Entah apakah merasakan tatapan Lu Jingzhi, tubuh Ji Sixi bergerak sedikit.
Melihat ini, Lu Jingzhi mengalihkan pandangan dari wajahnya ke tangan Ji Sixi.
Tangan itu tampak memar akibat genggamannya yang terlalu kuat tadi.
Kulitnya yang memang putih membuat memar itu terlihat semakin jelas.
Lu Jingzhi menghela napas pelan di relung hati, kemudian tak kuasa mengangkat pandangannya, meninjau ulang wajah mungil Ji Sixi.
Pada awalnya menahan Ji Sixi di sini, hanya karena ia mirip Su Mo, baru menyadari sebenarnya ia tak terlalu mirip dengan Su Mo, bahkan aura mereka pun berbeda 180 derajat.
Su Mo memberi kesan kelembutan, sementara dirinya justru kokoh tak tergoyahkan.
Sepertinya apapun urusan yang dihadapi, ia takkan mudah menangis... Bahkan jika menangis, ia sama sekali takkan menyerah.
Ia sombong, teguh, pintar...
Sebenarnya banyak kelebihan yang dimilikinya, sayangnya... Ia adalah anak Qin Housheng.
Selama ia anak Qin Housheng, mereka ditakdirkan tak mungkin bersama, meski Qin Housheng bukan musuhnya...
Mengangkat tangannya, Lu Jingzhi tak tahan ingin menyentuh pipi putih mulusnya.
Namun, bulu mata lebat seperti kipas itu tiba-tiba perlahan membuka.
Lu Jingzhi kaget, secepat kilat menarik kembali tangannya.
Saat Ji Sixi menoleh memandang Lu Jingzhi, ia sudah kembali tenang seolah tak terjadi apa-apa. "Kau sudah bangun?"
Ji Sixi memandang Lu Jingzhi, seolah mengira ini mimpi, hingga ingatan akan kejadian sebelumnya menyusup ke pikirannya, barulah ia tersadar. "Sebenarnya apa maumu?"
Lu Jingzhi meninggalkan sofa, berjalan menuju meja kerja. "Tunggu sampai kau melihat jelas sifat asli iblis itu, baru akan kulepaskan kau pergi."
Ji Sixi ikut menuju, tiba-tiba menyadari kerah bajunya yang terkulai ke posisi dada akibat pose tidur yang buruk, dia cepat-cepat merapikan pakaian lalu datang ke depan meja kerja. "Sudah kukatakan tidak perlu kebaikan hatimu seperti ini!"
Lu Jingzhi mengambil sebuah dokumen belum ditangani di meja kerja, meninjau dengan serius, sama sekali tidak menghiraukan maksud Ji Sixi.
Ji Sixi panik, langsung merebut dokumen dari tangan Lu Jingzhi, wajahnya memerah marah. "Kau mengurung kebebasan fisikku!"
Lu Jingzhi melirik dokumen yang direbut Ji Sixi, tapi tak terburu-buru atau marah. Perlahan ia mengangkat tatapannya, bertemu dengan sorot mata penuh kemarahan Ji Sixi. "Apa kau punya kebebasan hidup? Hidup bersama Iblis pun kau harus menyembunyikan identitas, bukan?"
Mendengar itu, Ji Sixi meludah ke lantai dengan jijik. "Semua ini berkat ulahmu!"
Lu Jingzhi tersenyum, tatapannya penuh kelembutan yang tak terkira. "Sixi, meski terlihat dikejar anggota Dark Angel, sebenarnya aku selalu bernegosiasi untukmu. Saat ini mereka belum benar-benar mengepungmu, kan?"
“Maksudmu aku harus berterima kasih padamu?” Ji Sixi menggeram.
Lu Jingzhi kembali tersenyum, perlahan mengambil dokumen dari tangan Sixi sambil melanjutkan, "Tak perlu berterima kasih, tapi aku juga tidak sejahat yang kau kira." Setelah berkata demikian, ia menyempatkan pulpen dari saku jas dan dengan lancar serta bebas merdeka membubuhkan tanda tangan di dokumen tersebut.
Ji Sixi pasrah menutup matanya sebentar, memohon, "Kumohon biarkan aku pergi!"
Lu Jingzhi meletakkan dokumen kembali ke meja, baru kemudian menjawab, "Aku sudah bilang tadi, setelah aku membiarkanmu melihat wajah asli Iblis, aku akan membiarkanmu pergi."
"Orang tuaku pasti khawatir..." Ji Sixi mengatupkan gigi.
Lu Jingzhi menyandar di meja kerja, kedua tangan dengan santai masuk ke saku celana, sambil berkata, "Aku akan memberi tahu orang tuamu bahwa kau baik-baik saja."
Ji Sixi menggigit bibirnya erat-erat.
Lu Jingzhi menatapnya, senyuman merekah di sudut bibirnya. "Sudahlah, jangan gampang marah. Aku akan mengajakmu menemui Yi Xin."
Ji Sixi tertegun sejenak, menahan tatapannya yang penuh arti, matanya memancarkan keraguan.
Melihat reaksinya, senyuman Lu Jingzhi semakin lebar. "Kenapa? Mencurigai niat burukku?"
Ji Sixi memunggungi dia, tak menghiraukannya.
Lu Jingzhi tertawa pendek, lalu melangkah. "Jika tidak ikut, tetap di sini saja! Bagaimanapun juga kau tak bisa kemana-mana!"
Mendengar itu, Ji Sixi mengepal tangannya erat-erat, merasa sudah sepenuhnya dikendalikan Lu Jingzhi. Tapi demi bisa bertemu Yi Xin, hatinya yang penuh amarah terpaksa mengalah.
Detik berikutnya, dia buru-buru menyusul langkahnya.
……
Sepanjang perjalanan ke Rumah Lu, Ji Sixi duduk di kursi belakang mobil, memandangi pemandangan di luar melalui jendela. Disadarinya setelah setahun, panorama di sepanjang jalan ini tak berubah sedikitpun.
Rumah Lu berada di kompleks vila termahal di Berlin, dengan luas tanah yang paling eksklusif di antara seluruh vila di sana.
Ji Sixi sebenarnya tidak terlalu menyukai rumah Lu, tapi harus diakuinya, lingkungan di sini adalah yang paling indah dan asri yang pernah ia lihat.
Pepohonan rindang, hamparan rumput wangi, semuanya seolah-olah mengikuti adegan vila dalam dongeng.
Hanya saja tak disangka setelah lebih dari setahun, bunga, rumput, dan pepohonan di sini sepertinya tak mengalami perubahan apa pun……
Saat turun dari mobil, Ji Sixi memandang pria tampan yang sudah duduk di dalam mobil, lalu bertanya dingin, "Kau bawa aku ke sini, tak takut Situ Jing cemburu?"
Lu Jingzhi menjawab, "Dia jarang tinggal di sini."
Ji Sixi terkejut. "Lalu kalian…"
Lu Jingzhi menyahut, "Biasanya aku yang tinggal di tempatnya."
Mendengar itu, hati Ji Sixi seperti tertarik keluar sejenak.
Ini di luar perkiraannya. Awalnya ia mengira takkan merasakan apa-apa, lagipula ini sudah menjadi kenyataan yang ia duga sejak lama.
Ji Sixi tak berkata lagi, berbalik menuju vila.
Lu Jingzhi tidak turun, langsung memerintahkan Xiao K, "Pergi ke tempat Xiao Jing."
Ji Sixi mendengar jelas teriakan itu, dada tiba-tiba terasa pedih seperti tertusuk.
……
Mungkin Xiao K sudah memberi tahu kepala rumah tangga, baru sampai di area air mancur, sang kepala rumah tangga sudah menyambut dari dalam vila. "Nona Ji."
Melihatnya, Ji Sixi teringat saat dulu kepala rumah tangga ini menipunya dengan kabar Lu Jingzhi kecelakaan untuk memanggilnya kembali dari Kota C. Tapi karena tahu ia hanya menjalankan perintah, Ji Sixi pun tak mempermasalahkan kejadian lalu, tersenyum ramah. "Yi Xin di mana?"
Kepala rumah tangga segera menjawab, “Baru kembali dari TK, sekarang belum tahu Anda datang, sedang melukis di ruang tamu!”
Memikirkan akan segera bertemu Yi Xin, Ji Sixi mempercepat langkahnya.
Baru saja memasuki pintu, dari kejauhan dia sudah melihat bayangan kecil Yi Xin.
Siluet ramping ini berdiri di depan kanvas, serius melukis minyak, fokus layaknya orang dewasa.
Ji Sixi tak ingin mengganggu, diam-diam mendekat.
Sempat mengira Yi Xin melukis pemandangan, tak disangka yang dilukisnya justru potret manusia...
Diamatinya lebih seksama, baru sadar lukisan itu sepertinya dirinya. Dia tak percaya, “Sayang, kau lukis Mama ya?”
