Keesokan harinya.
Pagi-pagi, Ji Sixi menggendong Lu Yixin bermain di ruang tamu, sesekali menggoda hingga sang anak tertawa terkekeh.
Lu Jingzhi turun dari lantai atas, tepat mendengar tawa Ji Sixi dan anaknya. Ia berhenti sejenak di tangga.
Kepala rumah tangga yang lewat di sampingnya memberi hormat, "Tuan Lu."
Baru kemudian Lu Jingzhi tersentak, turun tangga tanpa ekspresi.
Ji Sixi sudah tahu kedatangannya sejak mendengar suara kepala rumah tangga. Tak ingin bertemu muka, ia terus mengajak anak bermain pura-pura tak menyadarinya.
Lu Jingzhi pun tak mempersilakan. Seperti biasa, ia mengabaikan keberadaan orang sambil menelepon, langsung menuju pintu.
Di taman vila, Yangsheng sudah menunggu di samping mobil dengan pintu terbuka.
Lu Jingzhi langsung masuk dan pergi dari vila.
Melihat kepergiannya, Ji Sixi menggerutu dalam hati: Benar-benar anak sedingin darah, bahkan tak sekilas memandangi anaknya.
……
Waktu berlalu cepat. Sepanjang siang telah terlampaui. Pukul tujuh malam, Ji Sixi tak punya pilihan selain meninggalkan Lu Yixin menuju bandara.
“Meski hanya bisa berada di Jerman selama satu hari, dia sama sekali tidak merasa lelah, karena senyuman anak memberikannya begitu banyak kepuasan.
Di pesawat, dia tidur sebentar, dan saat terbangun sudah tiba di Kota C.
Setelah sadar, baru menyadari betapa lelahnya, tapi tetap harus menyetir sendiri kembali ke Hantian.
Pukul tiga pagi, Ji Sixi tiba di rumah.
Diam-diam melangkah, awalnya khawatir membangunkan keluarga, tak menyangka saat melewati kamar Lan Jing, mendengar teriakan Lan Jing.
Ji Sixi berhenti di depan pintu kamar Lan Jing, baru menyadari Lan Jing sedang menelepon. "Aku tahu, sudah berusaha mengumpulkan uang, tapi tidak bisa terus memaksa mereka... Iya, aku tahu Sixi kaya, dulu ikut Lu Jingzhi, tapi kali ini dia seperti waspada, kurasakan ada yang aneh antara dia dan ibu Silin, jadi sekarang aku agak takut..."
…”
Mendengar kalimat itu dari mulut Lan Jing, tubuh Ji Sixi gemetar, rasa lelah langsung hilang.
Sekarang akhirnya bisa memastikan kakak iparnya bermasalah, sayang masih belum ada bukti...
Akhirnya, dengan hati-hati dia mundur ke kamarnya, memutuskan untuk diam-diam sementara.
……
Keesokan siang, saat istirahat makan siang, Ji Sixi menemui Chi Zhichen di restoran.
"Hasil investigasi sebenarnya bisa diberikan kemarin," kata Chi Zhichen.
Ji Sixi meminta maaf, "Maaf, dua hari ini aku dinas keluar kota."
“Gak apa-apa, hanya melihatmu sedikit lelah.” Chi Zhichen memandanginya.
Ji Sixi menerima dokumen dari tangan Chi Zhichen untuk menghindari tatapan fokusnya. “Aku tidak ada urusan... Ngomong-ngomong, bagaimana hasil investigasinya?”
Baru kemudian pandangan Chi Zhichen beralih ke dokumen. “Kau lihat foto di data ini?”
Ji Sixi mengernyitkan alis, “Siapa pria ini?”
Chi Zhichen menjawab dengan khidmat, “Namanya Ye Zhengrong. Dia adalah kekasih gelap kakak iparmu di Amerika.”
“Kekasih?” Ji Sixi terkejut mengangkat pandangan.
Chi Zhichen menatap dalam-dalam ke mata jernih Ji Sixi. “Ya, sudah dipastikan tidak ada kesalahan... Lihat di belakang masih ada foto kakak iparmu dengan pria ini. Gerak-gerik mereka sangat mesra.”
Ji Sixi buru-buru membalik halaman dokumen. Di belakangnya terdapat setumpuk foto mesra Lan Jing dan Ye Zhengrong, dengan waktu terbaru tepat sebelum Lan Jing pulang ke negeri.
Ji Sixi sulit mempercayai apa yang dilihat matanya, terus-menerus menggelengkan kepala.
Lagipula dalam ingatannya, kakaknya dan Lan Jing selalu saling mencintai. Karena itu sebelumnya dia dan orang tuanya tidak pernah mencurigai Lan Jing.
“Menurut dugaanku, sikap apatis kakakmu yang tiba-tiba sampai tak peduli perusahaan kemungkinan karena menemukan perselingkuhan Lan Jing...” analisis Chi Zhichen.
Ji Sixi dengan susah payah mengumpulkan logika, suaranya parau berkata, “Kemarin malam aku tak sengaja mendengar kakak iparku menelepon seseorang di rumah. Kuyakin itu Ye Zhengrong...”
“Sekarang ada bukti konkret, menurutku kau bisa menyergah kakak iparmu tentang penyebab kematian Kak, karena aku yakin Kak tak mungkin melakukan tindakan mengakhiri hidup, lagipula dia bukan orang yang ketahanan psikologisnya begitu rentan…” Chi Zhichen memberikan saran.
Ji Sixi segera meraih tas yang diletakkan di kursi kerja, mengambil dokumen. “Zhichen, terima kasih sudah membantuku menyelidiki semua ini, sekarang aku akan pulang untuk menanyakan semuanya pada kakak ipar…”
Chi Zhichen melompat berdiri, sibuk menjawab, “Antara kita tak perlu basa-basi, cepatlah pergi!”
“Terima kasih.”
Melemparkan kalimat itu, Ji Sixi menerobos keluar dari restoran.
……
Setelah menelepon direktur untuk izin sore hari, Ji Sixi kembali ke rumah Hantian.
Lan Jing sedang menemani Sen Sen bermain balok-balok kayu di ruang tamu, berpose sebagai istri yang baik dan ibu yang bijaksana, melihat Ji Sixi, senyuman hangat khasnya merekah. “Xi, kenapa pulang?”
Ji Sixi tak mau menyergah Lan Jing di hadapan anak, lalu dengan nada penuh kasihan berkata, “Sen Sen, Tante ada hal penting yang harus dibicarakan dengan Mama-mu. Naiklah ke lantai atas untuk bermain dengan Nenek dan Kakek.”
“Baik.”
Sen Sang sangat patuh, langsung berlari ke lantai atas.
Setelah Sen Sen pergi, Ji Sixi langsung melemparkan dokumen di tangannya ke meja teh kecil di ruang tamu.
Melihat ini, Lan Jing sepertinya sudah punya firasat buruk, bibirnya sedikit bergetar. “Xi… Sixi, ada apa?”
Tatapan muram Ji Sixi melototi Lan Jing. “Data ini, kuharap kau membacanya.”
“Apa… Apa ini?” Lan Jing berkata dengan wajah renta tak berdaya.
Ji Sixi menyeringai dingin, "Kenapa, kau tak berani melihatnya?"
"Aku..." Lan Jing bergulat dalam hatinya lama, tangan yang gemetar itu akhirnya mengambil dokumen di meja teh. Saat membuka halaman pertama, seluruh tubuh Lan Jing terpana.
Memikirkan kakaknya yang mungkin dibunuh oleh konspirasi Lan Jing dan Ye Zhengrong, mata Ji Sixi memerah tiba-tiba. "Katakan, bagaimana sebenarnya kakakku mati?"
Tubuh Lan Jing mengguncang hebat, sejenak terlihat bingung bagaimana harus menjawab.
Suara Ji Sixi menjadi tajam, "Kau bicara! Kenapa kau tak berani bicara?"
Suara gemetar Lan Jing akhirnya berkata, "Itu... bukankah... bukankah sudah kukatakan? Kakakmu... dia... bunuh diri karena perusahaan bangkrut!"
Mendengar itu, Ji Sixi tertawa pendek, "Kau bilang kakakku bunuh diri karena bangkrut? Lalu kutanya - perusahaan kakakku selalu lancar, tiba-tiba suatu hari dia jadi murung, bahkan tak mau ke perusahaan. Ada masalah apa saat itu?"
"Ini... ini..." Lan Jing mulai bergumam tanpa arti. Ji Sixi melototi Lan Jing tak lelah, tiba-tiba membentak, "Biarku jelaskan... perselingkuhanmu dengan Ye Zhengrong ketahuan kakakku, sejak itu dia murung. Kemudian kakakku pasti mengambil tindakan, lalu kalian berdua membunuhnya. Takut kami menuntut, kalian ajukan kebangkrutan perusahaan... Benar bukan?!"
