Siapa bilang kau tua... Kau masih muda seperti saat pertama kita bertemu." Shan Yan tak tahan mencium telinganya.
Dia geli dibuatnya, menyusutkan leher. "Bicara ya bicara, ngapain mencium..."
"Aku memang ingin mencium."
Dia tak bisa menahan tawa. "Persis belum dewasa."
Shan Yan semakin memeluk erat. "Jangan masak... Ayo kita makan di luar!"
"Mengapa?"
"Aku tak mau kau lelah."
"Masa iya lelah? Sekarang aku sangat bersedia memasak untukmu..."
"Ini kau yang bilang ya, nanti kusuruh kau masak untukku setiap hari..."
"Graaah..."
"Kenapa? Takut disebut setiap hari?"
Mana mungkin dia takut?
Jika boleh, bukan hanya di kehidupan ini, bahkan di kehidupan berikutnya, dan setelahnya lagi, dia tetap bersedia...
Hanya saja, kesempatan itu tak ada lagi... Menelan kepahitan yang menyelinap di hati, dia tersenyum. "Baik, setiap hari akan kumasak untukmu, di kehidupan selanjutnya juga akan memasak untukmu."
