"Jerman?" Wajah Ibu Ji langsung berubah. "Kenapa tidak kau tolak?"
Ji Sixi membeku, "Kenapa harus kutolak?"
Ibu Ji kesal berkata, "Apa kau masih mau memiliki hubungan dengan Lu Jingzhi?"
"Ibu..." Mood baik Ji Sixi langsung hancur. "Ibu mikir kemana... Aku magang di Jerman, bukan untuk berhubungan dengannya."
Ibu Ji langsung berdiri dari meja makan, berkata datar, "Jam tangan yang mau kau berikan masih disimpan sebagai harta karun, bukan menunggu kesempatan untuk memberikannya?"
Ji Sixi kehabisan kata.
Ibu Ji menatap serius Ji Sixi, menasihati dengan sungguh-sungguh, "Xi, dengarkan nasihat Ibu, tolak kesempatan pelatihan kali ini, fokuslah membangun karier bersama Zhi Chen di Kota C..."
"Meski aku pergi ke Jerman untuk pelatihan, bukan berarti tak bisa melanjutkan hubungan dengan Zhi Chen," bantah Ji Sixi. "Ibu tahu, tapi apakah kau memikirkan perasaan Zhi Chen... Pelatihanmu pasti di Berlin, sedangkan Lu Jingzhi juga di sana. Meski tak ada hubungan dengan Lu Jingzhi, bisakah Zhi Chen tenang? Lagipula, hubungan jarak jauh seperti ini tidak baik untuk perkembangan perasaan kalian." Ibu Ji dengan sabar
berkata.
"Bu, aku hanya pergi ke Jerman 3 bulan. Aku yakin Zhi Chen akan mengerti," kata Ji Sixi dengan nada keras. "Jika kau tetap nekat ke Jerman, tunangan dulu dengan Zhi Chen! Jika sudah bertunangan, Ibu izinkan. Jika tidak, tetap bekerja di Kota C... Meski kariermu biasa-biasa saja, nanti Zhi Chen bisa memeliharamu!" Setelah mengucapkan ini, Ibu Ji meninggalkan restoran
, bayangan tegasnya tak menyisakan celah kompromi.
Ji Sixi terpaku di meja makan, tak menyangka Ibu sendiri akan memberi rintangan.
……
Malam itu, Ji Sixi terduduk linglung di tepi ranjang, merenungkan ucapan ibunya.
Menurutnya, meski sikap keras Ibu agak tak masuk akal, ada satu hal yang benar.
Jika ia ke Jerman, hal ini sama sekali tak membantu perkembangan hubungannya dengan Chi Zhi Chen, malah seperti menabur garam di luka hatinya...
Tapi, jika menyia-nyiakan kesempatan bagus untuk melanjutkan studi ini, dia benar-benar merasa menyesal...
Bagaimana ini?
Apakah benar seperti yang dikatakan Ibu, dia harus bertunangan dulu dengan Chi Zhichen sebelum pergi ke Jerman?
Tidak...
Dia tak akan sembarangan bertunangan dengan Chi Zhichen karena saat ini belum bisa memberikan perasaan sejati padanya. Dia tak boleh mengunci Chi Zhichen dengan cara seperti ini...
Sepertinya, kali ini dia terpaksa melepaskan kesempatan ini...
Ji Sixi sangat kecewa, tapi setelah merenung panjang, akhirnya tetap mengambil keputusan ini.
……
Keesokan harinya.
Semua orang tak percaya Ji Sixi ternyata melepas kesempatan studi ke Jerman, semuanya merasa sayang untuknya...
Saat keluar dari kantor direktur, kepala Ji Sixi tertunduk lesu dengan perasaan yang sangat hampa.
Benar, bahkan dirinya sendiri tak menyangka akan begitu mengharapkan kesempatan ke Jerman ini...
Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang lenyap dari relung hatinya, membuat hatinya terasa kosong melompong.
Tapi dia tahu keputusan ini benar, karena tak ingin mengecewakan Chi Zhichen maupun kehilangan peluang mengembangkan hubungan dengannya.
Mendekati siang, ponsel Ji Sixi berdering.
Awalnya dikira Chi Zhichen yang menelepon untuk mengajak makan, senyumnya langsung merekah. Dia berniat mengangkat telepon ini seolah tak terjadi apa-apa, tapi nomor yang terpampang di layar membuatnya sedikit kaku.
Kok bisa Lu Jingzhi?
Tapi di layar ponsel jelas-jelas terpampang nomor telepon pria itu.
“……”Pertahanan hati Ji Sixi berdegup kencang, karena dia takkan pernah bisa menebak apa yang diinginkan orang ini.
Seperti kesurupan, Ji Sixi tetap mengangkat teleponnya. “Kukira kau masih terbaring di ranjang memulihkan diri?” ujarnya dengan kesal.
Lu Jingzhi menjawab datar, “Habis semalam di hotel dengan seorang wanita. Jika sampai perlu istirahat, bukankah aku jadi bahan tertawaan?”
“…” Dia hampir lupa, semua orang tak tahu soal insiden tembakannya. “Sekarang malam di Jerman. Tak menemani tunanganmu, tiba-tiba meneleponku untuk apa?”
“Sudah kukatakan akan melunasi hutang budi ini,” kata Lu Jingzhi.
Ji Sixi menyisir helai rambut hitamnya ke belakang telinga, menampakkan wajah oval mungilnya. “Bagaimana caranya?”
“Dengan cara yang paling kau sukai.”
“Cara favoritku?”
“Cek.”
Tubuh Ji Sixi gemetar halus.
Ternyata ia tetap mengira dirinya hanya mencintai uang...
Di relung hatinya, wanita ini selamanya akan menjadi sosok seperti itu.
Andai ia pernah peduli, mau menyisihkan waktu untuk menyelidiki semua yang terjadi di rumahnya, tentu ia tahu dirinya tak pernah seperti sangkaannya...
Sayang, ia takkan mau menyelidik. Karena baginya, dirinya tak berarti.
“Baik… Nyawa Tuan Lu sangat berharga. Berapa yang mau kau beri?” Tanya Ji Sixi tersenyum, tapi suaranya penuh kepahitan.
“Aku di Kota C. Satu jam lagi, temui aku di lantai atas Hotel Tianqiao.” Jawab Lu Jingzhi dengan nada datar.
Ji Sixi terkekik tipis, "Baik, harapan Pak Lu bisa memberi saya keakraban yang memuaskan."
Lu Jingzhi langsung mengakhiri panggilan telepon.
Ji Sixi perlahan menurunkan ponsel dari telinganya, tatapan kosong.
……
Setengah jam kemudian, Ji Sixi bersiap menyetir menuju Hotel Jembatan Langit.
Tak disangka, telepon Ibu Ji tiba-tiba masuk di saat ini.
Ji Sixi berjalan menuju mobil sambil mengangkat telepon ibunya. "Ibu..."
Suara terengah Ibu Ji yang membawa barang terdengar, "Xi, Ibu sedang belanja dekat perusahaanmu. Siang ini makan bersama yuk... sekalian menaruh barang di mobilmu."
"Ibu, siang ini aku ada urusan. Tak bisa menjemput atau menemani Ibu makan." Jawab Ji Sixi tenang.
Ibu Ji curiga, "Apa janji dengan Zhichen siang ini?"
"Bukan, ada urusan bisnis." Tak ingin ditanya lebih lanjut, Ji Sixi mengelak dengan alasan pekerjaan.
"Oh, tapi Ibu sudah lihat..." Ibu Ji hendak bilang dia melihat putrinya, karena saat ini dia berdiri persis di seberang Ji Sixi.
Namun Ji Sixi menyela sebelum ibunya selesai, "Ibu, aku harus menemui klien sekarang." Ucapnya lalu langsung mematikan telepon.
Ibu Ji meletakkan ponsel, memandang curiga ke arah Ji Sixi yang sedang membungkuk masuk ke mobil di seberang. Keningnya berkerut, "Janji klien siang hari? Biasanya kan sore?"
Setelah menggerutu dalam hati, Ibu Ji segera menghentikan taksi dan memerintahkan sopirnya mengikuti mobil Ji Sixi.
……
Ji Sixi tidak menyadari diikuti oleh Ibu, dia memarkir mobil di pintu Hotel Tianqiao, lalu langsung naik ke lantai atas hotel.
Lantai atas hotel adalah restoran Hotel Tianqiao yang tepat dapat memandang dari atas seluruh Kota C, menjadikannya restoran termahal di Kota C.
Saat Ji Sixi tiba di restoran, tak ada seorang pun di restoran luas itu. Lu Jingzhi sudah duduk di depan meja makan dengan segelas anggur merah di tangannya. Ji Sixi sulit percaya orang yang hampir mati empat hari lalu ini berani minum arak, keningnya tak sengaja berkerut.
