“Xi...”
“Anda tahu, hal yang sudah aku putuskan, bahkan Anda pun tak bisa mengubahnya.” Ji Sixi bersikukuh.
Ayah Ji menghela napas. "Lalu apa yang ingin kau lakukan?"
"Aku akan membongkar kejahatan Lu Jingzhi di acara pernikahan." Jawab Ji Sixi langsung.
Ayah Ji terpana. "Xi, apa kau sedang bercanda?"
Ji Sixi memandangi ayahnya dengan tenang. "Ini bukan lelucon. Pernikahan adalah momen terbaik untuk membongkar kejahatannya sekaligus melindungi diriku."
Alis Ayah Ji berkerut, lalu tiba-tiba tersadar. "Maksudmu setelah kau menuduhnya di depan umum, dia tak berani membalas karena itu akan membuktikan kakakmu mati karena ulahnya?"
Ji Sixi mengangguk. "Sebenarnya setelah kejadian itu, dia juga tak akan menyentuh Anda dan Ibu. Tapi untuk amannya, lebih baik Bawa Ibu dan Sen Sen pergi..."
Ayah Ji terdiam.
Ji Sixi bertanya, "Ayah, apakah ini tidak tepat?"
Ayah Ji menatapnya beberapa detik sebelum berkata, "Membongkarnya di pernikahan memang cara brilian, tapi..."
"Ya?"
"Aku khawatir hatimu tak tega."
Kali ini giliran Ji Sixi yang terpana.
Ayah Ji memandangi kilatan air mata di pupil jernih anaknya. "Aku tahu akhir-akhir ini dia sangat baik padamu..."
Ji Sixi hendak bicara, tapi lehernya tiba-tiba tersekat.
Ayah Ji melanjutkan, "Mungkin perasaannya padamu tulus..."
“Di kepala Ji Sixi mulai terlintas kenangan setetes-demi-setetes selama dua bulan terakhir bersama Lu Jingzhi. Dada wanita itu dipenuhi kepedihan yang menusuk. "Meski perasaannya padaku tulus, lalu apa? Jika dia adalah pembunuh kakakku, aku takkan pernah berurusan lagi dengan orang seperti ini."
“Tapi urusan perasaan lebih mudah diucapkan daripada dilakukan……” Ayah Ji menghela napas penuh duka.
Ji Sixi menarik napas dalam-dalam, menahan sakit di hati. "Aku akan memutuskan, akan kuakhiri sampai tuntas……"
……
Setelah keluar dari ruang tamu kecil, Ibu Ji menggerutu, "Kalian berdua ayah-anak ini! Sering berbisik-bisik tanpa melibatkanku, seolah aku hanya akan mengganggu……"
Dengan wajah tenang, Ji Sixi memeluk lengan ibunya. "Jangan cemburu buta, Ibu tahu kan, ayah selalu sedih saat melepas anak perempuannya."
Baru kemudian Ayah Ji terhibur. "Sudahlah, karena suasana hatiku baik, aku ingin menikmati kalung zamrud hadiah dari menantuku ini……"
“Ya.”
Ji Sixi tersenyum menanggapi, tanpa menunjukkan kelainan sedikit pun.
……
Malam hari.
Lu Jingzhi kembali ke rumah.
Seperti biasa selama dua bulan ini, Ji Sixi menyambutnya di pintu.
“Kau pulang!”
Wajah cantiknya mendongak memandangi pria itu, pancaran manis memenuhi rautnya.
Tanpa mencium keanehan, Lu Jingzhi menunduk mengecup bibir merahnya yang lembut. "Urusan perusahaan akhirnya selesai… Setelah pernikahan nanti, kita langsung berbulan madu."
Ji Sixi menggandeng tangan Lu Jingzhi dengan bahagia, berkata riang, "Maka tujuan pertama kita ke Korea, aku mau belanja di sana sampai kartumu macet..."
Lu Jingzhi memanjakan dengan menggores hidung Ji Sixi, berujar, "Kalau kau bisa membuat kartuku macet, berarti kau sudah hebat!"
Ji Sixi mendongakkan wajah dengan manja, berkata nakal, "Ini katamu lho, akan kumacetkan!"
Lu Jingzhi hanya tersenyum tak mengindahkan.
Mereka memasuki restoran. Menghadapi calon mertua di meja makan, Lu Jingzhi bersopan, "Ayah, Ibu."
Wajah Ayah Ji mengeras, tapi karena memang tegas, tak terlihat aneh. Ia mengangguk.
Ibu Ji menyambut ramah, "Cepat duduk! Ada beberapa hidangan masakan Xi sendiri untuk makan malam!"
"Baik."
Setelah menjawab calon ibu mertua, Lu Jingzhi menoleh memandang tunangannya dengan lembut. "Kau masak sendiri?"
Ji Sixi menaikkan alis. "Kenapa, tak percaya kemampuan masakku?"
Lu Jingzhi menunduk mematuk bibir Ji Sixi, lalu berkata, "Aku tak lupa waktu itu ada yang bilang mau masakin aku, tapi akhirnya pelayan lapor kau hampir bakar dapur..."
"......" Ji Sixi tersipu, buru-buru menambahkan. "Itu sudah sebulan lalu! Bulan ini aku diam-diam belajar masak. Sekarang sudah setara Kak Li di dapur. Nanti kau cicipi..."
Tepat sudah sampai di meja makan, Lu Jingzhi terpaksa menundukkan kepala membisikkan di telinga Ji Sixi, "Jangan membuatku minum air sepanjang malam lagi, Nyonya Lu."
Ji Sixi tak tahan tertawa. "Kali ini tidak akan asin, Tuan Lu... Kali ini pasti memuaskan."
Lu Jingzhi tak kuasa mencium pipi Ji Sixi lagi, baru kemudian duduk di kursi makan. "Ayah, Ibu, makan makanan."
Ibu Ji melihat pasangan muda itu begitu mesra, tersenyum menganga, kemudian tetap menjaga keanggunan dan kelembutannya, "Jingzhi, hadiah yang kau berikan untukku dan ayahmu, sudah kami terima... Tak perlu menyebut betapa berharganya, tapi harus kukatakan kau sangat berperasaan."
"Asalkan Ibu dan Ayah menyukainya." Jawab Lu Jingzhi dengan penuh hormat.
Ibu Ji hendak membalas, tiba-tiba Sen Sen ikut campur dengan lugu, "Paman, Nenek sangat suka... Nenek tadi terus menghiasi kalung hijau pemberian Paman!"
Ucapan Sen Sen seketika membuat semua orang tertawa.
……
Malam hari.
Ji Sixi berbalik di ranjang, tak bisa tertidur.
Lu Jingzhi yang sudah agak tertidur, mengulurkan tangan memeluk erat Ji Sixi, suara bernada merdu terselip kemalasan bertanya, "Ada apa?"
Ji Sixi sebenarnya sangat ingin tertidur, karena dengan tertidur, bisa tak memikirkan apapun, sehingga otak tak akan terlalu lelah, hati pun tak akan begitu sakit...
"Tapi, setiap kali dia menutup mata, suara Chi Zhishen langsung mengelilingi pikirannya."
Membuat hatinya gelisah, sulit tenang.
"Aku sedang memikirkan acara pernikahan besok... Lagipula besok adalah hari terpenting dalam hidup kita, aku sangat tegang." Ji Sixi bersyukur masih bisa berakting baik saat ini.
Lu Jingzhi mencium dahinya dengan penuh kasih. "Jangan tegang, selama aku ada di sini bersamamu."
Ji Sixi mengulurkan tangan memeluk Lu Jingzhi, seperti setiap malam sebelumnya, bersandar di pangkuannya. "Aku sangat mencintaimu, Lu Jingzhi." Katanya dengan nada bahagia.
Lu Jingzhi menjawab, "Aku juga mencintaimu, Nyonya Lu." Setelah berkata demikian, ia mencium dahinya, seolah tak pernah cukup memanjakannya.
Ji Sixi memejamkan mata dengan puas, tapi tak ada yang tahu, saat ini hatinya seolah ditusuk pisau.
Orang yang dicintainya ternyata adalah setan berdarah dingin, dia hanya tahu mencapai tujuan dengan cara apapun...
Nyawa manusia di hadapannya hanyalah rumput liar, dia bisa membunuh orang lalu bersikap biasa saja...
Hatinya sungguh sakit. Saat ini dia ingin sekali mengarahkan senjata ke pelipisnya, persis seperti anak buahnya yang mengarahkan senjata ke pelipis kakaknya dulu, menuntut jawaban—mengapa dia membunuh kakaknya?
