Mendengar itu, Lu Yixin menunduk kecewa. "Aku tahu... Bibi Situ bilang, Ayah dan Mama sudah bercerai, jadi tak bisa lagi hidup bersama..."
"Bibi Situ?" Situ Jing?
Lu Yixin baru mengangkat pandangannya, berkata tulus, "Aku tak suka Bibi Situ. Tapi Bibi Situ adalah pacar Ayah..." Matanya kembali memancarkan kekecewaan.
Rupanya Lu Jingzhi benar-benar mengumumkan perceraian mereka ke publik... Selama setahun di Selandia Baru ini, dia sama sekali tak mengikuti berita dari Jerman atau dalam negeri.
Ji Sixi mengusap lembut kepala mungil Lu Yixin yang diikat kuda-kuda, bertanya lembut, "Mengapa Xin Xin tak suka Bibi Situ?"
"Karena aku hanya mau Mama..." Lu Yixin memeluk Ji Sixi erat, matanya menunjukkan kerinduan yang mendalam.
Ji Sixi tak menyangka anak tiga tahun bisa memiliki ingatan sebaik ini. Dia mengira sang anak sudah melupakannya...
Tapi sang anak bisa mengenalinya hanya dari suaranya... Dia benar-benar merasa lega.
“Xin Xin, kalau Bibi Situ memang pacar Ayahmu, kau harus tetap sopan padanya, paham?” Ji Sixi mengingatkan dengan nada penuh kasih.
Lu Yixin mengangguk, berkata tulus, “Mama, aku tidak kurang ajar pada Bibi Situ. Meski aku tidak suka padanya, aku tak pernah bilang ke Ayah…”
“Sayang.” Ji Sixi tak tahan mencium dahi Lu Yixin. “Ingat, selama kau baik pada Bibi Situ, dia pasti akan menyayangimu juga.”
Dia sangat paham, Lu Yixin bukan anak kandung Situ Jing. Jika si kecil bertingkah di hadapannya, itu hanya memberi alasan bagi Situ Jing untuk tak mengasihinya.
Lu Yixin menjawab penurut, “Aku mengerti, Mama.”
Melihat wajah lugu sang anak yang justru begitu pengertian, Ji Sixi merasakan kepedihan yang tak terkira…
Dirinya bukan ibu yang baik. Melahirkannya tapi tak pernah merawatnya dengan semestinya. Beruntung Tuhan membuat sang anak tetap ceria, aktif, dan penuh pengertian…
……
Saat kau ingin waktu berhenti, justru ia berlalu paling cepat…
Dua jam berlalu dalam sekejap. Mobil Lu Jingzhi sudah berhenti di seberang toko es krim. Xiao K berdiri di samping pintu mobil belakang menanti mereka, seolah mendesak perpisahan ini segera terjadi.
Ji Sixi tahu cepat atau lambat harus berpisah, menunda-nunda hanya akan memperberat rasa tak teganya pada anak. Maka, saat mobil muncul, dia langsung merayu anaknya, "Xinxin, kau harus patuh mendengarkan Ayah dan Bibi Situ... Mama akan sering datang menemuimu..."
"Mama tidak bohong?" Lu Yixin memiringkan kepala, berkata serius.
Ji Sixi menjawab dengan nada berjanji, "Mama jamin... Asalkan Mama ada waktu, Mama pasti pulang ke negeri untuk menemuimu."
"Baiklah..."
Ji Sixi mengira si anak sudah tenang, tak disangka Lu Yixin tiba-tiba mengulurkan tangan memeluknya, menempel erat di kedua kakinya, berkata pilu, "Mama, aku akan sangat merindukanmu..."
"Sayang." Ji Sixi kembali menitikkan air mata, "Mama juga akan sangat merindukanmu."
Lu Yixin mendongak, memandangi Ji Sixi dengan wajah memelas, "Kalau begitu, Mama, bolehkah aku meneleponmu?"
Mengingat dirinya tak bisa lagi hidup dengan identitas "Ji Sixi", dengan pasrah dia menggelengkan kepala, "Sayang, Selandia Baru dan Jerman jaraknya sangat jauh, sinyal tidak sepanjang itu. Jadi meski kau menelepon Mama, Mama tidak bisa menerimanya..."
Tak ada yang tahu, betapa pedih hatinya saat harus membohongi anak sendiri.
Walau sangat penurut, Lu Yixin tetap anak berusia tiga tahun yang polos, langsung percaya, "Mama, kalau begitu pasti harus sering datang ya... Aku juga akan suruh Ayah mencari cara memperpanjang sinyal, supaya bisa menelepon Mama..."
“Baik...” Ji Sixi tak bisa mengontrol, kembali menitikkan air mata.
Lu Yixin memeluk erat-erat Ji Sixi, tak tega melepaskan pelukannya.
Ji Sixi memeluk Lu Yixin cukup lama, baru kemudian mengangkatnya dan berjalan menuju mobil.
……
Kaca belakang mobil berwarna hitam legam, tak terlihat isi dalamnya. Hanya samar-samar terlihat siluet seseorang duduk bersandar sambil menutup mata dengan wajah kaku.
Dari sikapnya, sepertinya ia tak berniat bernegosiasi dengannya.
Ji Sixi seketika diliputi keraguan...
Bagaimana mungkin ia sengaja membawa anak untuk menemui dirinya?
Namun setelah Xiao K membukakan pintu mobil, Lu Jingzhi membuka matanya tetap tanpa menunjukkan niat bernegosiasi, hanya dengan penuh kasih mengikat sabuk pengaman untuk Lu Yixin.
Takut dirinya akan ragu, Ji Sixi buru-buru melambaikan tangan pada Lu Yixin. "Xinxin, pamit sama Mama!"
Xinxin melambaikan tangan patuh, tapi air matanya berderai. "Mama, pasti datang menjengukku ya!"
Mendengar suara menderita namun berusaha kuat sang anak, dada Ji Sixi terasa pedih. "Kamu harus patuh, Mama mencintaimu."
Ya, ia tetap tak berjanji pasti akan kembali pada anaknya, karena sadar itu mustahil...
Lu Yixin merebahkan diri di jendela mobil, mulai terisak.
Menyaksikan adegan ini, hati Ji Sixi seolah ditusuk pisau, namun hanya bisa berpamitan dengan mata berkaca-kaca...
……
Dalam perjalanan mobil menuju bandara khusus tempat pesawat pribadi parkir, Xiao K melihat Lu Yixin sudah tertidur, berbisik, "Pak Lu, Nona Yixin masih terlihat sangat lengket pada Nona Ji... Melihatnya menangis hingga kelelahan dan tertidur, sungguh membuat hati tersayat."
Lu Jingzhi yang sedang menutup matanya dengan wajah kaku untuk beristirahat, membuka bibirnya dengan datar, "Jika bukan karena harus membawa Yi Xin ke sini, aku tak akan mengizinkannya bertemu dengannya lagi."
Xiao K mendengar, bertanya dengan bingung, "Pak Lu, apakah hubungan membawa Nona Yixin ke sini dengan Qin Housheng?"
Lu Jingzhi tiba-tiba membuka matanya, sorot mata dingin, berkata dengan nada datar, "Ini baru langkah pertama untuk memancing Qin Housheng keluar."
Xiao K masih setengah paham, tapi tahu betul Lu Jingzhi tak pernah melakukan hal tanpa keyakinan, sehingga tidak banyak bertanya lagi, hanya berkata, "Mohon maaf hamba lancang... Pak Lu, saya perhatikan Nona Ji sudah berubah 180 derajat dari masa lalu."
Bibir tipis Lu Jingzhi terkunci rapat, tidak bersuara.
Xiao K melanjutkan, "Dulu Nona Ji selalu sopan dan periang, tapi sekarang kesan yang dia berikan seperti menjaga jarak ribuan li dengan sikap dingin menusuk..."
"Sejak kapan kau jadi banyak mulut!" Melempar kalimat itu, Lu Jingzhi kembali menutup matanya.
Xiao K seketika tak berani bicara lagi.
……
Dalam perjalanan kembali ke studio, Ji Sixi terus berada dalam kondisi linglung.
Dia tak tega meninggalkan anaknya, tapi tak bisa berbuat apa-apa...
Pada detik ini, dia hanya bisa diam-diam mengalirkan air mata, dalam relung hati meminta maaf pada anaknya...
Ponsel terus berdering, lama sekali baru dia tersentak, mengeluarkan ponsel dari tasnya.
Melihat di layar ponsel yang terpampang nomor telepon iblis, dia sedikit menyesuaikan perasaan, baru kemudian menekan tombol penerimaan. "Halo..."
"Kau bertemu Lu Jingzhi?" Nada suara iblis agak dingin.
"Kau sengaja mengalihkan topik." Dia tahu iblis selalu setia menyuruh orang melindunginya, jadi jelas dengan setiap gerak-geriknya.
"Aku tidak marah, hanya khawatir dia berniat jahat atau punya maksud tersembunyi..." Iblis segera menyesuaikan nada bicara, berlembut mengatakan. "Aku tahu, aku juga mencurigai ini, tapi dia sudah keluar dari sini..."
