Bab 1120 Masih Tak Bisa Melupakannya...

　　　　Ji Sixi gelengkan kepala tak karuan, “Kau tak akan mati...” 　　　　Tenaga Lu Jingzhi sudah habis, perlahan melepaskan tangan Ji Sixi, berbisik lemah, “Jika kau tak membantuku... aku pasti akan tewas...” 　　　　“Tidak akan, tidak akan……” 　　　　“Cepat……” Lu Jingzhi perlahan menutup matanya. 　　　　Ji Sixi hampir menangis, wanita yang selalu tenang ini kini seluruh tubuhnya gemetar memegang pisau buah, lama tak kunjung berani bertindak. 　　　　Lu Jingzhi sudah tak bisa bicara, seluruh dirinya terlihat tak sadarkan diri. 　　　　Ji Sixi menggenggam pisau buah dengan kedua tangan, memandangi Lu Jingzhi yang sudah tak sadar. Ia menarik napas dalam, akhirnya menggenggam erat pisau itu, membuatnya mendekati luka di tubuh Lu Jingzhi dengan stabil. 　　　　Terus-menerus ia mengingatkan diri sendiri dalam hati: Jika tidak menangani lukanya, pasti ia akan mati... 　　　　Akhirnya, ujung pisau menggeser lukanya... 　　　　Saat itu, Lu Jingzhi mengeluarkan teriakan menyayat hati. 　　　　Air mata Ji Sixi tanpa sadar telah jatuh. Memanfaatkan momen Lu Jingzhi pingsan akibat kesakitan, ia secepat mungkin mengeluarkan peluru dari lukanya, lalu melakukan sterilisasi dan membalut luka tersebut... 　　　　Setelah semua selesai, ia membeku memandangi darah di tangannya sendiri. Air matanya masih terus jatuh berdesakan. 　　　　Ia tak tahu mengapa menangis, tapi begitu banyak darah yang mengalir dari tubuh Lu Jingzhi, sungguh cukup mengerikan... 　　　　Ia benar-benar panik! 　　　　Berusaha menenangkan diri, ia mencuci tangan lalu mencari selimut dan menyelimutkannya perlahan pada tubuh Lu Jingzhi. 　　　　Lu Jingzhi masih dalam keadaan Tak Sadarkan Diri, wajahnya pucat seperti kertas. 　　　　Ji Sixi berjongkok di lantai kayu, perlahan menggendong kepala Lu Jingzhi di pangkuannya, lalu menunduk menyentuhkan dahinya ke wajah pria itu, memberikan kehangatan. 　　　　Perlahan, warna darah mulai kembali ke wajah Lu Jingzhi. 　　　　Ji Sixi tahu ini berarti "operasi" yang dilakukannya berhasil, senyum merekah tanpa sadar di wajahnya. "Kau baik-baik saja, kau baik-baik saja..." 　　　　…… 　　　　Tengah malam, Lu Jingzhi tiba-tiba terserang demam tinggi. 　　　　Hal ini tak terduga oleh Ji Sixi, ia segera membasahi handuk dan menempelkannya di dahi pria itu. 　　　　Sepanjang malam, ia mengganti handuk basah tak terhitung kali. 　　　　Akhirnya, jelang pagi, suhu tubuhnya mulai turun... 　　　　Namun tubuh Ji Sixi sudah kelelahan setelah semalaman berjaga, kedua kaki yang bersimpuh terasa kebal, tangannya pegal tak tertahankan. 　　　　Tapi melihat wajah Lu Jingzhi yang sudah kembali berwarna, semua kelelahan itu terasa tak berarti. Ia hanya ingin pria itu segera sadar... 　　　　…… 　　　　Saat fajar menyingsing, Lu Jingzhi perlahan membuka matanya. 　　　　Rasa sakit di perut bawah membuatnya mengerang pelan, membangunkan Ji Sixi yang tertidur di kursi. 　　　　"Kau sadar!" 　　　　Ji Sixi langsung tersentak bangun, wajahnya berbinar kegirangan. 　　　　Tatapan Lu Jingzhi masih terlihat agak lemah,, namun dibandingkan kondisi lemahnya semalam, saat ini jelas membaik. "Aku kedinginan..." suara paraunya terdengar. 　　　　"Kau kedinginan ya..." Ji Sixi membelai lembut dahi Lu Jingzhi. "Semalam kau demam tinggi, jadi aku sengaja tidak menyelimutimu lagi..." 　　　　"Bantu aku ke ranjang." Perintah Lu Jingzhi. 　　　　Ji Sixi melotot kesal padanya, berbisik gumam, "Baru sembuh sedikit sudah main perintah..." 　　　　"Kau bilang apa?" Lu Jingzhi meliriknya. 　　　　"Bukan apa-apa... Kalau bisa, aku akan membantumu ke ranjang!" Kok telinga orang ini setajam ini? 　　　　"Aku baik-baik saja." Begitu kata Lu Jingzhi. 　　　　Ji Sixi seketika mengangkat lengan Lu Jingzhi, menghindari lukanya, dengan hati-hati menopangnya berdiri. 　　　　Lu Jingzhi jelas merasakan sakit, alisnya berkerut kencang, namun ia menggigit gigi tak bersuara, satu tangan menahan lantai, perlahan bangkit duduk. 　　　　Ji Sixi kembali menarik lengan Lu Jingzhi, membantunya berdiri tegak. 　　　　Lu Jingzhi perlahan berdiri, namun karena kesakitan hampir terjatuh, beruntung Ji Sixi menyandarkan lengan Lu Jingzhi di bahunya, membantunya bertahan. 　　　　Demikianlah, Ji Sixi akhirnya berhasil membaringkan Lu Jingzhi di ranjang... 　　　　Saat melihat Lu Jingzhi terbaring aman di ranjang besar nan nyaman itu, hati yang selama ini menggantung di dadanya akhirnya lega... Akhirnya bisa dipastikan, dia takkan ada masalah... 　　　　Akhirnya, dia duduk di tepi ranjang, memandang diam-diam ia yang kembali tertidur pulang. 　　　　Tiba-tiba menyadari matanya terasa kering, dia menggosok-gosok mata, merasa sedikit sakit, baru teringat bahwa semalam air matanya mengalir deras... 　　　　Seketika itu, dia terpaku. 　　　　Bagaimana mungkin dirinya menangis begitu banyak untuknya? 　　　　Semalam sejak mendengar ucapannya "mati", matanya mulai berkaca-kaca... 　　　　Mengapa ini bisa terjadi? 　　　　Apakah dia benar-benar takut ia akan mati? 　　　　Mengapa saat itu hatinya seakan dicengkeram sakit, seolah tiba-tiba ada sesuatu yang terkuras habis... 　　　　Mungkinkah dia masih peduli padanya? 　　　　Memikirkan ini, Ji Sixi terus menggelengkan kepala. Dia meninggalkan ranjang, berjalan ke depan jendela kaca kamar, menarik napas dalam-dalam. 　　　　Tidak mungkin, tidak mungkin... 　　　　Pasti dia sudah tidak punya perasaan lagi pada orang ini... 　　　　Tapi mengapa dia begitu takut ia mati? 　　　　Mengapa dia menangis begitu banyak untuknya? 　　　　Dia orang yang kuat. Bahkan saat kakaknya meninggal pun tak setetes air mata keluar. Mengapa tiba-tiba menjadi rentan begini? 　　　　…… 　　　　Hampir gelap baru Lu Jingzhi tersadar kembali. 　　　　Ji Sixi yang baru selesai membuat bubur dari dapur, tepat melihat Lu Jingzhi bergulat mencoba bangun. 　　　　“Dia tidak datang membantu, melainkan berkata dengan datar, ‘Aku sudah merebuskan bubur untukmu, karena sekarang kau seharusnya tidak bisa makan yang lain, tapi dari kemarin sampai sekarang kau belum makan sama sekali... Aku harus ke bandara, atau nanti ketinggalan penerbangan ke Kota C.’” 　　　　Lu Jingzhi menyandarkan diri di tepi ranjang, memandangi Ji Sixi yang sedang menarik koper hendak pergi. “Tak bisakah kau berbuat baik sampai tuntas, ambilkan semangkuk bubur untukku?” 　　　　Ji Sixi bahkan tidak menoleh, menjawab dingin, “Bawahanmu ada di pintu. Suruh saja dia yang mengambilkan.” 　　　　“Kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku akan melunasi hutang budi ini.” Suara datar Lu Jingzhi terdengar dari belakang. 　　　　Ji Sixi tak menjawab lagi. Dia menarik kopernya dan langsung meninggalkan kamar. 　　　　…… 　　　　Setelah kepergian Ji Sixi, Xiao K masuk dari luar. 　　　　Melihat mangkuk bubur beruap di meja teh, Xiao K tersenyum. “Pak Lu, Nona Ji sangat perhatian... Dia tahu Bapak tidak bisa makan yang lain, sengaja merebuskan bubur ini.” 　　　　Lu Jingzhi menundukkan kepala ke tepi ranjang, menahan sakit sambil menarik napas. “Ambilkan semangkuk untukku!” 　　　　“Baik.” Saat Lu Jingzhi menyantap bubur, Xiao K tak kuasa berkata lagi, “Pak Lu, semalam Nona Ji merawat Bapak sepanjang malam... Aku pernah masuk sebentar, melihat dia bersimpuh di lantai memeluk Bapak. Kedua kakinya sudah kebal, tapi terus memukul-mukul paha sendiri agar tetap sadar... Dia 　　　　benar-benar sangat memperhatikan Bapak.” 　　　　“Lu Jingzhi terdiam sejenak, lalu menjawab, ‘Dia hanya berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya.’” Xiao K tidak mengerti, tapi tidak berani bertanya lebih lanjut.