Saat duduk di pesawat, Ji Sixi terus berpikir: Lu Jingzhi bilang akan melunasi hutang budi ini, tapi bagaimana caranya?
Akhirnya, dia menyadari – pasti dia akan memberinya uang!
Benar. Di relung hati pria itu, dia adalah seseorang yang rela mengorbankan segalanya demi uang. Tentu saja solusinya hanya uang!
Memikirkan ini, senyum sinis merekah di wajahnya, diiringi desahan pilu dalam hati...
Ji Sixi... Ji Sixi... Sepanjang hidup kau tak pernah peduli uang, tapi di mata orang lain kau hanya pengkhianat yang bisa dijual demi recehan!
Menyedihkan sekali!
……
Karena kelelahan, Ji Sixi tertidur di pesawat. Saat sadar, pesawat tepat mendarat di Bandara Internasional Kota C.
Tapi karena perbedaan zona waktu, jam di Kota C menunjukkan pukul tiga dini hari.
Ji Sixi menarik koper sambil limbung menuju area parkir. Tiba-tiba, sorot lampu mobil menyilaukan matanya.
Dengan tangan menghalangi cahaya, barulah dia melihat sumbernya: Chi Zhichen. Tak sampai sedetik, pria itu sudah turun dari mobil.
Ji Sixi terpaku.
“Zhichen, Bagaimana mungkin kau di sini?”
Chi Zhichen melepas mantel jasnya dan menyampirkannya di bahu Ji Sixi. “Aku tahu kau biasanya tiba sekitar jam ini. Aku datang menjemput.”
“Aku tak perlu kau jemput, sudah kubilang mobilku parkir di bandara.” Ji Sixi berkata dengan rasa bersalah.
Chi Zhishen menopang lembut bahu Ji Sixi dengan kedua tangannya, menatapnya dalam-dalam sambil berkata tulus, “Pacarku baru pulang dari luar negeri, pasti sangat lelah. Mana mungkin kubiarin dia nyetir pulang sendiri?”
Ji Sixi sedikit membeku. “Tapi penerbangan kali ini sering delay. Kalau telat tiga empat jam, apa kau mau nunggu di sini selama itu?”
Senyuman hangat merekah di wajah Chi Zhishen. “Tentu. Berapa pun lama-nya, akan kutunggu...”
Tiba-tiba Ji Sixi tak sanggup menatap ketulusan tatapan dan senyum Chi Zhishen. Ia memalingkan wajahnya.
Chi Zhishen berbisik pelan, “Ada apa?”
Ji Sixi menggelengkan kepala.
Chi Zhishen menangkupkan wajahnya dengan lembut, memaksanya berhadapan. “Kulihat kau ada beban... Kau baik-baik saja?”
Tatapan Ji Sixi berkelip-kelip. “Zhishen...”
“Kenapa?” Chi Zhishen membelai lembut dahinya. “Kau tidak enak badan?”
Ji Sixi menarik napas dalam sebelum berkata tegas, “Zhishen, urusan kita... sepertinya perlu kupikirkan lagi.”
Chi Zhishen tak langsung paham, ekspresinya menunjukkan kebingungan. “Apa maksudmu, Xi?”
Ji Sixi menunduk, suaranya penuh penyesalan. “Aku sungguh minta maaf karena dulu terburu-buru menerima permintaanmu. Tapi sekarang... aku belum bisa jadi pacarmu.”
Kali ini Chi Zhishen akhirnya mengerti. Seluruh tubuhnya membeku.
“Ji Sixi terus menggelengkan kepala, relung hatinya dipenuhi penyesalan dan rasa bersalah terhadap Chi Zhichen.”
Beberapa saat kemudian, Chi Zhichen membuka mulut dengan suara lembut seperti masa lalu. “Bisakah kau memberitahuku alasannya?”
“Aku tak tahu harus bagaimana mengatakannya...” suara Ji Sixi terdengar parau.
Chi Zhichen mengepalkan bahu Ji Sixi, memaksanya mengangkat kepala. Bola mata yang dalam bagaikan Pusaran Gelap menatapnya. “Apakah terjadi sesuatu saat ke Jerman kali ini? Apakah Lu Jingzhi melakukan sesuatu padamu?”
“Tidak, aku bersumpah!” Ji Sixi memandang Chi Zhichen dengan tenang, berkata serius, “Di Jerman kali ini, tak ada apa-apa antara kami. Kami tetap tak punya hubungan. Hanya saja aku tiba-tiba menyadari...”
“Menyadari apa?” Chi Zhichen mengejar.
Tatapan Ji Sixi kembali berkedip panik. Setelah bergulat dalam hati lama sekali, akhirnya ia berkata, “Aku... masih peduli pada Lu Jingzhi...”
Seluruh tubuh Chi Zhichen terpaku.
Rasa pedih dan penyesalan membanjiri dada Ji Sixi. “Aku tahu perkataanku ini menyakitkanmu, tapi aku benar-benar tak mau menipumu dengan kebohongan lain...”
Chi Zhichen terus memandangi Ji Sixi, sangat lama. Bibirnya terkunci rapat, tak kunjung terbuka.
Dada Ji Sixi seolah dihimpit sesuatu, sesak tak tertahankan. “Maafkan aku, Zhichen...”
Chi Zhichen akhirnya bersuara, namun nadanya lebih lesu dari biasanya. “Aku tak menyalahkanmu. Perasaan manusia terkadang memang sulit dipahami bahkan oleh diri sendiri... Aku hanya perlu kau menjawab satu pertanyaan.”
“Tanyakanlah.” Ji Sixi segera menyahut.
“Kau berencana bersamanya?” nada bicara Chi Zhichen terdengar sangat serius.
Ji Sixi bahkan tak sempat merenung, langsung menggelengkan kepala, menjawab kata demi kata dengan jelas, "Aku tak pernah terpikir untuk bersamanya, dia juga tak punya perasaan apapun padaku..."
Mendengar jawaban itu, Chi Zhichen sedikit menghela napas lega. "Kalau begitu, aku hanya perlu lebih banyak waktu untuk menantimu..."
"Tapi bahkan aku sendiri tak tahu berapa lama perhatian ini akan bertahan..."
"Tak peduli berapa lama, aku akan tetap menanti." Chi Zhichen memandanginya dengan tatapan yang teguh. "Asal kau mau memberi kesempatan, aku akan berjuang mati-matian!"
"Zhichen..." Ucapan Chi Zhichen membuat Ji Sixi merasa bersalah.
Chi Zhichen tiba-tiba merangkul Ji Sixi erat dalam pelukan. "Aku mencintaimu... Aku takkan pernah meninggalkanmu, kecuali kau suatu hari memilih orang lain."
Ji Sixi bersandar di bahu Chi Zhichen, matanya terasa perih. "Aku ingin bersamamu, kuharap kita bisa bersama..."
"Pasti akan begitu."
Ji Sixi menutup matanya, namun saat ini juga, yang terbayang di pikirannya tetap adegan Lu Jingzhi menciumnya di aula utama hotel semalam...
Hatinya seakan dicengkeram.
……
Ibu Ji menyadari senyuman Ji Sixi menghilang sepanjang minggu ini, dan bunga dari Chi Zhichen juga tak datang lagi. Menjelang Ji Sixi berangkat kerja pagi ini, ia bertanya penuh perhatian, "Sixi, apa hubunganmu dengan Zhichen bermasalah?"
“Ibu, aku sudah bilang sebelumnya, hubunganku dengan Zhichen baru mulai……Jadi Ibu jangan ikut campur, biarkan kami berkembang secara alami, ya?” Jawab Ji Sixi pada ibunya, hanya tak ingin sang ibu khawatir.
“Xi'er, waktu itu Zhichen makan di rumah, bahkan Ayahmu bilang dia anak muda yang hebat. Kau jangan lagi berkhayal macam-macam, jalani hubunganmu dengan baik. Jangan sampai kehilangan baru menyesal……” Ibu Ji menasihati dengan sungguh-sungguh.
Ji Sixi sedang mengganti sepatu hak tinggi di pintu, menjawab kesal, “Ibu, aku kapan berkhayal?” Mendengar itu, Ibu Ji melotot padanya, bersuara berat, “Masih bohong? Dua hari lalu Ibu bersihkan kamarmu, melihat di laci meja samping ranjang tersimpan jam tangan mahal. Kotaknya sama sekali tak berdebu, artinya kau sering mengeluarkannya untuk dilihat……Bukankah ini bukti
kau belum bisa melupakan Lu Jingzhi?”
“Ibu, kenapa sembarangan membuka barangku?” Ji Sixi sedikit jengkel. “Ibu tidak sembarangan, ini ketahuan tak sengaja waktu membereskan kamarmu……” Ibu Ji mengambilkan tas laptopnya, melanjutkan nasihat, “Xi'er, kuda baik tak makan rumput bekas, apalagi dia sama sekali tak punya perasaan padamu. Terus begini hanya akan membuatmu lelah...”
