Chi Zhishen menggeleng, “Aku ingat suatu kali mengobrol dengan ibumu, dia bilang golongan darahnya B, dan kakakmu O... Lalu, bagaimana mungkin mereka punya anak bergolongan A sepertimu?”
Ji Sixi seketika membeku.
Berdasarkan pengetahuan medis dasar, pasangan golongan darah B dan B hanya akan menghasilkan anak bergolongan darah B atau O, memang tak mungkin punya anak bergolongan A...
“Apakah dokter yang salah?” Ji Sixi bertanya dalam kebingungan.
“Secara logika dokter tak mungkin salah, lagipula ini Rumah Sakit Jiang Group yang terkenal ketelitiannya,” jawab Chi Zhishen.
Ji Sixi mulai merenung dalam-dalam.
“Dia jelas bergolongan darah A, karena baik saat pemeriksaan di universitas maupun saat melahirkan Yi Xin, hasil tesnya selalu A. Jadi dia tak mungkin salah, Rumah Sakit Jiang Group juga tak mungkin keliru. Apakah mungkin Mama yang keliru?”
“Mungkin Mama salah ingat. Nanti aku akan tanya lagi pada Mama. Seharusnya ini hanya kesalahan... Atau jangan-jangan aku memang bukan anak kandung Ayah dan Ibu?” Ji Sixi berkata dengan nada mengejek.
“Aku hanya ragu saja. Kau pasti anak Paman dan Bibi. Wajahmu sangat mirip dengan Bibi...” Chi Zhishen tersenyum.
Ji Sixi dengan santai menjawab, “Nanti akan kucari tahu golongan darah ibumu!”
……
Malam itu di apartemen, teringat percakapan dengan Zhishen siang hari, saat Ibu Ji sedang membuat sup untuk Ayah Ji esok hari, Ji Sixi menuangkan segelas air lalu bertanya, “Bu, golongan darah Ibu apa?”
“Ngapa tanya-tanya begitu?” Ibu Ji menoleh memandangnya.
Ji Sixi menjulurkan lidah, “Ya sudah, kalau tidak tahu tak perlu dijawab.”
Ibu Ji tersenyum, “Sudah besar begini masih suka bertanya aneh-aneh seperti Sen Sen...”
Ji Sixi nakal menjulurkan lidah lagi. “Aku istirahat dulu.”
Ibu Ji mengangguk, “Pergilah... Dua hari ini merawat Ayahmu, kau pasti lelah.”
Ji Sixi sedang bersiap-siap naik ke lantai atas, tiba-tiba Kakak Qin datang dari ruang tamu. Kebetulan mendengar topik yang mereka bahas tadi, Kakak Qin berkata, "Xi, Kakak Juan golongan darah B lho... Aku ingat waktu itu Kakak Juan sakit, dokter melakukan tes laboratorium untuknya, aku lihat hasilnya golongan darah B..."
Rupanya Kakak Qin mengira Ji Sixi ingin mengetahui golongan darah ibunya untuk suatu keperluan. Tanpa disengaja dia menambahkan, "Tapi tak disangka, begitu kata-katanya selesai, Ibu Ji langsung memberinya tatapan penuh makna.
Kakak Qin seketika diam seribu bahasa, fokus mengawasi api di bawah panci sup.
Ji Sixi yang selalu teliti sudah menyadari komunikasi mata antara Ibu Ji dan Kakak Qin. Keraguan mulai menggelayut di relung hatinya.
Mengapa Mama begitu sensitif dengan urusan ini?
Kakak Qin hanya sekadar menyebutkan, tapi Mama terlihat sangat tidak nyaman...
Jangan-jangan memang ada masalah?
Namun di detik berikutnya, Ibu Ji langsung menghapus keraguan dalam hati putrinya.
Dengan nada kesal, Ibu Ji mengeluh, "Kakak Qin ini benar-benar! Aku kan jelas-jelas golongan darah A, dia malah ingatnya B. Agak pikun nih... Kalau aku B, mana mungkin aku bisa melahirkan kau yang golongan darah O?"
"Ma, jadi Mama golongan darah A atau B sih?" gumam Ji Sixi lirih.
"Tentu saja A! Siapa yang bilang aku golongan darah B?" jawab Ibu Ji dengan nada kesal.
Ji Sixi menunduk minum air, lalu berbisik kecil, "Kau sendiri malah bilang ke Zhishen golongan darahmu B, sampai-sampai aku meragukan apakah aku benar anak kandungmu…"
Mendengar itu, Ibu Ji mencubit lengan Ji Sixi. "Gadis ini bukan anakku lalu anak siapa? Mungkinkah orang asing memiliki kemiripan fisik sepertimu?"
"…" Ji Sixi mengangkat kepala, membuat ekspresi manja kekanakan. "Ibu, aku salah…"
Ibu Ji melotot. "Cepat tidur! Ibu masih harus masak sup!"
Ji Sixi patuh meninggalkan dapur menuju kamar.
Setelah Ji Sixi pergi, Ibu Ji membeku di tempatnya lama, baru tersentak saat mendengar suara air sup mendidih.
……
Kembali ke kamar, Ji Sixi memandang ruangan yang hampa, tiba-tiba merindukan Lu Jingzhi. Ia mengeluarkan ponsel dan meneleponnya.
Ia tahu Lu Jingzhi sedang bekerja, seharusnya tidak mengganggu. Tapi karena perbedaan zona waktu, hampir tidak ada kontak selama dua hari ini. Kerinduannya akhirnya mengalahkan pertimbangan itu.
"Aku baru mau telepon, takut kau sudah tidur…" Suara Lu Jingzhi penuh kasih segera menyambut.
"Berarti kau juga merindukanku?" Ji Sixi menyandar di tepi ranjang, bergumam manis.
"Kau rasa?" balas Lu Jingzhi bertanya.
“Ji Sixi menggigit bibir bawahnya dengan lembut, menahan kebahagiaan yang tak terkendali di dalam hatinya. “Kalau begitu… Bukankah kau seharusnya sedang sibuk sekarang? Kok ada waktu menelepon aku?”
“Apakah ada urusan yang lebih penting dari istri sendiri?” Suara Lu Jingzhi terdengar santai, sepertinya ia sedang menyandarkan diri di sandaran kursi.
Ji Sixi merasa relung hatinya disuntik madu, penuh dengan kehangatan saat ini. “Ayah sudah pulih banyak setelah dua hari ini, dokter bilang lusa bisa pulang ke rumah untuk istirahat. Jadi aku bisa kembali ke Berlin tiga hari lagi… Tapi aku masih ingin tinggal beberapa hari di sini, menemani mereka.”
“Oh.”
“Apa maksud ‘Oh’ ini?” Ji Sixi bergumam bertanya.
“Artinya aku ingin kau cepat kembali, tapi jika kau ingin lebih lama menemani keluargamu, menurutku itu juga seharusnya.” Jawab Lu Jingzhi dengan nada bicara yang gamblang.
“Waktu yang kuhabiskan bersama Ayah dan Ibu akan semakin sedikit, sedangkan kita punya seumur hidup. Jadi… meski aku juga sangat merindukanmu, aku benar-benar ingin tinggal lebih lama.”
“Baik, kalau begitu tidur lebih awal.”
“Graaah…” Ji Sixi sama sekali tidak berniat menutup telepon.
Lu Jingzhi terhenti, “Ada apa?”
Ji Sixi bergumam lirih, “Kau sepertinya sudah lama tidak mengucapkan tiga kata itu padaku… Kecuali saat pernikahan dulu.”
Lu Jingzhi tertawa pendek, lalu berkata dengan tatapan penuh kasih dan sungguh-sungguh, “Aku mencintaimu, Istri.”
Jika sebelumnya Ji Sixi masih gelisah tentang perasaan Lu Jingzhi padanya, maka saat mendengar tiga kata ini, hatinya tiba-tiba menjadi lebih tenang.
Ya, dia tak percaya bahwa ia tak mencintainya namun bisa menunjukkan secercah perasaan yang begitu tulus...
Setidaknya, suara bernada merdu yang keluar langsung dari mulutnya benar-benar membuatnya tersentuh...
Matanya bahkan sedikit memerah, di relung hati berdoa, berharap ia tak pernah membohonginya...
Menutup matanya sebentar, Ji Sixi membalas tatapan penuh kasih Lu Jingzhi, "Aku juga mencintaimu, Lu Jingzhi."
Lu Jingzhi tersenyum puas, "Tak boleh nangis, kalau tidak, di kemudian hari kalimat seperti ini takkan kukatakan lagi..."
"Aku mana nangis..." Kenapa bahkan haru pun tak diizinkan, benar-benar arogan. "Istri, selama berpisah denganmu beberapa hari ini, aku benar-benar tak nyaman... Saat kembali nanti aku akan menjemputmu, aku ingin cepat bertemu." Akhirnya, Lu Jingzhi berkata dengan sangat tulus dan memanjakan.
