Dengan menggendong Lu Yixin di ruang tamu, dia menanti kedatangan orang tua. Sekitar pukul sembilan, akhirnya Lu Jingzhi dan orang tuanya muncul dalam pandangannya...
Langsung dia menggendong Lu Yixin, bahagia menyambut mereka.
"Ayah, Ibu..."
Dua bulan terakhir sibuk urusan pernikahan, tak sempat pulang ke tanah air. Kerinduan pada orang tua menggerogoti hatinya.
Pasangan Ji pertama kali menginjakkan kaki di vila Lu Jingzhi, terpana oleh kemewahan lingkungan sekitar.
“Ibu Ji baru tersadar setelah beberapa saat, hampir-hampir ingin menangis kegirangan. "Xi, Ibu sangat merindukanmu."”
Ji Sixi ingin memeluk ibunya, tapi di pangkuannya masih ada si kecil yang tak henti-hentinya menatap kakek neneknya. Akhirnya ia hanya bisa berkata, "Ibu, ini cucu perempuan Ibu."
Ibu Ji memandangi putri kecil yang mungil itu, mata beliau langsung berkaca-kaca. "Cepat, cepat, biar nenek yang memeluk..." Beliau segera meletakkan tas yang dipegangnya dan hendak menggendong sang putri kecil.
Kepala rumah tangga membantu membawakan tas Ibu Ji. Melihat adegan reuni kakek nenek dan cucu ini, matanya juga berlinang air mata.
Ji Sixi segera menyerahkan Lu Yixin kepada ibunya. Ibu Ji menciumi si kecil penuh kasih. "Benar-benar lebih imut dari foto... Sungguh mewarisi semua kelebihan kalian berdua."
Sen Sen yang dituntun Ayah Ji melompat-lompat gembira. "Adik perempuan imut... Tante, bolehkah aku juga memeluk adik?"
Ayah Ji bersuara berat, "Tidak bisa, badanmu masih kecil. Nanti saja kalau sudah besar!"
"Oh." Sen Sen pun patuh, tapi matanya yang berbinar tetap tak lepas mengamati Lu Yixin.
Saat itu, Ji Sixi diam-diam mendekati Lu Jingzhi, memandang dengan puas orang tua yang memanjakan Lu Yixin, lalu berbisik, "Aku tahu ucapan terima kasih antar suami-istri tak perlu diungkapkan, tapi aku tetap ingin berterima kasih. Terima kasih telah membantu menjemput orang tuaku lebih awal. Malam ini aku benar-benar bahagia..."
Pandangan Lu Jingzhi tertancap pada Lu Yixin yang dimanja mertua, wajah tampannya menyungging senyum tipis, namun berkata datar, "Memang tak perlu berterima kasih, karena sore tadi kau sudah mengucapkannya."
"..." Ji Sixi kembali kehabisan kata saat berbicara dengan Lu Jingzhi.
Ia teringat "permainan luar biasa" mereka sore tadi, pipinya memerah tanpa disadari.
Kebetulan, Lu Jingzhi memilih saat ini untuk menoleh, meliriknya. "Atau kau merasa harus berterima kasih lagi malam ini baru bisa sepenuhnya mengungkapkan rasa syukurmu? Aku tak keberatan. Lagipula, aku sama sekali tak lelah."
Tiba-tiba, kaki seseorang diinjak...
Namun, ekspresi seseorang tetap sama, hanya mengerang pelan, seolah tak ada yang terjadi.
……
Keesokan harinya.
Setelah sarapan, Ji Sixi mengantar Lu Jingzhi yang pergi ke perusahaan untuk urusan bisnis, lalu menemani orang tua di ruang tamu.
Saat ini, Sen Sen menemani Lu Yixin bermain di pagar pengaman belajar berjalan, memungkinkan tiga orang dewasa berbincang dengan tenang.
Ibu Ji melirik sekeliling, menyadari kepala rumah tangga dan pelayan berada cukup jauh, baru kemudian bersuara, "Xi, kenapa hari ini Jingzhi masih pergi ke perusahaan? Besok kalian akan mengadakan pernikahan, mengapa hari ini dia belum melepaskan urusan perusahaannya?" Ji Sixi tahu ibu akan menanyakan hal ini, karena tadi saat mengantar Lu Jingzhi pergi, wajah ibu sudah menunjukkan sedikit ketidaksenangan. Ia segera berkata serius pada ibu, "Bu, sebenarnya Lu hari ini rencananya tetap di rumah. Dia bahkan bilang karena Ibu dan Ayah datang, seharusnya dia..."
"Menemani kalian mengobrol dengan baik, tapi aku yang menyuruhnya pergi ke perusahaan..."
"Mengapa?" Ibu Ji bertanya tak mengerti.
Ji Sixi tersenyum menjawab, "Karena akhir-akhir ini Lu terus-menerus menangani urusan perusahaan tanpa henti. Jika urusan hari ini diselesaikan, mulai besok dia bisa menemani saya berbulan madu tanpa beban... Harus kau tahu, dia berencana menemani saya keliling dunia selama 3 bulan!"
"Rupanya begitu!" Ibu Ji menghela napas lega, agak canggung. "Aku mengira dia tidak terlalu memperhatikan aku dan ayahmu..."
"Bagaimana mungkin?"
Ji Sixi segera mengeluarkan sebuah kotak hadiah dari belakangnya, memberikannya pada ibu. "Ibu, lihat ini..."
"Apa?" Ibu Ji bertanya ragu.
"Buka saja, nanti ibu tahu." Ji Sixi sengaja menggantung rasa penasaran.
“Nak...” Ibu Ji tersenyum sambil membuka kotak. Seketika, seluruh tubuhnya terpaku. “Xi... Xi, ini... ini...” Ibu Ji bicara terbata-bata. Ji Sixi yang sudah menebak reaksi ibunya segera mengambil kalung zamrud dari kotak beludru mewah itu. “Saat kami memilih cincin nikah, Lu yang memilihkan ini untuk Ibu... Katanya, selama ini belum sempat memberi upeti pada kalian, hadiah sederhana ini sebagai tanda hati—”
“Semoga Ibu tak menganggapnya kampungan, anggap saja ini ungkapan tulus dari Lu.”
“Ini ini ini...” Ibu Ji menatap kalung zamrud itu dengan bicara kacau. “Ini... harganya pasti selangit, ya?”
Ji Sixi menjawab jujur, “Sepuluh kali lipat harga vila kita.”
“Apa?” Ibu Ji terkejut, seluruh tubuhnya terpaku.
Ji Sixi segera membantu ibunya mengenakan kalung zamrud itu.
Ibu Ji tak berani bergerak sedikitpun, seolah khawatir gerakan sekecil apapun akan melukai perhiasan ini.
Ji Sixi tak tahan tertawa, “Bu, Ibu bisa berdiri dan berjalan. Kulit Ibu yang putih membuat zamrud ini terlihat sempurna... Lu memang jeli, kalung ini sangat cocok untuk Ibu.” Sambil berkata demikian, ia mengambil cermin dan memperlihatkannya pada sang ibu.
Ibu Ji mengatur napas, baru perlahan bangkit dari sofa. Tangannya menyentuh lembut permata itu, lalu memandangi bayangannya di cermin. “Seumur hidup, baru kali ini aku merasa punya aura wanita kaya kelas atas...”
Ji Sixi menggandeng lengan ibunya, tersenyum tipis, "Besok saat menghadiri pernikahan, Ibu pakai saja ini. Bukan putri Ibu yang jadi pusat perhatian, melainkan Ibu sendiri yang akan jadi sorotan seluruh ruangan..."
"Dasar anak ini, mulai lagi mengejek mamanya..." Teguran Ibu Ji lebih terdengar penuh kasihan. "Putriku pasti yang paling cantik..." Ji Sixi lalu menoleh ke ayahnya yang diam seribu bahasa, menirukan nada mengejek ibunya, "Ayah, Jangan-jangan Ayah diam-diam kesal? Tenang, Lu juga menyiapkan hadiah untuk Ayah... Tapi dia tahu Ayah lebih suka barang bermakna, jadi dia berhasil menemukan barang yang hilang bertahun-tahun lalu itu-"
"Stik golf..."
"Benarkah?"
Sebelum Ayah Ji sempat menjawab, Ibu Ji sudah terkejut. "Jing Zhi membantu Ayahmu menemukan stik golf yang hilang itu?"
Ji Sixi mengangguk, lalu melirik kepala rumah tangga yang berdiri di samping. Sang kepala rumah tangga segera mengulurkan stik golf yang sudah diperbaiki hingga berkilau seperti baru ke hadapan Ayah Ji. Ibu Ji berkata tak percaya, "Stik golf ini dulu dipakai Kakekmu. Ayahmu juga selalu pakai ini main golf. Saat itu rumah kita kemalingan, pencurinya mengambil stik golf berlapis emas ini. Ayahmu sedih sekali, merasa telah mengecewakan Kakek sampai-"
"Barang peninggalan satu-satunya tak bisa dijaga... Tak disangka Jing Zhi begitu perhatian sampai bisa menemukannya kembali untuk Ayahmu."
“Aku juga sangat terharu… Tahu tidak, masalah tongkat golf itu bahkan tidak pernah kusebutkan pada Lu… Dia benar-benar perhatian.” Ji Sixi berkata dengan tulus.
Namun, Ayah Ji lama tak kunjung menerima tongkat itu, wajahnya tidak menunjukkan banyak kegembiraan.
Ibu Ji yang melihat ini bertanya ragu, “Lao Ji, ada apa? Menantu begitu tulus, kau sama sekali tidak tersentuh?”
Baru kemudian Ayah Ji perlahan menerima tongkat golf ini, namun saat mengambilnya, beliau serius bersuara, “Xi, Ayah punya beberapa kalimat ingin bicara berdua denganmu.”
Ibu Ji kesal mengeluarkan, “Tidak bisa di depan ibu? Pasti mau mengatakan ucapan yang menyiram air dingin lagi?”
“Bu…” Ji Sixi menghibur ibunya. “Ayah hanya lebih rasional dari kita. Jika beliau tidak menilai tinggi pernikahanku dengan Lu, mana mungkin jauh-jauh menemani Ibu datang ke pernikahan kami.”
Ibu Ji akhirnya diam, kembali mengamati kalung zamrud itu.
Ji Sixi segera berkata pada ayahnya, “Ayah, kita ke ruang tamu kecil untuk bicara!”
“Baik.” Ayah Ji menyerahkan tongkat golf ke kepala rumah tangga, lalu langsung menuju ruang tamu kecil.
Ji Sixi melihat ayahnya dengan dingin mengembalikan tongkat golf ke tangan kepala rumah tangga, relung hatinya muncul kegelisahan tak jelas, tetap mengikuti ayah ke ruang tamu kecil.
Yang sama sekali tak terduga oleh Ji Sixi——baru saja masuk ke ruang tamu kecil, ayahnya sudah dengan suara beku berkata, “Xi, kau tidak boleh menikah dengan Lu Jingzhi.”
