Meski Lan Jing bersumpah mati-matian bahwa dirinya tak ada hubungannya dengan kematian Ji Silin, Ji Sixi tetap tak percaya pada perkataan Lan Jing.
Apalagi bukti hasil investigasi Chi Zhichen menunjukkan, perusahaan Ji Silin pernah mengalami defisit, tapi Ji Silin tak menyerah. Ini semakin menguatkan keyakinan Ji Sixi bahwa kakaknya adalah pria kuat yang takkan mudah mengabaikan nyawa...
Tapi kini dia tak punya bukti, memang tak bisa sembarangan lapor polisi. Meski Lan Jing telah menipu mereka sedemikian banyak uang, mereka tetap harus mempertimbangkan Sen Sen...
Sen Sen sudah kehilangan ayah. Jika ibunya pun hilang, ini akan menjadi tragedi tak tertahankan bagi bocah kecil itu.
Maka, setelah beberapa saat terkena angin dingin di luar, Ji Sixi kembali ke vila.
Lan Jing masih bersimpuh di lantai marmer dingin ruang tamu, wajahnya basah oleh air mata.
Ji Sixi melirik Lan Jing sekilas, akhirnya tak berkata sepatah pun, langsung menuju lantai dua.
Meski takkan memaafkan Lan Jing, dia telah memutuskan untuk sementara tak melapor... Dia akan terus menyelidiki penyebab kematian kakaknya.
Jika akhirnya terbukti kakaknya memang bunuh diri, dia akan membebaskan Lan Jing, semata untuk Sen Sen. Tapi jika Lan Jing benar pembunuh kakaknya, takkan ada secuil belas kasih darinya.
……
Tok, tok.
Ji Sixi mengetuk pintu kamar orang tuanya.
Ayah Ji membukakan pintu, bertanya dengan suara lelah, "Kau sudah lapor polisi?"
Ji Sixi menjawab jujur, "Aku tak mau melanggar permintaan Ibu dan Ayah."
Ayah Ji menghela napas pasrah, "Xi, kami bukan tak bisa membedakan benar-salah. Tapi hati kami tak tega melihat Sen Sen kehilangan ayah sekaligus ibu..."
Ji Sixi melunakkan nada, mengangguk, "Aku paham. Karena itu akan kuselidiki tuntas. Asal Lan Jing bukan pembunuh, kubiarkan dia pergi."
Ayah Ji berujar pilu, "Tak kusangka keluarga kita dipermainkan wanita ini..."
Ji Sixi masuk perlahan ke kamar. Sen Sen sudah tertidur di pangkuan Ibu Ji, bekas air mata masih membekas di pipi mungilnya.
Ibu Ji terus menepuk punggung anaknya, tatapan penuh kasih tak lepas dari wajah tidur Sen Sen.
"Ibu, jangan tangisi lagi... Aku akan jaga kepentingan Sen Sen." Ji Sixi duduk di samping ibunya, merangkul bahu perempuan itu.
Suara tersekat Ibu Ji berkata, "Tapi aku juga tak akan melepaskan pembunuh yang menjerumuskan sampai mati kakakmu... Jika Xiao Jing benar-benar membunuh kakakmu, meski Sen Sen akan kehilangan ibu, aku takkan memaafkan."
Ji Sixi mengusap lembut bahu ibunya untuk menghibur. "Semoga urusan ini tak separah yang kita kira, aku juga tak mau Sen Sen kehilangan ibu..."
……
Saat makan malam, Lan Jing masih bersimpuh di lantai kayu, terlihat tulus memohon pengampunan keluarga Ji.
Keluarga Ji tak berniat memaafkan Lan Jing, tapi tak ingin Sen Sen melihat adegan seperti ini, terpaksa menyuruh Nenek Qin menopang Lan Jing bangkit.
Sen Sen langsung memeluk Lan Jing, akhirnya tersenyum...
Adegan ini setidaknya memberi sedikit kelegaan pada keluarga Ji.
Ayah Ji bersuara berat, "Sixi, suruh teman sekelasmu itu terus membantu menyelidiki urusan ini. Pokoknya, kita harus memahami bagaimana kakakmu tewas."
Ji Sixi mengangguk, "Aku akan menangani urusan ini."
Ibu Ji menatap cucunya, suara piluhnya bergetar, "Aku masih ingat saat Silin seusia Sen Sen, persis sama seperti Sen Sen sekarang..."
"Bu..." Ji Sixi menaruh mangkuk sup di hadapan ibunya. "Kakak sudah pergi lebih dari dua tahun, jangan terus ditangisi..."
Ibu Ji menggeleng pilu, "Bagaimana mungkin tak sedih, tak pedih... Dia daging hatiku, kini mungkin dijebak oleh istri yang paling dia sayangi..."
……
Meski Ji Sixi tetap rasional menghibur ibu, sebenarnya hatinya juga penuh luka.
Harus diketahui, sejak kecil, orang yang paling memanjakannya adalah Ji Silin.
Jadi, dua tahun lalu saat mengetahui kabar kematian Ji Silin, Ji Sixi sama sekali tak bisa menerima. Ia menangis terus selama lebih dari sebulan...
Inilah alasan mengapa kemudian Ji Sixi mati-matian membantu Lan Jing...
Karena Ji Sixi selalu percaya pada "Mencintai rumah sampai ke atapnya". Jika Lan Jing dan Sen Sen hidup bahagia, pasti Ji Silin di surga juga akan terhibur...
Kembali ke kamar, Ji Sixi menelepon Chi Zhishen.
Ia harus menemukan penyebab kematian kakaknya, dan membuat pelaku yang menyakiti kakaknya membayar harga setimpal.
Ponsel Chi Zhishen segera tersambung.
"Xi, ponselmu tak bisa dihubungi tadi. Kau baik-baik saja?" Suara Chi Zhishen penuh kekhawatiran.
Ji Sixi meminta maaf, "Maaf, tadi tak kusadari... Aku baik-baik saja." Baru saat mengambil ponsel ia sadar ada beberapa panggilan tak terjawab.
Chi Zhishen menghela napas lega. "Syukurlah... Bagaimana dengan urusan kakak iparmu?"
Ji Sixi memandang hampa ke depan. Bayangan tubuh gagah kakaknya melintas di pikirannya. Dengan menahan luka hati ia berkata, "Lan Jing tetap tak mau mengakui telah menjerumuskan kakakku. Tapi intuisi mengatakan dialah pembunuhnya."
Chi Zhishen berkata serius, "Begini saja. Aku akan minta paman terus menyelidiki. Pasti akan kutemukan kebenaran sesungguhnya."
Ji Sixi lelah mencengkeram keningnya, "Kenyataannya aku juga memang ingin minta tolong padamu…"
"Tenang saja, aku pasti akan membantumu menyelidiki urusan ini sampai tuntas… Aku dengar suaramu sangat lelah, tidurlah lebih awal, aku tahu kamu kemarin pulang dari perjalanan bisnis sudah sangat lelah…" kata Chi Zhichen penuh perhatian.
"Kalau begitu kuserahkan padamu, Zhichen." ucap Ji Sixi dengan tulus.
Chi Zhichen menjawab demikian, "Xi, bukan hanya kamu, bahkan jika hari ini teman sekelas lain yang minta bantuanku, aku akan berusaha sekuat tenaga."
Ji Sixi tak lagi sungkan, berkata, "Kalau begitu… selamat malam."
"Selamat malam."
Setelah mengakhiri panggilan dengan Chi Zhichen, Ji Sixi awalnya ingin mandi lalu beristirahat, tapi teringat orang tua mungkin masih terbenam dalam kepedihan kehilangan kakaknya, Ji Sixi memutuskan untuk menjenguk mereka.
Tak disangka, setelah mengetuk pintu kamar orang tua hampir setengah hari, mereka tetap tak membukakan pintu.
Ji Sixi seketika merasa curiga, lalu pergi ke kamar Lan Jing, namun mendapati kamar Lan Jing kosong melompong, bahkan Sen Sen yang biasanya sudah tertidur di ranjang di jam seperti ini juga tak terlihat.
Intuisi Ji Sixi mengatakan ada masalah, sambil memanggil-manggil Ibu Qin agar membawa kunci cadangan kamar orang tua, sambil mencoba memutar gagang pintu kamar orang tuanya dengan kuat.
Namun Ibu Qin tak kunjung datang, membuatnya terpaksa menendang pintu kamar orang tuanya...
Detik berikutnya, seluruh dirinya tercengang membeku...
“Ternyata Ayah dan Ibu Ji sudah diikat di lantai kayu dalam posisi saling membelakangi, mulut mereka disegel selotip.”
Setelah tersadar, Ji Sixi segera melepaskan ikatan orang tuanya. “Ayah, Ibu, siapa yang melakukan ini... Lan Jing?”
Kedua orang tua Ji terus menggelengkan kepala, sayangnya Ji Sixi terlalu panik hingga tak menyadarinya. Baru ketika dingin menusuk pelipisnya...
Saat itu Ji Sixi sudah tahu sebuah senjata menempel di pelipisnya. Ia seketika membeku. Pasangan Ji memandangnya sambil terus menggelengkan kepala, penuh ketidakberdayaan.
