Ketika Lu Jingzhi kembali ke kamar, Ji Sixi sedang berdiri di dekat jendela, tampak penuh arti.
Ia mendekatinya, melilit pinggangnya. "Ada apa?"
Ji Sixi menoleh memandang Lu Jingzhi, tatapannya menyiratkan kedalaman, tapi tetap bungkam.
Lu Jingzhi memutar tubuh Ji Sixi menghadapnya, bertanya lembut, "Kau masih memikirkan urusan anak?"
"Aku pernah berpikir untuk membantumu punya anak lagi." Ji Sixi menjawab sejujurnya.
“Bodoh.” Lu Jingzhi menunduk mematuk bibir merah lembut Ji Sixi. “Ini hutangku pada Keluarga Ji, harus kulunasi.”
Ji Sixi menunduk dengan muram, berkata, “Kuharap masih ada kesempatan meyakinkan Ayah.”
“Tak perlu kau membuat ayah mertua tak senang. Hasil sekarang sudah bagus.” Lu Jingzhi membelai lembut pipi Ji Sixi. Perlahan Ji Sixi mengangkat paras cantiknya, menatap Lu Jingzhi. “Kau tak pernah merasakan kehangatan keluarga sejak kecil, dulu kau bilang ingin punya banyak anak bersamaku agar rumah terasa hangat, Yi Xin tak kesepian... Jadi aku tahu saat kau berjanji pada Ayah——”
“Di relung hati, kau kecewa...”
Lu Jingzhi terdiam sejenak. “Tak kusangkal pernah kuucapkan itu. Tapi kini, yang terpenting adalah bisa bersamamu.” Ji Sixi berkata tegas, “Aku tahu kau peduli, tapi aku juga peduli. Kunikmati kebahagiaanmu. Lagipula... Yi Xin terlalu sepi, perlu saudari-saudari... Meski Sen Sen kakaknya, tapi bukan sedarah——”
“Pasti ada bedanya.”
Lu Jingzhi akhirnya tak bertahan. “Baik. Kau boleh coba ajak ayah mertua bicara, tapi jangan sampai ia tak senang.”
“Aku tahu.”
……
Keesokan harinya.
Bangun dari tidur, Ji Sixi melihat Lu Jingzhi di sampingnya masih tertidur. Dengan hati-hati ia menyibak selimut dan bersiap turun dari ranjang.
Tiba-tiba pinggangnya terikat kuat oleh lengan berotot yang menariknya mendekat ke tubuh pria itu.
Ji Sixi tahu si dia sudah sadar. Ia menepuk lengan Lu Jingzhi lembut. "Jangan nakal, Yi Xin semalam tidur sendiri. Aku mau melihatnya..."
Suara mengantuk Lu Jingzhi bergema, "Dia sudah besar, harus belajar tidur sendiri."
Ji Sixi memutar badan. "Sudah besar?"
Lu Jingzhi tak menjawab, matanya tetap terpejam.
Ji Sixi tak tahan mencubit lengan pria itu. "Hanya ayah kejam sepertimu yang menyuruh anak dua tahun tidur sendiri..."
Yi Xin belum genap dua tahun!
Lu Jingzhi malah mencium leher putih Ji Sixi. "Anak harus mandiri sejak dini."
Ji Sixi mendengus kecil. "Kau juga... egois."
"Egois?" Tampak tak puas dengan metafora itu, Lu Jingzhi memutar tubuh perempuan itu hingga berhadapan.
Ji Sixi menyesali tuduhannya. Firasatnya terbukti saat melihat mata Lu Jingzhi yang mulai terbuka meski masih mengantuk.
Mata yang gelapnya di saat baru terbangun ini kehilangan kelicikan dan ketajaman, saat ini tampak seperti anak lelaki lugu, menatapnya tanpa berkedip, terlihat sangat tidak puas.
Ji Sixi segera menenangkan, memaksakan senyuman, "Graaah! Aku tadi hanya sembarangan bicara... Kau benar, anak sudah besar, selalu harus mandiri."
Lu Jingzhi malah mengikat pinggulnya lebih erat, mengendalikannya hingga tak bisa bergerak, membisikkan di telinganya, "Aku memang egois, egois sampai bahkan tak mau diganggu anak kita..."
"..." Teringat semalam, setiap kali dia hampir tertidur, Lu Jingzhi kembali mengganggunya, terus-menerus, pipi Ji Sixi memerah hingga ke pangkal telinga. "Bulan-bulan lalu saat aku tak di dekatmu, bagaimana kau melewatinya..."
Begitu pertanyaan itu terucap, Ji Sixi langsung menyesal.
Dia merasa seharusnya tidak berdiskusi masalah seperti ini dengan manusia ini, ini benar-benar seperti menyerahkan diri.
Benar seperti dugaan——
"Cara aku melewati tahun-tahun sebelumnya, begitulah aku melewati bulan-bulan ini."
"Oh... Sebelum bertemu aku, ingat Pak Lu punya wanita di sisimu, jadi..."
"Wanita selalu suka membicarakan masa lalu."
"Kamu yang tadi menyebut masa lalu..."
"... Salahku."
"Kamu belum menjawab pertanyaanku..."
"Pertanyaan ini tak bisa dijawab, tapi stasiun TV pendidikan seks mungkin bisa memberimu jawaban, atau, biar aku peragakan."
"... Bajingan."
……
Karena harus membawa Sen Sen kembali ke Jerman, sore hari Lu Jingzhi menemani Ji Sixi ke Rumah Musim untuk menjemput Sen Sen.
“Ji Sixi meski melihat sikap ayah terhadap Lu Jingzhi sudah sangat berbeda dari sebelumnya, tapi memikirkan syarat ketat yang diajukan ayah, relung hatinya tetap merasa tidak nyaman. Maka saat Lu Jingzhi menerima telepon, Ji Sixi berkata pada ayahnya, "Ayah, aku ada urusan yang ingin kubicarakan berdua dengan Ayah."
Ayah Ji langsung menebak topik pembicaraan dari wajah putrinya. Tanpa menghindar, ia langsung pergi ke ruang kerja. Ji Sixi kemudian menyusul ke ruang kerja. Memandang bayangan tubuh ayahnya yang tegak berdiri di depan jendela kaca, ia berkata dengan lesu, "Ayah, aku tahu Ayah selalu menyalahkan Lu Jingzhi atas urusan kakak, tapi dia sudah berjanji merawat Sen Sen dan menjadikannya orang berbakat. Mengapa Ayah masih mengajukan syarat ketat untuk melarangnya
punya anak lagi denganku?"
Tatapan datar Ayah Ji tertancap ke kejauhan, ia berbicara dengan nada netral, "Jika kalian punya anak laki lagi, dia pasti akan mengabaikan perawatan Sen Sen."
"Tapi pernahkah Ayah mempertimbangkan kebahagiaanku?" Ji Sixi membalas bertanya dengan pilu.
Ayah Ji baru menoleh, memandang putrinya dengan tenang. "Jika aku tidak mempertimbangkan kebahagiaanmu, aku takkan pernah mengizinkanmu bersama Lu Jingzhi."
Ji Sixi kehabisan kata. Tatapan Ayah Ji perlahan kembali lembut. "Sudah, urusan ini ditetapkan seperti ini. Jika kau benar-benar merasa syarat Ayah pada Lu Jingzhi terlalu ketat, setelah kalian kembali ke Jerman, lakukanlah apa yang kalian inginkan sesuai keinginan hatimu. Hanya saja, mulai sekarang tak perlu lagi kau pulang
Lihat aku dan Mamamu……”
“Ayah……”
Ayah Ji tidak memberi kesempatan pada Ji Sixi untuk meyakinkan, dengan ekspresi datar langsung keluar dari ruang kerja.
……
Xiao K bekerja cepat, telah membawa hasil pada Lu Jingzhi.
Rupanya setelah Xiao K menyebarkan informasi akuisisi helikopter oleh Lu Jingzhi, respon langsung datang.
Saat ini sudah ada empat pemilik helikopter yang bersedia menjual, tiga lainnya belum muncul.
Meski tiga belum muncul, jangkauan ketiganya sudah ditetapkan, semuanya di Dubai.
Artinya, orang yang disebut Iblis sebagai Ayah angkat itu, mungkin berada di Dubai.
Namun setelah Xiao K melapor, Lu Jingzhi justru merenung, sepertinya masih meragukan keberadaan "Ayah angkat" di Dubai.
Xiao K tak mendapat perintah lanjutan, tak berani bertanya, hanya menahan napas menunggu.
Setelah sekitar satu menit, Lu Jingzhi baru menjawab, "Hubungi empat pemilik helikopter BUKAN dari Dubai, laporkan sikap dan reaksi mereka saat menjual."
Xiao K bingung, bertanya, "Pak Lu, bukankah investigasi harus fokus ke Dubai?"
"Tidak. Orang yang disebut Iblis 'Ayah angkat' ini PASTI BUKAN dari tiga yang enggan menjual." Jawab Lu Jingzhi.
Meski tak sepenuhnya paham, Xiao K tahu bosnya tak pernah salah, buru-buru menjawab, "Hamba segera urus."
"Ya."
Saat Lu Jingzhi mengakhiri telepon, kebetulan Ji Sixi berjalan menghampirinya. Ia menyimpan ponselnya sambil tersenyum, bertanya, "Bagaimana hasil bicaramu dengan ayah mertua?"
Ji Sixi terkejut, "Kau tahu aku baru saja berbicara dengan Ayah?" Lu Jingzhi menyelipkan kedua tangannya ke saku celana dengan sikap elegan, memandangnya tenang. Senyum tipis mengembang di bibirnya, "Sebenarnya sengaja ke ruang tamu kecil untuk menerima telepon, ingin memberimu kesempatan seperti ini."
