Saat Ji Sixi pulang ke rumah, tangannya memeluk buket bunga yang diberikan Chi Zhichen, wajahnya juga menampakkan senyum manis yang lama tak terlihat.
Ibu Ji sudah menebak bahwa Ji Sixi menerima Chi Zhichen, tersenyum menganga. "Kapan ajak Zhichen makan di rumah kita, biar ayahmu bisa melihat orang ini."
Ji Sixi memasang bunga itu dengan rapi, berbisik manis, "Akan kuatur jadwal dengannya."
"Baik." Ibu Ji dengan riang pergi mengambilkan sup untuk Ji Sixi.
Ji Sixi duduk di sofa, menyadari wajah ayahnya tanpa senyuman. Ia menggandeng lengan ayahnya, bertanya, "Ayah, ada apa?"
Suara berat Ayah Ji terdengar, "Kau sudah pertimbangkan matang-matang menerima Chi Zhichen ini?"
"Ayah khawatir aku terlalu tergesa-gesa?" Bola mata jernih Ji Sixi berkilau seperti bulan purnama, memandangi ayahnya dengan penuh perhatian.
Ayah Ji menatapnya dengan tegas. "Ayah tahu kau bukan orang yang ceroboh, hanya..."
"Hanya apa?"
Ayah Ji tiba-tiba berhenti melanjutkan.
Ini memicu rasa ingin tahu Ji Sixi, ia menggoyang-goyangkan lengan ayahnya sambil merajuk, "Katakanlah, Ayah... hanya apa?"
Setelah beberapa saat ragu di relung hati, Ayah Ji akhirnya bicara, "Ayah tiba-tiba merasa nasihat yang diberikan padamu waktu itu salah."
"Apa?" Mata Ji Sixi terbelalak.
Ayah Ji berkata dengan serius, "Ayah menyarankanmu untuk tidak lagi berhubungan dengan Lu Jingzhi."
“Ayah berkata demikian memang tidak salah, aku dan dia memang seharusnya tidak ada hubungan lagi.” Ji Sixi menjawab dengan serius. Ayah Ji menggelengkan kepala, bola mata kekuningan di wajahnya yang berusia lima puluhan menampakkan seberkas kepedihan. "Anakku, Ayah sudah berpikir, dia tetap adalah ayah dari anakmu, kau tak mungkin benar-benar lepas darinya karena anak tetaplah jembatan di antara kalian... Selain itu, waktu itu dia membantu keluarga kita, Ayah—"
—sedang berpikir, apakah sebenarnya dia masih memperhatikanmu?”
Tak menyangka ayahnya bisa berpikir secara emosional seperti ini, Ji Sixi terpaku sebentar. "Ayah..."
Ayah Ji menatap langsung ke mata putrinya, melanjutkan, "Melihat Sen Sen sekarang kehilangan ayah dan ibu, Ayah benar-benar sakit hati. Jujur saja, Ayah tak ingin cucu sendiri mengalami nasib serupa, karena sekalipun tumbuh dalam keluarga orang tua tunggal, masa kecil anak tetap tidak bahagia..."
"Ayah, apakah kau ingin aku dan Lu Jingzhi rujuk?" Ji Sixi berani mengutarakan dugaan dalam hatinya.
"Aku..." Suara parau Ayah Ji terhenti sejenak, "Aku hanya berharap ada kemungkinan seperti itu, tapi Ayah sama sekali tidak akan ikut campur dalam urusan perasaanmu, dan mendukung semua keputusan yang kau ambil."
Mendengar ini, Ji Sixi menghela napas lega, menyandarkan kepala di bahu ayahnya. "Ayah, aku dan Lu Jingzhi pasti tak mungkin bersatu... Pertama, kami tidak punya perasaan satu sama lain dan aku tak mau menghabiskan sisa hidup dengan pria seperti dia. Kedua, dia sudah akan bertunangan, tanggalnya katanya sudah ditetapkan."
Ayah Ji membelalakkan matanya sedikit. "Lu Jingzhi... akan bertunangan?"
Ji Sixi mengangguk serius. "Bawahannya yang memberitahuku."
Ayah Ji menghela napas panjang.
Ji Sixi melepaskan genggaman pada lengan ayahnya, mulai mengusap bahu sang ayah dengan lembut. "Ayah, jangan bersedih. Ayah harus bahagia, bahagia karena putrimu akhirnya punya pacar resmi..."
Akhirnya Ji Sixi berhasil membujuk ayahnya hingga tersenyum. "Menurut Mama, pria ini cukup baik."
"Ya, dia kakak tingkatku di universitas. Aku sangat mengenalnya. Aku yakin jika bersamanya, aku akan bahagia." Ucap Ji Sixi dengan tenang.
"Anakku, yang terpenting bukanlah perasaanmu akan kebahagiaan, tapi apakah kau benar-benar merasa gembira saat bersamanya... Karena hanya dengan begitu, barulah bisa disebut bersama orang yang kau cintai." Ayah Ji menasihati dengan sungguh-sungguh.
Ji Sixi tertawa. "Ayah sekarang seperti pakar hubungan ya..."
Ayah Ji melotot padanya. "Jangan bercanda dengan Ayah. Kau tahu Ayah hanya punya kamu satu-satunya anak. Ayah sangat berharap kau mendapatkan kebahagiaan sejati."
Kilau haru muncul di mata Ji Sixi, tatapannya berkedip-kedip. "Aku tahu. Aku tak akan sembarangan menilai perasaanku. Takkan kubiarkan diriku atau orang lain terluka karena kecerobohanku."
"Ya." Barulah Ayah Ji mengangguk.
Ibu Ji yang baru saja keluar membawa sup berkata dengan nada cemburu, "Apa yang kalian berdua bisikkan saat aku tidak ada?"
Ji Sixi dan Ayah Ji tertawa bersamaan.
"Tidak ada apa-apa, ini rahasia aku dan Ayah." Ji Sixi berkata pada ibunya.
Ibu Ji melotot kesal. "Benar seperti dugaanku, anak perempuan memang lebih dekat dengan ayah..."
Ji Sixi seketika meninggalkan sofa, memeluk ibu. "Bagaimana mungkin, aku dan Mama yang paling dekat..."
"Ah, gadis ini, supku hampir tumpah..." Meski menegur, senyuman Ibu Ji tak bisa disembunyikan.
"Bu, Sen Sen di mana..."
"Qin Ma sedang memandikan Sen Sen... Hari ini aku mengajaknya ke taman hiburan, dia bermain sampai kotor seperti kucing kecil... Cepat minum supmu, untuk menguatkan darah..."
"Baik..."
……
Malam hari.
Agar Sen Sen tidak merasa kesepian, Ji Sixi dengan tekad khusus pergi ke kamar anak untuk membacakan cerita pada Sen Sen.
Mungkin karena kelelahan bermain, baru mendengar awal cerita Sen Sen sudah mendengkur keras...
Ji Sixi memandangi wajah tenang Sen Sen yang tertidur pulas, merasa sangat lega.
Dia selalu khawatir Sen Sen tidak bisa melewati kepedihan kehilangan ibu, namun beruntungnya... Sen Sen lebih kuat dan pengertian dari yang dia bayangkan.
Tak tahan mencium dahi Sen Sen, Ji Sixi baru kemudian turun dari ranjang dengan hati-hati.
Kembali ke kamarnya, Ji Sixi menyadari ponselnya terus berdering.
“Mungkin dari Chi Zhichen,” senyuman manis merekah di wajah Ji Sixi. Ia mengambil ponsel, hendak mengangkat telepon, baru sadar peneleponnya adalah orang asing.
Ji Sixi mengerutkan alis dengan ragu, namun tetap mengangkat telepon. “Halo.”
“Halo, Nona Ji… Saya Situ Jing.”
Situ Jing?
Ji Sixi membeku sejenak baru tersadar. “Graaah! Bisa saya tahu keperluan Nona Situ mencariku?”
“Sebelumnya di vila Lu, kita pernah bertemu sekilas. Sayangnya saat itu kita tak sempat bertukar kata.” Situ Jing melanjutkan.
Ji Sixi bertanya ragu, “Apa yang ingin Nona Situ sampaikan padaku?”
Situ Jing terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Aku ingin menanyakan satu hal. Kuharap Nona Ji bisa jujur.”
Ji Sixi mengernyit. “Jangan-jangan kunjunganku ke Jerman menjenguk anakku minggu lalu mengganggu hubunganmu dengan Lu Jingzhi?”
Situ Jing segera menyela, “Nona Ji salah sangka. Kau adalah Mama Yi Xin, wajar kalau kau menjenguknya… Bukan itu yang ingin kubahas.” “Lalu apa? Dan darimana kau dapat nomorku?” Ji Sixi menambahkan dengan waspada.
