Beberapa hari ini setiap kali menemani Sen Sen dan Yi Xin bermain di taman, Ji Sixi jadi ingin menanam bunga-bunga.
Pada hari ini, memanfaatkan mentari yang tidak terlalu menyengat, Ji Sixi menyuruh kepala rumah tangga membeli beberapa bibit bunga, lalu di sudut taman bersama dua anaknya menanam tanaman.
Sen Sen bertugas menyiram air, Yi Xin bertugas menggemburkan tanah dengan sekop kecil, sementara dia sendiri yang menanam benih.
Ketiganya bekerja sampai berkucuran keringat, namun tetap menikmati prosesnya.
Tiba-tiba, kepala rumah tangga bertanya, "Nyonya, Nona Yixin di mana?"
Ji Sixi yang asyik menanam biji baru tersadar, putri kesayangannya sudah tak terlihat. Ia segera meletakkan kantong biji, "Sen Sen, kau lihat adik perempuanmu?"
Sen Sigera menunjuk ke pohon mawar di belakang.
"Sepertinya dia lagi main petak umpet dengan aku." Ji Sixi menggeleng sambil tersenyum, lalu berjalan ke arah pohon mawar.
Namun saat melewati dua pohon mawar, tiba-tiba Ji Sixi terpana.
Rupanya ada hamparan bunga lili di sini.
Saat ini Lu Yixin terpesona oleh bunga-bunga itu, berjongkok dengan tubuh mungilnya, tangan gemuknya berusaha keras memetik sekuntum lili.
Kepala rumah tangga yang mengikuti dari belakang melihat ekspresi terkejutnya, berkata tenang, "Seharusnya sudah kusuruh orang mencabut bunga lili ini. Tapi melihat mekarnya yang indah, sayang kalau dibuang."
Ji Sixi menoleh dan bertanya pada kepala rumah tangga, "Mengapa harus dicabut?"
Kepala rumah tangga ragu sejenak, baru kemudian berkata, "Tuan Lu pernah mengatakan padaku, bunga lili ini ditanam untuk orang yang disukainya."
Orang yang disukai?
Apakah itu Su Mo?
Dia tak pernah bilang pada Lu Jingzhi bahwa dia suka lili, lagipula bunga kesukaannya bukan lili.
"Ini ditanam beberapa tahun yang lalu?" Ji Sixi lalu bertanya.
"Ya, Nyonya." Kepala rumah tangga menjawab jujur.
Rupanya memang ditanam untuk Su Mo.
Ji Sixi menghela napas dalam relung hatinya, lalu memandangi hamparan bunga lili ini.
Meski dia tidak punya penelitian tentang bunga, bunga lili ini berbeda dari lili biasa yang sering dilihat, terlihat lebih besar, warnanya lebih putih, seharusnya jenis yang sangat mahal, dan mungkin sulit diurus.
Sepertinya Lu Jingzhi sejak awal benar-benar menyukai Su Mo, jika tidak dengan karakternya, bagaimana mungkin ia melakukan HAL ROMANTIS seperti ini?
Walau kemudian Lu Jingzhi pernah bilang padanya, perasaannya pada Su Mo hanyalah sesuatu yang melekat, seseorang yang tak pernah mendapat kehangatan, setiap kali hanya bisa mengandalkan kenangan akan kehangatan yang diberikan Su Mo dulu untuk merasakan niat baik dunia ini, namun Su Mo tetap duri yang tetap menusuk relung hatinya.
Karena, dulu ia pernah menaruh perasaan pada Su Mo dengan sangat histeris.
Saat itu, untuk memisahkan Shan Yan dan Su Mo, ia berani mengirimnya mendekati Shan Yan, kemudian demi Su Mo, bahkan berani saling berhadapan dengan Shan Yan...
Meski akhirnya Su Mo meredam situasi konfrontasi itu, itu pun karena Su Mo sakit.
“Jika saat itu Su Mo tidak sakit, mungkin Lu Jingzhi dan Shan Yan benar-benar akan saling berhadapan sampai akhir...”
Sebenarnya, seperti apa perasaan yang ia rasakan terhadap Su Mo?
Dulunya dia juga berpikir bahwa ia hanya ingin kembali memiliki kehangatan yang pernah Su Mo berikan, tapi apakah ini hanyalah kata-kata penghiburan untuk dirinya sendiri karena ingin bersamanya?
Keraguannya ini, apakah menandakan bahwa sebenarnya dia lebih percaya bahwa perasaannya pada Su Mo hanyalah cinta murni pria terhadap wanita?
“Ah...” Ji Sixi menghela napas perlahan.
Kepala rumah tangga yang mendengar, buru-buru menjawab, “Nyonya jangan overthinking, kita semua bisa melihat betapa Tuan Lu memperhatikan Nyonya... Jadi jangan dipikirkan lagi masa lalu Tuan, karena semuanya sudah berlalu.” Ji Sixi harus mengakui ucapan kepala rumah tangga itu benar. Meski hatinya bergejolak melihat hamparan bunga lili ini—ternyata dulu Lu Jingzhi pernah menanamnya untuk Su Mo—membuktikan bahwa di hati Lu Jingzhi, Su Mo sesuci bunga lili, dia tetap berusaha keras memulihkan
ketenangan danau, karena ini memang sudah menjadi sejarah...
Sekalipun dulu perasaan Lu Jingzhi pada Su Mo adalah cinta, sekarang yang ia cintai adalah dirinya. Hal-hal masa lalu tak perlu lagi dipermasalahkan...
Akhirnya, Ji Sixi tersenyum lega, “Biarkan saja hamparan lili ini... Terlalu indah untuk dicabut.”
Kepala rumah tangga tahu ini serius, mengangguk, “Kalau begitu setiap malam saya akan memetik setangkai untuk hiasan ruang tamu, aromanya sangat segar!”
“Baik.”
Ji Sixi seketika berjalan ke samping Lu Yixin, mengangkat Nakal kecil yang sudah susah payah memetik sekuntum bunga lili. "Bukannya Mama sudah bilang? Jangan berkeliaran sendirian." Teguran Ji Sixi lebih terasa seperti kepedulian.
Lu Yixin mengibaskan bunga lili, berseru riang, "Mama... bunga... indah."
Ji Sixi menatap lili, namun seolah melihat kecantikan Su Mo di kelopaknya, tersenyum. "Ya, cantik."
……
Siang itu, Lu Jingzhi baru saja memasuki vila, Lu Yixin sudah berlari menghampirinya.
Melihat putri kesayangan, wajah Lu Jingzhi merekah penuh kasihan. Ia membungkuk mengangkat si Nakal kecil. "Ayah akan menciummu."
Lu Yixin memeluk leher Lu Jingzhi, menyodorkan wajah. Setelah mendapat ciuman ayah, ia menunjuk buket lili segar di vas ruang tamu. "Ayah, aku petik... bunga..."
Rupanya Lu Yixin ingin memberitahu ayahnya bahwa ada bunga yang dipetiknya dalam buket itu.
Lu Jingzhi memandang buket lili, alisnya berkerut. Matanya menyapu sekeliling, tak menemukan bayangan cantik yang diharapkan. "Mana Mama?"
"Tidur." Jawab Lu Yixin.
Mendengar itu, kening Lu Jingzhi semakin berkerut. Ia meletakkan Lu Yixin perlahan. "Sayang, mainlah dengan Kakak..."
"Ya." Lu Yixin berlari gembira.
Saat itu Lu Jingzhi memanggil kepala rumah tangga. "Apakah Sixi hari ini mengajak dua anak bermain di taman?"
Kepala rumah tangga melihat ekspresi Lu Jingzhi agak aneh, menjawab dengan nada hati-hati, "Ya, Tuan Lu..."
Tatapan dingin Lu Jingzhi tertuju pada kepala rumah tangga. "Urusan bunga lili kau yang banyak mulut?"
Kepala rumah tangga menundukkan kepala, segera menjawab, "Saya kira ini tak penting."
Bagaimanapun ini orang yang dikirim Dark Angel, mengerti bahwa kejujuran adalah penjelasan terbaik bagi Lu Jingzhi.
Wajah Lu Jingzhi seketika memucat pasi.
Kepala rumah tangga segera menambahkan, "Tapi ketidaknyamanan Nyonya bukan karena melihat bunga lili pagi tadi... Sebenarnya, saat saya mengusulkan untuk mencabut bunga lili itu, Nyonya malah bilang pemandangan ini indah dan menyuruh saya biarkan."
Kening Lu Jingzhi yang berkerut mulai mengendur, bertanya, "Sixi sakit bagian mana?"
Kepala rumah tangga melapor jujur, "Pagi tadi setelah kembali dari taman, Nyonya mengeluh sedikit pusing..."
"Tidak panggilkan dokter?"
Kepala rumah tangga menggelengkan kepala, berkata tegas, "Nyonya bilang tidak apa-apa, istirahat sebentar saja."
Lu Jingzhi segera melangkah menuju lantai dua.
……
Saat Lu Jingzhi tiba di kamar, Ji Sixi sedang tidur, tapi tidurnya sangat ringan. Begitu mendengar langkah Lu Jingzhi, dia langsung terbangun.
"Kau pulang ya..."
Ji Sixi memandangi Lu Jingzhi, berkata lembut.
Lu Jingzhi melepas mantel jas, duduk di tepi ranjang. "Kepala rumah tangga bilang kau tidak enak badan?" Sambil berkata, dia mengulurkan tangan untuk meraba dahinya.
Ji Sixi perlahan menggelengkan kepala, lalu menggenggam tangan Lu Jingzhi. "Aku baik-baik saja..."
Tidak merasakan suhu tinggi di dahi Ji Sixi, Lu Jingzhi baru membiarkan Ji Sixi menggenggam tangannya, menyipitkan mata, berkata tulus, "Tak ada alasan kenapa tiba-tiba tidak nyaman... Kepala rumah tangga bilang kau juga tak mau ke dokter, begini aku jadi khawatir."
Ji Sixi mencium telapak tangan Lu Jingzhi, dengan nada bicara lembut berkata, "Karena aku tahu aku tidak sakit, hanya terkena efek samping obat."
"Obat?" Lu Jingzhi mengerutkan alisnya, "Maksudmu pil kontrasepsi?"
Ji Sixi mengangguk, "Ke depannya aku tak mau minum obat ini lagi, tak kusangka efek sampingnya begitu besar... Bangun pagi langsung pusing, sempat kukira hanya kurang tidur, ternyata semakin lama kepala semakin berat."
Lu Jingzhi seketika membungkus tangan Ji Sixi, mencium punggung tangannya yang putih perlahan. "Maaf, membuatmu menderita..." "Apa omong kosong yang kau ucapkan..." Ji Sixi menegur dengan lembut. "Kita suami-istri, ke depannya tak perlu lagi mengucapkan permintaan maaf."
