Situ Jing menjawab tenang, “Nomormu diberikan Yang Sheng… Biasanya dia takkan bocorkan, tapi setelah tahu alasanku mencari dirimu, dia akhirnya memberitahu.”
“Oh.” Ji Sixi tetap menjaga kesabarannya, “Lalu sebenarnya Nona Situ ingin menanyakan apa padaku?”
Situ Jing baru perlahan berkata, “Nona Ji, kutanyakan padamu—apakah di relung hati Lu benar-benar tersimpan seorang anak perempuan yang sangat dicintainya? Dan kebersamaannya denganku, juga sebelumnya denganmu, semata karena kita berdua mirip dengan orang yang selalu ia cintai ini?”
Ji Sixi tak menyangka pertanyaan Situ Jing adalah ini. Ia terpana sejenak.
Situ Jing bertanya, “Nona Ji, kenapa kau tidak menjawabku?”
Ji Sixi tetap diam.
Sialan, bagaimana harus ia jawab?
Tadinya ia mengira Situ Jing sudah lama mengetahui semua urusan Lu Jingzhi ini, tapi rupanya Situ Jing sama sekali tak tahu...
Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya pada Situ Jing?
Jika diungkapkan, mungkin akan menggagalkan pertunangan Lu Jingzhi dan Situ Jing selanjutnya. Bagaimanapun, dari nada suara Situ Jing, sepertinya ia sangat mempedulikan hal ini—membuktikan bahwa motivasi Situ Jing bukanlah uang atau penampilan Lu, melainkan lebih kepada perasaan...
Tapi jika tidak diungkapkan, bisa jadi ia menjerumuskan seorang gadis baik.
Perlu diketahui, Lu Jingzhi adalah pria yang dingin darah dan tak berperasaan terhadap siapapun. Menikahi Situ Jing, pastilah sama seperti ketika dulu menikahinya—sama sekali tanpa perasaan... “Graaah...” Setelah merenung lama, Ji Sixi akhirnya berkata, “Nona Situ, untuk pertanyaan ini—kurasa di relung hatimu sudah ada jawabannya. Hanya saja kau masih belum rela, berharap kudapat memberimu jawaban lain... Tapi kuingatkan, menghindar takkan menyelesaikan masalah. Jika kau benar-benar kesal karena hanya menjadi pengganti—”
Jika seseorang hanyalah pengganti, maka lepaskanlah segera sebelum pernikahan membelenggumu. Tapi jika kau merasa benar-benar mencintai orang ini, teruslah membohongi diri sendiri... Intinya, buatlah keputusan yang membuatmu bahagia.”
Situ Jing terdiam lama tanpa menjawab.
Ji Sixi tersenyum, “Baiklah, Nona Situ. Aku masih harus membalas telepon pacar resmiku, jadi tidak bisa mengobrol lebih lama denganmu...”
Situ Jing mendesah, “Baik, terima kasih, Nona Ji.”
“Sampai jumpa.” Ji Sixi langsung mengakhiri panggilan.
……
Menyandarkan diri di sofa, Ji Sixi memandang langit-langit.
Entah apakah ini akan merusak jodoh Lu Jingzhi dan Situ Jing, tapi setidaknya ini yang terbaik untuk Lu Jingzhi...
Lagipula, apakah menikahi pengganti benar-benar bisa memberikan perasaan yang diidamkan dalam hati?
Tidak...
Di dunia ini tak ada manusia yang bisa digantikan oleh orang lain. Bahkan jika Lu Jingzhi menikahi Situ Jing, kebahagiaan sejati tak akan ia dapatkan...
Kebahagiaan sejati hanya ada ketika bersama orang yang benar-benar dicintai atau disukai.
Karenanya, dari relung hatinya ia berharap Lu Jingzhi bisa melupakan Su Mo dan memulai hidup baru...
Jika dua orang di dunia ini tak berjodoh untuk bersatu, itu membuktikan mereka bukan pasangan yang ditakdirkan Tuhan. Lalu untuk apa memaksakan?
Karena Tuhan pasti telah menyiapkan seseorang yang benar-benar cocok untuknya. Asalkan ia mau melepaskan masa lalu, pasti ada orang yang menantinya di depan...
Memikirkan ini, Ji Sixi tak kuasa menghela nafas dalam-dalam.
Sebenarnya Lu Jingzhi juga bisa disebut Si Malang, kebahagiaan yang ia dapatkan, benar-benar jarang, jarang……
Dia sungguh berharap ia bisa mendapatkan kebahagiaan sejati.
……
Menyapu pergi semua pikiran ini dalam benak, Ji Sixi menekan nomor telepon Chi Zhichen.
Begitu telepon diangkat, suara panik Chi Zhichen langsung terdengar, "Xi, kau baik-baik saja?"
Ji Sixi memeluk bantal, nyaman bersandar di sofa. "Lihat wajahmu yang tegang ini... Aku di rumah, mana mungkin ada apa-apa?"
Mendengar itu, Chi Zhichen menghela napas lega. "Kau tak kunjung mengangkat teleponku, jadi aku..."
Senyuman lembut merekah di wajah cantik Ji Sixi, berkata tulus, "Bukan tak mau mengangkat, tadi aku sedang merayu keponakanku, lalu ada telepon lain yang masuk..."
"Oh."
"Bodoh, mana mungkin aku tak mengangkat teleponmu?" ejek Ji Sixi dengan nada pura-pura kesal.
"Sejak kau berjanji untuk bersamaku, aku merasa seperti sedang bermimpi indah... Aku sangat takut mimpi ini akan berakhir..." suara emosional Chi Zhichen terdengar.
Ji Sixi tak tahan tertawa kecil, "Kalau begitu, maukah aku menemuimu sekarang? Memelukmu agar kau merasa aku benar-benar nyata?"
Akhirnya Chi Zhichen tertawa lepas, "Bolehkah?"
"Boleh apanya si hantu besar..." Teguran Ji Sixi lebih mirip rayuan manja. "Ini sudah larut malam, tak mungkin aku ikut gilamu..."
"Kalau begitu aku yang datang." Suara Chi Zhichen penuh kemesraan.
"Sudahlah, jangan bercanda... Serius, Mama ingin mengundangmu makan di rumah kami, kapan kamu ada waktu?" Ji Sixi duduk bersila di sofa, suara lembutnya bertanya.
"Waktu untuk makan tentu ada, kapan saja bisa. Hanya saja aku tak mau sekadar makan kalau datang ke rumahmu. Aku ingin lebih banyak berinteraksi dengan Ayah Ibu-mu... Jadi, akhir pekan saja. Di akhir pekan aku punya waktu seharian, bisa lebih baik menjalin hubungan dengan calon mertua." Chi Zhishen menjawab.
"Akhir pekan?"
"Iya, kenapa? Kau tidak bisa?"
"Bukan, akhir pekanku..." Setelah berpikir sejenak, Ji Sixi memutuskan memberitahu Chi Zhishen. "Aku harus ke Jerman menjenguk anakku di akhir pekan."
"Ke tempat Lu Jingzhi?"
"Ya, dia mengizinkanku menemui anakku, tapi hanya di akhir pekan. Jika sekali saja aku tidak datang, dia tak akan mengizinkanku lagi."
"Jadi minggu lalu kau bilang dinas luar kota, sebenarnya juga menjenguk anakmu?"
"Benar. Ke depannya mungkin setiap akhir pekan aku harus ke sana. Tapi setelah anakku tidak lagi bergantung padaku, aku akan berhenti..."
Pada ketukan ini, Chi Zhishen tertegun dalam kesunyian.
Ji Sixi berbisik pelan, "Ada apa? Kau khawatir waktu kita bersama akan berkurang?"
“Bukan, apapun waktu yang kau miliki, aku akan menghargai momen kita bersama, aku hanya khawatir…” Chi Zhichen terhenti sejenak, “Aku hanya khawatir kau dan Lu Jingzhi akan terus memiliki hubungan.”
Mendengar ini, Ji Sixi tersenyum lega, “Zhichen, kekhawatiranmu sia-sia, karena aku dan Lu Jingzhi sudah menjadi penghuni dua dunia berbeda. Jika bukan demi anak-anak, mustahil kita memiliki interaksi lagi… Percayalah padaku, saat putriku tak lagi membutuhkanku, aku akan melepaskannya sepenuhnya, takkan ada lagi hubungan dengan Lu Jingzhi. Asalkan bisa melihat putriku tumbuh dari kejauhan, itu sudah cukup bagiku.”
“Aku percaya padamu, Sixi.” Akhirnya, Chi Zhichen memberikan jawaban seperti ini.
Wajah cantik Ji Sixi merekah senyuman lembut. “Kalau begitu akhir pekan ini aku akan berangkat ke Jerman… Untuk makan bersama, atur waktumu dalam minggu ini.”
“Baik.”
“Terima kasih, Zhichen… Terima kasih atas pengertianmu.” Suara Chi Zhichen penuh kasihan menjawab, “Aku akan selalu memahamimu, menghormatimu.”
