"Nakal kecil, saat Mama pergi, kau harus patuh ya... Asal kau baik, nanti Mama akan sering terbang ke sini untuk menemanimu..."
Memangku Lu Yixin yang sedang bermain di sofa, Ji Sixi merasa sangat puas.
Melihat anak itu, seolah semua kesedihan lenyap tanpa bekas.
Kepala rumah tangga di samping berkata dengan haru, "Nona Ji, kehadiranmu sungguh membahagiakan... Aku belum pernah melihat Nona Yixin sepintar ini, bahkan saat Tuan Lu mengasuhnya."
Penyebutan nama Lu Jingzhi oleh kepala rumah tangga langsung menghilangkan kegembiraan Ji Sixi. Dengan datar dia bertanya, "Benarkah Lu Jingzhi sering mengasuh anak?"
Kepala rumah tangga melotot, berkata serius, "Tentu saja, Tuan Lu sangat menyayangi Nona Yixin... Tuan Lu selalu bermuka masam di depan siapa pun, tapi saat merayu Yixin, ia sungguh penuh kelembutan dan kesabaran."
Ji Sixi sungguh sulit membayangkan Lu Jingzhi memiliki sisi seperti ini, tapi dia tahu kepala rumah tangga tak mau menipunya, menduga setidaknya Lu Jingzhi masih punya secuil kemanusiaan.
Pada saat ini, ponsel Ji Sixi berdering.
Melihat situasi ini, kepala rumah tangga menggantikan Ji Sixi merangkul Lu Yixin.
Ji Sixi mengeluarkan ponsel dari saku, melihat panggilan dari Ibu, tersenyum menekan tombol penerimaan, "Halo..."
Ibu Ji tidak tahu Ji Sixi sedang di Jerman, mengira dia sedang perjalanan bisnis di kota lain Tiongkok, bertanya, "Xi, bisakah kau bergegas pulang besok?"
Ji Sixi mengerutkan alis, "Ibu, aku sedang dinas. Sudah kubilang baru bisa pulang tengah malam lusa..."
"Ibu tahu, tapi..." Ibu Ji ragu-ragu ingin bicara.
Ji Sixi merasakan ketidakberesan, berkata tulus, "Ibu, kalau ada masalah langsung saja bicara, jangan plin-plan seperti ini..."
Ibu Ji terdiam sejenak, akhirnya berkata, "Sebenarnya ini tentang urusan kakak iparmu..."
Mendengar kata "kakak ipar", wajah Ji Sixi berubah dingin. "Alasan apa lagi yang dia cari untuk meminta uang dari kalian?" Ibu Ji segera menjawab, "Kakak iparmu tidak meminta uang, dia hanya menelepon mengatakan ingin menitipkan Sen Sen kepada kami. Saat kutanya ada apa, barulah dia memberitahu bahwa debt collector kakmu kembali menemui kakak iparmu. Kakak iparmu takut mereka bahkan tidak akan melepaskan Sen Sen, makanya..."
"...ingin menitipkan Sen Sen kepada kami..." Ji Sixi menarik napas dalam, merasa kepalanya tiba-tiba berat, lalu berkata perlahan, "Ibu, aku tahu Kak berhutang banyak sekali. Tapi selama beberapa tahun ini aku sudah melunasi sebagian besar. Menurutku sebenarnya kita sudah melunasi semua utang Kak... Kita seharusnya tidak perlu lagi mendengarkan..."
"...surat kakak ipar itu, terus memberinya uang seperti ini." "Xi, Ibu juga meragukan kakak iparmu. Tapi dia membawa Sen Sen ke rumah kita. Katanya dia tahu memberi kita terus uang untuk melunasi utang Kak itu seperti lubang tanpa dasar, jadi dia memutuskan tidak ingin menjerumuskan kita lagi. Dia bilang tidak perlu kita melunasi utang lagi, hanya ingin kita merawat Sen Sen dengan baik di masa depan..."
Suara Ibu Ji terdengar sedih.
Ji Sixi menggelengkan kepala tanpa daya, "Ibu, ini semua hanya akal kakak ipar untuk mendapatkan rasa kasihanmu. Tujuan sebenarnya ya tetap meminta uang dari kita..."
Ibu Ji tersekat sejenak: "Xi, Sen Sen sudah tidak punya Ayah. Jika kita tidak membantu kakak iparmu, dia mungkin kehilangan ibu... Jika kau masih ada uang di sana, tolong bantu kakak iparmu untuk terakhir kali. Mungkin ini benar-benar debt collector terakhir..."
Ji Sixi dengan lelah hati menyandarkan diri di sofa, berkata datar, "Ibu, Anda benar-benar mengira anak Anda ini kaya?"
"Anakku, Ibu tahu sekarang tanganmu tidak longgar... Jadi Ibu hanya ingin bermusyawarah, bisakah Ibu menggadaikan vila ini? Uangnya pas untuk melunasi utang terakhir ini..." suara Ibu Ji penuh permohonan.
Ji Sixi menutup mata, kelelahan dan ketidakberdayaan berpadu di hati. Beberapa detik kemudian, dia perlahan berkata, "Ibu, vila ini kubeli untuk biaya hidupmu dan Ayah. Aku ingin kalian menikmati masa tua dengan tenang. Jadi aku tak mau kalian menjualnya..."
"Lalu bagaimana?" Ibu Ji bersuara pilu, "Kita tak bisa hanya diam melihat kakak iparmu ketahuan. Apalagi dia terlibat karena kakakmu..."
Ji Sixi terdiam sangat lama.
Ibu Ji melanjutkan, "Xi, Ayah dan Ibu benar-benar tak ingin Sen Sen kehilangan ibu lagi... Tolong janjikan untuk menggadaikan vila ini!"
“Ji Sixi perlahan membuka mata, mengendapkan emosinya, lalu berkata tenang, “Begini saja, Mama… Aku akan pulang lebih awal lusa, dan kita bicarakan urusan ini bersama. Tapi kalian tak boleh menggadaikan vila itu. Tunggu aku kembali untuk menyelesaikan semuanya, boleh?”
“Baik, baik… Ayah dan Ibu akan menantimu. Untuk sementara, biarkan kakak iparmu tinggal di rumah. Kami yakin debt collector tak akan secepat ini menemukan kita…” Ibu Ji menghela napas lega.
Ji Sixi mengangguk pasrah, “Ingat, jauhi opsi menggadaikan vila.”
“Baik.”
……
Usai menutup telepon dengan ibunya, Ji Sixi lelah menyandarkan diri di sofa.
Kepala rumah tangga menggendong Lu Yixin, bertanya penuh perhatian, “Nona Ji, kau baik-baik saja?”
Ji Sixi menggeleng, lalu mendudukkan Lu Yixin di pangkuannya. Tatapannya pada bayi itu penuh arti.
Sang kepala rumah tangga tahu Nona Ji sedang dilanda masalah, namun memilih tak bertanya lebih lanjut.
……
Siang itu, Lu Yixin tertidur pulang setelah menyusu.
Ji Sixi termenung memandangi wajah tidur sang bayi yang tenang dan menggemaskan.
Ya, pikirannya masih terbelit urusan keluarga.
Sungguh, dia merasa begitu panik…
Di satu sisi, dia meragukan apakah kakak iparnya menipu uang keluarga – bagaimana mungkin lubang tanpa dasar ini telah diisi selama dua tahun tapi tak kunjung terisi? Dia sangat ingin memastikan apakah utang besar yang ditinggalkan kakaknya benar-benar telah lunas.
Di sisi lain, dia tahu orang tua pasti akan membantu kakak iparnya, tapi sekarang dia sudah tidak punya tabungan. Dia tak ingin vila yang dibelikan untuk orang tua menikmati masa tua dijadikan jaminan. Benar-benar bingung harus cari uang sebesar itu dari mana...
Saat ini dia diliputi kesedihan tersamar dan ketidakberdayaan. Tak bisa menahan diri mengingat nasib yang dialaminya selama dua tahun terakhir...
Ya, karena utang yang dibuat kakak laki-lakinya, Ji Sixi terpaksa menjual diri menjelang kelulusan universitas dulu...
Ji Sixi masih ingat, yang menjadi perantara saat itu adalah seorang bernama Kakak Hong. Orang ini khusus membantu sugar daddy mencari mahasiswi polos nan menarik. Mahasiswi dari keluarga miskin atau yang ingin hidup enak akan membuat transaksi seperti ini dengan Kakak Hong...
Kemudian, Ji Sixi pun mengenal Lu Jingzhi.
Saat itu Ji Sixi sama sekali tak menyangka sugar daddy-nya adalah pria muda tampan seperti ini. Diam-diam dia bersyukur keberuntungannya masih cukup baik...
Setelah setengah tahun bersama Lu Jingzhi, Ji Sixi memberikan lima juta kepada kakak iparnya.
Tapi tak disangka, lima juta itu masih belum cukup melunasi utang kakaknya. Akhirnya dia terus bersama Lu Jingzhi...
Sampai satu tahun kemudian, dia kembali memberi kakak iparnya lima juta. Barulah kakak ipar itu bilang utang sudah lunas... Saat itu akhirnya dia bisa menghela napas lega, lalu membelikan orang tua vila dan mobil dengan sisa uangnya...
