Bab 1149 Apakah aku tidak pantas dirayu?

　　　　Dengan kata lain, dia sebenarnya sudah menarik perhatiannya sejak lama, hanya saja sebelum situasi bahaya muncul, dia tidak menyadari hal ini... 　　　　Ini juga menjelaskan mengapa dia sama sekali tidak tertarik pada Situ Jing! 　　　　Karena tanpa disadari, hatinya telah ditempati olehnya. Wanita yang diinginkannya hanyalah dia... 　　　　Tapi bagaimana tepatnya dia bisa menarik perhatiannya? 　　　　Merenungi karakteristiknya, tidak ada yang istimewa... 　　　　Bahkan dia bisa tidak bertemu dengannya dalam waktu lama tanpa rasa rindu... 　　　　Tapi sekarang jika ada yang ingin merebutnya, seperti Chi Zhishen itu... 　　　　Sama sekali tidak diizinkan! 　　　　Seperti hari itu ketika dia secara gamblang mengungkapkan niat untuk mengembangkan hubungan dengan Chi Zhishen, secara lahiriah ia terlihat santai, namun di dalam hatinya ada keinginan untuk secara pribadi memperingatkan Chi Zhishen - memberitahu orang ini bahwa Ji Sixi adalah wanitanya! 　　　　Rupanya, bukan karena tidak ada keterikatan padanya, melainkan karena ia tak pernah kehilangan dirinya, sehingga tak pernah memperhatikannya... 　　　　Sebelumnya meski mereka berpisah, ia selalu yakin bahwa kapanpun ia mau, bisa langsung menempati posisinya... 　　　　Kini ada faktor tak terelakkan yang mungkin membuatnya kehilangan dirinya, sehingga baru terpancing emosi mengungkapkan isi hati yang sebenarnya... 　　　　Benar... 　　　　Ternyata ia benar-benar tertarik pada wanita bernama Ji Sixi ini... 　　　　Meski dia tetap wanita jahat seperti yang pernah ia bayangkan, perasaan ini sudah lama bersemi... 　　　　…… 　　　　Ji Sixi bolak-balik di ranjang, menyadari dirinya tetap tak bisa terlelap. 　　　　Mengambil ponsel dan melirik jam, jarum jam sudah menunjuk posisi satu, hatinya semakin terasa kosong... 　　　　Mengapa malam ini ia tidak kembali? 　　　　Tadi siang semuanya baik-baik saja, janjinya akan pulang sebelum gelap, tapi tiba-tiba menelepon bilang tak akan kembali... 　　　　Maksudnya apa sih? 　　　　Apa aku hanya boneka yang bisa dipanggil atau diusir sesukanya? 　　　　Mereka sudah bertunangan, dulu janjinya akan memperhatikanku, tapi kini seenaknya meninggalkanku di hotel asing di negeri orang... 　　　　Perasaannya benar-benar lesu. 　　　　"Awalnya ia tak mengizinkannya pergi ke Avenue des Champs-Élysées sendirian sore ini, bahkan sempat membuatnya merasa benar-benar diperhatikan. Tapi sekarang... Brengsek benar pria itu." 　　　　"Seandainya saat pertunangan dulu ia tak berjanji akan menghargainya, mungkin takkan begini pedulinya..." 　　　　"Kini hatinya sudah mulai berharap akan masa depan indah bersama, tiba-tiba disiram air dingin seperti ini. Sungguh seperti jatuh dari surga ke neraka..." 　　　　"Jangan-jangan nanti sikapnya kembali dingin seperti dulu?" Pikirnya dengan pesimis. 　　　　"Ah..." 　　　　"Menghela napas untuk apa?" 　　　　Suara tiba-tiba itu membuat Ji Sixi kaget. Ia bangkit duduk terburu-buru, baru menyadari Lu Jingzhi sudah kembali tanpa suara dan sedang melepas mantel jasnya. 　　　　Ji Sixi terpana. "Kau... Kau sudah pulang?" 　　　　Sial! Tak terdengar sama sekali suara langkahnya. Apa tadi terlalu asyik melamun? 　　　　"Hmm... Kukira kau sudah tidur. Tak mau mengganggu. Tapi tiba-tiba dengar supaumu." Lu Jingzhi meletakkan mantel di sofa, sosok tinggi tegapnya bergerak menuju ranjang besar, berhenti di meja samping tempat tidur untuk melepas jam tangan. 　　　　Ji Sixi menatap sosok tampan itu sambil menggigit bibir. "Bukannya kau bilang takkan pulang malam ini?" 　　　　Lu Jingzhi duduk di tepi ranjang. Dua kancing kemejanya terbuka, memberinya kesan santai yang tak biasa dibanding penampilan rapi sehari-hari. 　　　　Tatapan dalam yang terang menatapnya, wajah tampannya menampilkan senyum tipis yang samar. "Kalau aku tidak kembali, apa kau bisa tidur nyenyak malam ini?" 　　　　"Tentu saja aku bisa tidur, bahkan aku tidur sangat nyenyak!" Setelah mengucapkan ini, Ji Sixi menarik selimut dan berpura-pura nyaman berbaring di ranjang. 　　　　Senyum tipis mengembang di bibir Lu Jingzhi saat ia menarik selimut Ji Sixi, tidak mengizinkannya menutupi kecantikan wajahnya. Tatapannya yang tenang mengamatinya. "Benarkah?" 　　　　"Benar." Ji Sixi memalingkan wajah, sengaja menghindari tatapan mata hitamnya yang bisa membongkar hati manusia. 　　　　"Kalau begitu..." Lu Jingzhi sengaja berhenti sejenak, "Lebih baik aku teman minum saja. Dari tadi dia sudah mengeluh bahwa meski jarang ke Prancis, aku tidak memberinya kesempatan menunjukkan keramahan tuan rumah..." 　　　　Ji Sixi tetap tidak menoleh. 　　　　Lu Jingzhi mencubit lembut hidung Ji Sixi, tersenyum, lalu segera menjauh dari tepi ranjang. 　　　　Saat Lu Jingzhi bangkit, Ji Sixi diam-diam menoleh. Ia melihat Lu Jingzhi benar-benar sedang mengancingkan kemejanya. Ia bangkit duduk dan bergumam kesal, "Kau benar-benar mau pergi?" 　　　　"Bukankah tanpa kehadiranku, kau bisa tidur lebih nyenyak?" jawab Lu Jingzhi sambil melangkah tenang menuju sofa, berpura-pura mengambil mantel jas. 　　　　Ji Sixi segera turun dari ranjang. Tanpa ragu, ia memeluk Lu Jingzhi dari belakang. 　　　　Lu Jingzhi membeku di tempat. Tapi tak ada yang tahu, senyum puas merekah di wajah tampannya. 　　　　Ji Sixi menempelkan pipinya erat di punggung Lu Jingzhi, kedua tangan memeluknya erat, suara kesal yang lebih mirip merajuk berkata, "Kau pulang begitu larut... Apakah kau tak bisa merayuku sedikit?" 　　　　Lu Jingzhi berbalik badan, melingkari pinggang rampingnya, sepasang mata gelap yang dalam menatapnya tajam. 　　　　Ji Sixi sedikit mendongakkan wajah, menahan tatapannya. "Aku akui, malam ini tanpa kehadiranmu, aku terus terjaga... Aku benar-benar sudah terbiasa ada kamu di sini." 　　　　Lu Jingzhi membelai lembut pipi Ji Sixi, tatapannya penuh kasih sayang, suara penuh kepedulian berkata, "Kalau begitu mulai sekarang aku tak akan pulang larut lagi, setuju?" Ji Sixi menggenggam tangan Lu Jingzhi, bagian paling lembut di hatinya tersentuh oleh ucapannya. "Aku tak menuntutmu harus menemaniku setiap saat, aku hanya berharap kau tak lagi berbicara padaku dengan dingin seperti hari ini, karena itu membuatku merasa sama sekali tak memilikimu..." 　　　　…” 　　　　Lu Jingzhi menunduk, mencium dahinya. "Tenang saja, mulai sekarang aku tak akan lagi bicara seperti itu padamu..." 　　　　Mendengar itu, Ji Sixi menyembunyikan wajahnya di dada Lu Jingzhi, memeluknya erat. "Boleh aku tanya sesuatu?" 　　　　"Silakan." Lu Jingzhi sedikit menunduk, menghirup aroma rambut Ji Sixi, menyadari wewangian yang familiar ini kini membuatnya begitu terikat. 　　　　"Apakah kau masih begitu memperhatikan Su Mo sekarang?" 　　　　Dia sebenarnya selalu tidak berani menanyakan pertanyaan ini, dia takut jawaban akan membuatnya sedih, namun saat ini dia tetap tak tahan mengeluarkannya dari mulut. 　　　　Dia benar-benar berharap ada tempat untuknya di relung hati pria itu... 　　　　Dagu Lu Jingzhi menempel di dahi Ji Sixi, suara lembutnya terdengar, "Aku tidak tahu apakah aku sudah benar-benar melepas Su Mo, tapi selama hari-hari bersamamu ini, aku tidak pernah mengingatnya..." 　　　　Mata Ji Sixi tiba-tiba berkedip diselimuti cahaya air yang samar. "Benarkah? Lu Jingzhi." Lu Jingzhi perlahan menarik tubuh Ji Sixi, menatap tajam mata jernihnya yang indah tanpa berkedip. "Hari-hari bersamamu benar-benar membuatku merasa rileks, bahagia... Mungkin sekarang aku belum bisa memastikan sudah jatuh cinta padamu, tapi aku berharap kita bisa terus seperti ini."