Dia meminta Lu Jingzhi membawanya ke salju besok karena tahu kondisinya sangat memburuk...
Sebab, setelah dua hari di rumah sakit, dia tahu tubuhnya tak benar-benar pulih. Kondisi fisiknya terus memburuk...
Kini, setiap tarikan napasnya melibatkan rasa sakit di jantung. Keadaannya sudah sangat parah...
Benar saja, malam itu dia kejang-kejang di ranjang karena sakit jantung.
Saat itu, dia mengatupkan gigi erat-erat. Dalam pikirannya terbayang gambar-gambar saat bersama Shan Yan, berusaha bertahan. Namun akhirnya dia pingsan karena kesakitan...
Dia benar-benar mengira takkan melihat salju esok hari. Tak disangka, Tuhan masih mengizinkannya tersadar perlahan di ranjang.
Dia tahu sebelum mati manusia akan mengalami cahaya terakhir sebelum maut. Mungkin kemampuannya membuka mata hari ini adalah bentuk itu... Sayangnya, tubuhnya jauh lebih lemah dari yang dibayangkan.
Dia bahkan kesulitan bangkit dari ranjang, dan setiap gerakan sedikit lebih keras, jantungnya langsung terasa sakit hebat.
Karenanya dia terpaksa memperlambat gerakan dan bernapas dengan perlahan.
Karena hari ini Lu Jingzhi akan mengajaknya ke salju, dia berharap bisa meninggalkan foto di salju. Maka demi dirinya sendiri, dia merias wajah tipis.
Riasan tipis ini sulit diselesaikan karena tubuhnya lemas, beruntung hasilnya cukup baik. Riasannya membuat penampilannya terlihat segar, sama sekali tak seperti orang yang akan mati.
Dengan susah payah dia turun dari lantai dua
Lu Jingzhi sedang menemani anaknya di ruang tamu. Melihatnya, dia segera memerintahkan pelayan untuk menyambutnya.
Dengan bantuan pelayan, barulah dia berhasil menuruni tangga.
Lu Jingzhi menyerahkan anaknya ke pelayan, lalu memandangnya. "Penampilanmu terlihat payah."
Dia lemas menyandar di sofa, tersenyum getir. "Aku pakai riasan tipis, kukira kau akan bilang penampilanku hari ini lebih baik dari kemarin."
Tatapan Lu Jingzhi tiba-tiba dalam. "Su Mo, kau..."
Dia menoleh ke jendela kaca yang diselimuti salju. "Di luar benar-benar indah... Semalam kau berjanji padaku, bilang hari ini mau mengajakku ke salju."
Lu Jingzhi menggeleng. "Dalam kondisimu seperti ini, aku tak bisa mengajakmu keluar... Aku akan menghubungi dokter, sekarang juga akan mengantarmu ke rumah sakit." Usai bicara, Lu Jingzhi mengambil ponsel dan mulai memencet nomor.
Dia berseru mencegah, "Tak mau——"
Lu Jingzhi tidak menghiraukan, bangkit dari sofa, langsung menekan nomor telepon.
Dia dengan pasrah ikut berdiri, tapi terlalu memperkirakan kondisinya. Tubuhnya belum seimbang, sudah terjatuh duduk di sofa.
Lu Jingzhi kaget, langsung berlari mendekat dan merangkulnya. "Su Mo!"
Dia menggenggam tangan Lu Jingzhi yang memegang ponsel, suara lemahnya memohon, "Aku pernah bilang... aku... tak mau... pergi... rumah sakit... aku... tak mau... mati... di rumah sakit..."
Suara Lu Jingzhi terdengar getir, "Ke rumah sakit mungkin masih ada secercah harapan!" "Harapan sudah pupus... aku... tahu... kondisi... diriku sendiri..." Awalnya dia ingin mengatakannya dalam satu tarikan napas, tapi nyeri tajam yang tiba-tiba menusuk jantung membuat napasnya tersekat. Dia terpaksa menutup mata, menyesuaikan pernapasannya hingga aura-nya stabil, baru dengan susah payah
melanjutkan, "Hari ini... mungkin adalah hari terakhirku..."
Lu Jingzhi menggeleng. "Tidak, kau takkan pergi begitu saja..." Perlahan dia mengangkat tangan, menggenggam kerah baju Lu Jingzhi. "Kumohon... bawa aku keluar untuk berfoto cantik... Setelah aku mati... tolong... berikan... fotoku... pada... pada Shan Yan." Baru saja selesai bicara, batuk hebat menyergap. Batuk itu membuat jantungnya semakin
berdebar sakit, hingga seluruh wajahnya mengerut.
"Su Mo..."
"Tolong peluk aku keluar, boleh?" Sorot mata penuh keputusasaannya menatap wajah pria yang dipenuhi kesedihan itu, lemah merayu.
Lu Jingzhi tetap tidak berjanji.
Dia tidak melepaskan genggaman, menggenggam kerah Lu Jingzhi. "Kumohon..."
Atas permohonannya yang terus-menerus, Lu Jingzhi akhirnya tak mampu melawan dan mengangguk.
Saat Lu Jingzhi mengangguk, tubuhnya seolah kehilangan semua tenaga. Tangannya terlepas dari kerah Lu Jingzhi.
Melihat adegan ini, Lu Jingzhi memendam kesedihan mendalam. "Su Mo, kalau bukan kau, mungkin aku sudah kehilangan kepercayaan pada dunia ini... Jadi meski perasaanku padamu bukan cinta, kau tetap manusia spesial bagiku. Aku benar-benar berharap kau bisa terus hidup dengan baik."
Dengan lemas dia menutup mata. "Peluk... aku... keluar..."
Lu Jingzhi melotot, akhirnya menarik tangannya membuatnya merangkul lehernya, lalu mengangkatnya dari sofa.
Kesadarannya mulai kabur, tapi dia tak membiarkan dirinya tak sadarkan diri. Dengan segala upaya, dia membuka kelopak mata yang berat.
Lu Jingzhi lega melihatnya membuka mata. "Mau foto, apa tak bisa di dalam ruangan?"
Dia melaporkan sejujurnya, "Aku ingin Shan Yan tahu aku pergi di tempat indah favoritku... Aku ingin dia tahu aku pergi dengan ketenangan dan kenyamanan."
Lu Jingzhi menggelengkan kepala, sambil berkata, "Kau tak akan ada masalah, kau sama sekali tak akan ada masalah, aku sudah menyuruh orang memanggil ambulans..." "Aku tahu, tapi aku juga tahu sudah terlambat... Saat ambulans tiba di sini, mungkin aku sudah..." Saat ini dia tiba-tiba menyadari sudah tidak merasakan sakit di tubuhnya, bicaranya ternyata menjadi lancar, seluruh dunia terlihat sangat terang dan indah. Dia mulai menyadari, sekarang
benar-benar adalah cahaya terakhir sebelum maut.
"Jangan bicara begitu... Gadis baik sepertimu, tak mungkin berakhir seperti ini." Suara Lu Jingzhi penuh ketulusan.
Dia memaksakan senyuman getir di wajahnya. "Aku tidak baik... Aku sama sekali tidak baik... Aku telah membawa terlalu banyak kepedihan bagi orang lain..."
"Tapi yang paling menderita selalu adalah dirimu sendiri." Lu Jingzhi berkata. "Aku sangat menyesali semua yang telah kulakukan, aku bersalah padamu... Su Mo..."
"Sekarang membicarakan ini sudah tak ada artinya lagi..." jawabnya dengan susah payah. "Hanya... Aku tak pernah menyangka... Yang akhirnya menemaniku di saat-saat terakhir justru adalah kamu..."
"Mungkin ini juga hukuman Tuhan untukku... Karena kau benar-benar mati di hadapanku seperti ini, kurasa seumur hidupku akan terus didera penyesalan..." Suara serak Lu Jingzhi terdengar.
Dia menutup matanya sebentar karena sakit di jantungnya, menunggu rasa sakit itu mereda sedikit, baru menjawab, "Jangan menyalahkan diri... Semua orang pernah melakukan kesalahan, apalagi, kau juga orang yang malang..."
Lu Jingzhi memandangnya lama tanpa berkata. Dia menyadari mereka telah tiba di depan sebuah danau. Dingin menusuk di tepi perairan, namun pemandangannya indah bagai lukisan dari dongeng. Perlahan dia menepuk lengan Lu Jingzhi. "Di sini saja... turunkan aku."
