New York lebih dingin daripada Kota C, juga lebih indah, karena di New York salju turun lebat.
Ia berdiri di dalam ruangan berpemanas, memandang pemandangan salju indah di luar, tak kuasa berterima kasih pada Tuhan, yang di detik-detik terakhir ini masih memberinya kesempatan menikmati pemandangan secantik ini.
Hanya saja, jika Tuhan benar-benar baik padanya, tolong berikan kabar tentang Shan Yan, beri tahu apakah ia baik-baik saja saat ini.
Ia tahu pada akhirnya ia akan bangkit demi kedua anak mereka, tapi tak bisa membayangkan kepedihan dan siksaan yang sedang ia tanggung sekarang, hatinya tersayat...
“Nona Su, Pak Lu datang.”
Teriakan bodyguard menyadarkannya dari pikiran yang tenggelam, ia mengangguk.
Tak lama, suara pintu gerbang vila terdengar. Ia tahu Lu Jingzhi telah datang, tetap tak menoleh.
Lu Jingzhi muncul di belakangnya, suaranya tetap rileks seperti biasa, bertanya lembut, “Dingin?”
Ia menggeleng.
Lu Jingzhi tetap menyampirkan mantel jasnya di bahunya. “Lebih baik pakai.”
“Tidak perlu.” Langsung ia melepas mantel jas itu.
Lu Jingzhi mendesah pasrah, menarik kembali mantelnya, tapi memerintahkan seorang pelayan di vila, “Bawakan Nona Su mantel.”
“Baik.” Pelayan itu bergegas pergi.
Lu Jingzhi menyerahkan mantel jas kepada bodyguard, lalu muncul di sampingnya.
Salju di luar masih belum menunjukkan tanda berhenti, membuat seluruh dunia diselimuti perak, indah bagai pemandangan dalam kisah dongeng.
Apalagi lokasinya di pinggiran kota, pemandangan semakin memesona.
"Suka tempat ini?" tiba-tiba Lu Jingzhi bertanya padanya.
Dia menjawab jujur, "Tempat ini memang sangat indah."
Lu Jingzhi tersenyum, "Entah mengapa, aku selalu merasa kamu akan menyukai tempat ini. Jadi kubawa kamu ke sini... Menurut prakiraan cuaca, salju akan terus turun di sini dalam waktu dekat. Jadi pemandangan indah seperti ini akan bertahan lama."
"Benarkah?" jawabnya dengan dingin.
Lu Jingzhi menoleh, memandangnya. "Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan dalam hati, tapi aku tidak percaya kamu sama sekali tidak punya harapan."
"Jadi menurutmu aku bisa bertahan sampai badai salju ini berakhir?" candanya genit, tapi hati sedingin aliran air.
Lu Jingzhi mengerutkan kening, "Meski tidak bisa menjamin, tapi aku pasti akan berusaha maksimal menyembuhkanmu."
"Sebenarnya kamu tak perlu menyia-nyiakan tenaga. Laporan pemeriksaan dokter sudah kamu lihat, sama sekali tidak ada harapan..." Andai ada sedikit harapan, dia tidak akan menyerah. Hanya karena dia tahu dalam hati, keajaiban mustahil terjadi.
Rasa sakit di jantungnya semakin sering kambuh, juga semakin menyiksa. Dia tahu, dalam waktu dekat, suatu hari nanti, dia akan meninggalkan dunia ini selamanya dalam kesakitan yang luar biasa...
Lu Jingzhi terdiam sejenak.
Dia tahu saat ini pria itu sedang memikirkan laporan pemeriksaan tersebut.
"Ya, bahkan otoritas kardiologi terkemuka di New York pun telah mengumumkan bahwa dia tidak bisa diselamatkan... Saat melaporkan situasi ini kepada Lu Jingzhi, dokter itu sempat menghela napas, menyesali usianya yang masih muda."
"Bagaimanapun, aku tetap harus berterima kasih padamu... Awalnya aku berniat mengembara sendiri untuk sementara waktu, tapi kau memberikanku lingkungan yang indah dan nyaman." Kalimat ini diucapkannya dengan tulus.
Lu Jingzhi baru tersentak, menatapnya dalam-dalam. "Sebenarnya aku sangat mengagumi perasaanmu pada Shan Yan. Karena di saat seperti ini kau bisa memutuskan untuk meninggalkannya, ini benar-benar membutuhkan cinta yang sangat dalam."
"Oh?" Dia menoleh.
Lu Jingzhi melanjutkan, "Bukankah begitu? Di saat-saat terakhir ini, aku yakin kerinduan terbesarmu adalah menghabiskan waktu bersama Shan Yan."
Dia tersenyum tipis, "Aku senang kau akhirnya mulai memahami apa itu cinta..."
Sorot mata gelap Lu Jingzhi meredup dalam-dalam. "Jadi sebenarnya di relung hatimu kau membenciku, ya?"
"Tentu! Ketidakmampuanku untuk bersama Shan Yan di saat-saat terakhir ini, semua adalah berkat ulahmu!" Tanpa ampun dia melontarkan tuduhan.
Ekspresi datar Lu Jingzhi tetap tak berubah, "Tidakkah kau pernah berpikir untuk memberitahukan kondisimu padaku, lalu memintaku memuluskan jalanmu dengan Shan Yan?"
Dia menggelengkan kepala, "Kau adalah tipe orang yang bahkan mayatku pun akan kau bawa pergi. Menurutmu mungkinkah kau melakukan itu?"
Sorot mata Lu Jingzhi semakin gelap. Setelah sekitar satu detik, dia menjawab dengan suara dingin, "Tidak."
Seketika dia terkekeh, "Jadi orang sepertimu, kalau diungkapkan dengan baik—kepribadian egismu terbentuk oleh pengalaman masa lalu. Tapi kalau jujur, kau ini setan berwujud manusia."
“Setan?” Lu Jingzhi berpura-pura merenung sejenak, lalu berkata dengan datar, "Jika di sekitarku selalu dikelilingi malaikat, maka aku pun akan menjadi malaikat. Ketika yang mengelilingiku adalah setan, takdirku pun hanya akan menjadi setan."
Dia tak mau mendengar lebih lanjut, berbalik pergi.
Lu Jingzhi tidak menghentikannya, masih memandang pemandangan salju di luar jendela kaca.
……
Malam itu, dia terbangun di tengah malam.
Dalam mimpi yang terus-menerus membuatnya menangis, tak disangka saat terbangun sudut matanya masih menggantungkan air mata yang belum kering.
Dia menyalakan lampu tepi ranjang, lalu bersandar di kepala ranjang.
Memandang lingkungan asing ini, teringat hari-hari yang dihabiskan bersama Shan Yan di apartemen Kota H, hatinya terasa pedih dan kering.
Dia sangat merindukan Shan Yan...
Kira-kira apa yang sedang ia lakukan saat ini?
Apakah akhir-akhir ini ia sempat beristirahat?
Mungkinkah di relung hatinya juga membenci kepergiannya?
Ding——
Tiba-tiba terdengar notifikasi SMS, dia tersentak lalu mengambil ponselnya.
Ponsel ini bukan yang biasa digunakannya sebelumnya. Yang lama tidak dibawanya, ponsel ini diberikan bawahan Lu Jingzhi saat dia menempati vila beberapa hari lalu.
Pertama untuk mengisi waktu luangnya, kedua agar Lu Jingzhi bisa menghubunginya. Jadi nomor telepon ini hanya diketahui orang-orang Lu Jingzhi.
Dengan natural dia mengira SMS mungkin dikirim Lu Jingzhi. Masih bingung mengapa Lu Jingzhi yang juga menginap di vila ini mengirim SMS larut malam, ternyata pengirimnya adalah nomor asing.
Dia membuka SMS dengan ragu.
Aku akan tahu membalas budi—tak kusangka isi SMS hanya satu kalimat ini, membuatnya penuh kebingungan.
Namun detik berikutnya, dia yakin pasti ada yang salah mengirim, karena tak ada orang yang pernah dia bantu.
Lalu, meletakkan ponsel kembali di meja samping tempat tidur, meneguk air di sana, kemudian kembali terbaring di ranjang, memaksa diri untuk terus berusaha tidur.
Sebab hanya dengan tertidur, duka nestapa dan kegelisahan bisa dilupakan, hati pun tak lagi begitu pedih, begitu sakit.
……
Keesokan paginya, saat tiba di restoran, dia menyadari Lu Jingzhi sudah duduk di meja makan menunggunya.
Tak ingin berkomunikasi, dia berbalik hendak pergi, tapi dihentikan olehnya. "Temani aku sarapan... Bertahun-tahun ini, aku selalu makan sendirian, tak pernah ada orang lain di mejaku."
Dia membeku, sulit mempercayai. "Apakah Ji Sixi juga tak pernah menemanimu makan?"
Lu Jingzhi menyeringai dingin, "Sudah kukatakan, Ji Sixi hanya mengincar uangku. Jadi, dia hanya manis di malam hari, di waktu biasa, tak sempat menggubrisku."
