"Dia sudah pergi?" Iblis terkejut.
"Iya." Ji Sixi menoleh melihat ke belakang, menyadari mobil Lu Jingzhi memang sudah tak terlihat lagi dalam pandangannya.
"Dia sengaja mengantar Yi Xin untuk berkumpul denganmu?" Nada bertanya penuh keraguan iblis kembali terdengar.
"Sejauh ini iya, tapi kurasa dia tidak tulus, pasti ada agenda lain. Hanya saja aku tak bisa menebak apa yang mau dilakukannya." Ji Sixi berkata dengan datar. Ya ampun, betapa pedih hatinya saat ini, dia benar-benar berharap bisa selalu menemani Yi Xin.
"Apapun niatnya, intinya aku sudah tak bisa mempercayai keselamatanmu di Selandia Baru... Begini, aku akan segera berangkat menjemputmu. Hanya dengan membawamu ke sisiku, aku bisa tenang." Kata iblis.
Ji Sixi seperti baru tersentak, suaranya membeku sesaat. "Maksudmu aku harus menyerah bekerja di Selandia Baru?"
"Ya. Awalnya pekerjaan ini juga hanya kuberikan agar kau ada kesibukan. Kini jejakmu sudah terbongkar, lebih baik kubawa kau bersamaku..." Iblis berkata tulus.
“Tapi studio ini sudah kusertai dengan darah hatiku, aku tak mau menyerah…” Ji Sixi melaporkan sejujurnya.
“Aku tahu, tapi aku benar-benar tak tega membiarkanmu tinggal lebih lama di Selandia Baru, apalagi jejakmu sudah terbongkar… Mengingat kita sebentar lagi akan menikah, lebih baik kau segera datang ke sisiku.” Iblis berbisik penuh kasih.
Ji Sixi tiba-tiba terdiam.
“Ada apa?” tanya Iblis.
Baru kemudian Ji Sixi berkata, “Aku tahu pertimbanganmu benar, tapi untuk meninggalkan pekerjaanku sekarang, sungguh sayang…”
“Xi…” Iblis hendak membujuk.
Di luar dugaan, Ji Sixi memotong ucapan Iblis, “Sudah, tak perlu dijelaskan lagi. Aku pahami semua maksudmu, aku akan menurut.”
Iblis terkejut, suaranya berseri-seri, “Kau benar-benar mau mendengarkanku?”
Ji Sixi langsung kesal, “Kau pikir aku tak tahu betapa liciknya Lu Jingzhi? Sekarang dia seolah hanya mengajak Yi Xin menemuiku, siapa tahu apa pedang tersembunyi di baliknya? Aku tak akan lagi terjebak skenarionya!”
“Baik, aku segera berangkat menjemputmu. Suruh Paman dan Bibi bersiap-siap. Studionya tak usah kau pedulikan, akan kusuruh orang memberi tahu asistenmu.”
“Ya, aku langsung pulang sekarang.”
“Baik, hati-hati di jalan… Meski pengawasku melindungi kau, tapi kau sendiri juga harus waspada.” Iblis menasihati dengan penuh perhatian.
“Ya.”
……
Pasangan Ji merasa sedih mengetahui dalam belasan jam lagi mereka harus meninggalkan kota kecil Selandia Baru yang sudah mulai mereka adaptasi.
Ji Sixi melihat ekspresi kecewa orang tuanya, menghiburnya, “Aku tahu yang paling kalian khawatirkan adalah Sen Sen tidak bisa beradaptasi di lingkungan baru, tapi aku yakin, Yong pasti sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Jadi tenang saja, lingkungan baru kita pasti lebih baik dari sini.”
Ibu Ji menghela napas pasrah, “Entah dosa apa yang kita perbuat di kehidupan sebelumnya, sampai membuat Xi bertemu brengsek itu di hidup ini…”
“Sudah, cepatlah membereskan barang-barang… Iblis itu benar, kemunculan Lu Jingzhi pasti bukan hal sederhana, lebih baik kita waspada.” Kata Ayah Ji.
Ibu Ji mengangguk, lalu segera pergi membereskan koper.
“Aku juga akan bantu Ibu membereskan!” Ujar Ji Sixi.
Tak disangka, Ayah Ji tiba-tiba memanggilnya, “Xi…”
Ji Sixi menoleh, menangkap ekspresi rumit di wajah ayahnya. Baru saat itu ia menyadari bahwa ayah sengaja menjauhkan ibu tadi.
“Ayah, ada apa?” Tanya Ji Sixi.
Secara tak terduga, Ayah Ji menyodorkan sebuah kotak kecil persegi empat yang mungil kepada Ji Sixi.
Ji Sixi menerima kotak itu sambil bertanya ragu, “Ini apa?”
Ayah Ji berkata, “Buka dulu.”
Ji Sixi mengerutkan alisnya. Perlahan ia membuka pita kupu-kupu di kotak itu. Detik berikutnya, matanya menangkap kilau berlian sebuah kalung yang sedikit berubah bentuk namun memancarkan pesona retro. Meski usianya sudah puluhan tahun, kemilau intannya tetap gemilang.
Jari-jari ramping Ji Sixi mengangkat kalung itu perlahan, “Ayah, kalung ini…”
“Ini adalah barang ibumu.” Ayah Ji akhirnya berkata.
Mendengar itu, Ji Sixi refleks menoleh, memandangi ayahnya dengan terkejut. “Ayah…” Suaranya tiba-tiba parau, tersekat sejenak sebelum melanjutkan, “Apa… ini kalung ibu?” Dia tahu yang dimaksud ayahnya sebagai "ibu" saat ini adalah Xinyue.
Ayah Ji mengangguk, berkata serius, “Dulu ini adalah surat bukti cinta Qin Housheng untuk ibumu. Ibumu selalu mengenakannya tanpa pernah melepasnya.”
Tatapan Ji Sixi membeku. Setelah lama baru dia berkata, “Ayah, bukankah Ayah dan Ibu bilang tidak punya barang peninggalan ibu di sini?”
“Kami memang tidak menyimpan barang peninggalan ibumu. Jadi kalung ini bukan kami yang menemukannya.” Ayah Ji menjelaskan.
Ji Sixi bingung, “Lalu…”
Ayah Ji berkata, “Ini kutemukan hari ini di inbox email... Tidak tahu siapa yang mengirim paket ini. Awalnya kukira alamatnya salah, soalnya kami sudah tidak kontak dengan orang-orang lama di sini. Mustahil ada yang mengirimkan paket. Tapi di paketnya tertulis jelas nama penerimanya: Ji Sixi.”
Ji Sixi terdiam membeku.
Ayah Ji melanjutkan, “Kami tidak tahu persis bagaimana ibumu meninggal dulu. Tapi satu hal yang pasti: Barang peninggalan ibumu tidak mungkin ada di tangan orang lain. Pasti masih di tangan ayah kandungmu, Qin Housheng...”
“Benarkah?” tanya Ji Sixi.
Ayah Ji mengangguk, “Aku ingat saat Qin Housheng memberitahu kabar kematian Xinyue, dia bilang melihat langsung Xinyue meninggal di hadapannya. Jadi semua barang peninggalan Xinyue seharusnya masih ada di sana...”
Ji Sixi terduduk linglung, “Kalau begitu maksud Ayah…”
Di relung hatinya sebenarnya sudah ada dugaan, tapi dia tak berani mengatakannya. Dia khawatir ini hanya mimpinya di siang bolong.
Tapi ternyata, Ayah Ji menyuarakan isi hatinya. “Aku mulai mencurigai Qin Housheng mungkin belum mati, karena selain dia, tak mungkin ada orang lain yang memiliki barang peninggalan ibumu… Aku mengenal Qin Housheng. Begitu dia mencintai ibumu Xinyue, pasti dia tak akan meninggalkan barang peninggalan ibumu jauh darinya.”
Hati Ji Sixi langsung dilanda gejolak hebat. Untuk menjaga ketenangan, dia menutup matanya. “Tapi bagaimana mungkin dia masih hidup?”
Ayah Ji bersuara berat, “Meski sudah lebih dari 20 tahun tak ada kabarnya, bukan berarti dia sudah meninggalkan dunia ini.” Ji Sixi baru membuka matanya. Terpaku memandangi kalung berlian yang sudah berubah bentuk namun masih terawat di tangannya, dia berkata datar, “Iblis pernah bilang, Qin Housheng tewas di tangan Dark Angel. Saat itu pemimpin Dark Angel kejam dan tak kenal ampun. Dia tahu Qin Housheng yang pernah berkhianat pada organisasi 'Iblis' cepat atau lambat…”
“…juga akan berkhianat pada Dark Angel, jadi dia menyuruh orang membunuh Qin Housheng…”
“Mungkin ini hanya kabar burung…” kata Ayah Ji.
Ji Sixi berkata datar, “Aku tahu ini mungkin cuma rumor. Apalagi dengan kemunculan kalung berlian ini, semakin menguatkan kemungkinan Qin Housheng masih hidup… Tapi kalau benar dia masih hidup, mengapa selama 27 tahun ini tak pernah sekalipun dia datang menemuiku?” “Ini…” Ayah Ji tak bisa menjawab seketika.
