Qin Qian berjongkok, tatapannya sejajar dengan Miao Miao, berkata lembut, "Miao Miao suka Spider-Man kan?"
Miao Miao langsung mengangguk cepat-cepat, "Mama mau mengadakan pesta ulang tahun bertema Spider-Man untukku?"
Qin Qian mengusap kepala Miao Miao dengan penuh kasih, "Ya, Mama pasti akan menyiapkan pesta ulang tahun Spider-Man yang membuatmu dan semua teman-temanmu senang."
"Waa..." Miao Miao melompat-lompat gembira lalu memeluk erat Qin Qian. "Mama baik sekali... Aku paling sayang Mama!"
Qin Qian mencium Miao Miao. "Sayang."
Saat itu, ponsel Qin Qian di ranjang berdering.
Miao Miao melepaskan pelukannya dan melirik ponsel di ranjang. "Mama, pasti Ayah menelepon. Cepat diangkat..."
Qin Qian kembali mengusap kepala Miao Miao. "Kamu mau turun ke bawah main ya?"
"Ya," jawab Miao Miao sambil menggigit bibir kecilnya dengan manis.
Qin Qian tak tahan mencium dahi Miao Miao sekali lagi sebelum melepaskannya. "Pergilah..."
Miao Miao berlari kegirangan.
Memandangi bayangan Miao Miao yang bahagia, Qin Qian merasa lega.
Mengingat kembali momen pertama melihat Miao Miao dua tahun lalu, hatinya masih berdebar-debar.
“Syukurlah Tuhan memberi perhatian khusus pada Miaomiao, tidak membiarkan situasi terburuk itu terjadi. Yang lebih patut disyukuri adalah autis Miaomiao juga sudah sembuh, dia benar-benar bersyukur...”
Ponsel tetap berdering, akhirnya berhasil menarik kembali pikiran Qin Qian.
Dia kembali ke kamar, mengambil ponselnya. Seperti yang diperkirakan, telepon itu benar berasal dari Tan Yan.
Di wajahnya merekah seberkas ekspresi lembut yang tak bisa dikendalikan.
“Tan Yan.” Panggilnya dengan suara penuh kasih.
Selama ini dia selalu memanggilnya seperti itu, tapi sebagian besar waktu ia memanggilnya “Qianqian”.
“Kenapa lama sekali menjawab?” Suara lembut Tan Yan terdengar.
Qin Qian melaporkan sejujurnya, “Tadi sedang berbicara dengan anak.”
“Ya.”
“Kapan kau kembali?”
“Malam ini berangkat. Urusan di Jerman sudah selesai ditangani...”
“Aku tahu pasti bisa diselesaikan. IQ Pak Lu begitu tinggi.”
Tan Yan tidak menjawab.
Qin Qian menanti beberapa saat, tetap tak mendengar jawaban, bertanya penuh keraguan, “Kau sedang apa? Kenapa tiba-tiba diam?”
Baru kemudian Tan Yan berkata datar, “Tak izinkan kau memuji pria lain di hadapanku, sekalipun itu kakakku sendiri.”
“......” Qin Qian segera mengalihkan topik, “Ngomong-ngomong, Pak Lu dan Sixi pasti sangat bahagia sekarang ya?”
“Ya, seluruh keluarganya sedang liburan.”
Di relung hati Qin Qian, napas lega terhela, bersyukur bisa mengalihkan topik dengan sukses. “Kau... usahakan berangkat lebih cepat. Ada urusan yang mau kubicarakan.”
“Ya?”
“Tak bisa sekarang, nanti setelah kau kembali... ini urusan penting.” Qin Qian berpikir sejenak lalu menambahkan kalimat penutup.
Tan Yan menjawab, "Kalau begitu aku akan berangkat siang hari nanti."
……
Qin Qian menghitung waktu, Tan Yan akan tiba di rumah tengah malam. Setelah makan malam, dia pergi ke kamar anak untuk merayu Miao Miao tidur.
Dia menduga, saat Tan Yan pulang dan melihatnya tidak ada di kamar, pasti akan mencarinya. Dia sangat menyukai perasaan diperhatikan olehnya ini.
Miao Miao cepat tertidur. Dia mengambil buku, menahan kantuk di kelopak matanya, bertahan menunggu kepulangannya.
Pukul dua dini hari, akhirnya dia mendengar gerakan yang diperkirakan——dia telah kembali.
Setelah dua tahun hidup berdampingan, derap langkah kakinya mudah dikenali. Kini langkah itu bergerak mantap menuju kamar anak.
Dia segera meletakkan buku di tepi ranjang, berbaring, dan berpura-pura tertidur.
Tan Yan bukan tipe romantis. Tak mungkin ia mencuri cium saat dia tidur. Tapi ia akan membopongnya ke kamar, dan dia menyukai dekapan itu.
Detik berikutnya, pintu kamar terbuka dari luar...
Dengan mata terpejam setengah, diam-diam ia mengintipnya.
Tan Yan telah melepas mantel jas dan melonggarkan dasi. Pesonanya lebih memikat dibanding penampilan formal biasanya.
Ia mendekati ranjang, melihatnya memejamkan mata, tak kuasa menggeleng lalu mengangkat tubuhnya dalam dekapan.
Strategi berhasil. Qin Qian bersandar di dada Tan Yan, senyum mengembang di bibirnya.
"……" Tiba-tiba, baru saja dibopong masuk kamar oleh kedua lengannya yang kuat, suara mengejeknya sudah terdengar, "Kau benar-benar seperti anak kecil."
Qin Qian baru menyadari penyamarannya telah tertembus, membuka mata, memandangnya dengan tak bersalah, "Tidak mungkin setiap kali aku berpura-pura tidur, kau selalu mengetahuinya?"
Tan Yan menidurkan Qin Qian di ranjang, menarik tangannya keluar. "Aku hanya bekerja sama denganmu."
"……" Qin Qian merasa malu.
Tan Yan melepas dasi, melonggarkan kancing kemejanya sambil bersiap mandi. "Setelah mandi kita bicara soal urusan yang ingin kau sampaikan."
Qin Qian mengangguk, "Baik."
……
Sekitar dua puluh menit kemudian, Tan Yan keluar dari kamar mandi mengenakan piyama.
Qin Qian sudah merapikan barang-barang Tan Yan, duduk di sofa. "Mengapa kau tetap membopongku ke kamar meski tahu aku pura-pura tidur?"
Tan Yan menuangkan air ke gelas, meneguknya, baru menjawab, "Karena aku juga suka memelukmu."
Wajah Qin Qian seketika memerah.
Harus diakuinya, meski Tan Yan tidak romantis, kata-kata tulus dari relung hatinya sering kali menyentuhnya.
Ia menepuk-nepuk tempat di sampingnya perlahan.
Tan Yan meletakkan gelas, mendekat.
Setelah Tan Yan duduk, Qin Qian akhirnya berbicara dengan ragu-ragu namun serius, "Tan Yan, aku mungkin hamil."
Mendengar itu, wajah tampan Tan Yan berkerut. "Sudah dipastikan?"
"Seharusnya tidak salah. Bulan ini datang bulanku tidak muncul, ditambah akhir-akhir ini aku selalu mual." Qin Qian menjawab tenang.
Tan Yan mengerutkan alis, mulai terdiam.
Qin Qian menundukkan kepala, memandangi sofa. "Aku sudah memutuskan, kamu atur saja dalam dua hari ini, aku sendiri yang ke rumah sakit. Tak ingin Ayah Ibu tahu urusan ini."
Tan Yan tetap tak bersuara, terlihat masih mempertimbangkan hal ini.
Qin Qian lama tak kunjung mendapat jawaban dari Tan Yan, mengangkat kepala dan memandangi wajah tampannya yang khidmat. "Ada apa?"
Tan Yan memandangi Qin Qian dengan aura gelap, baru kemudian berkata, "Tidak apa... Penampilanmu kurang baik, tunda beberapa hari lagi ke rumah sakitlah!"
"Baik."
Tan Yan bangkit dari sofa. "Aku ke ruang kerja cek email, ada proyek mendesak akhir-akhir ini."
Qin Qian mengangguk, "Ya."
Ketika kamar tidur yang luas kembali sunyi, Qin Qian menyandarkan diri di tepi ranjang, terperangkap dalam pikirannya sendiri.
Dia tak menyalahkan Tan Yan, takkan pernah menyalahkannya...
Bisa bertemu dan saling mencintai dengannya seumur hidup ini, dia sudah sangat puas.
Meski di masa depan tak bisa bersama, tapi dengan kenangan seperti ini, hidupnya sudah cukup...
Hanya saja, hari perpisahan mereka semakin dekat, hatinya semakin tak tega...
Setelah kembali ke Prancis, bisakah dia benar-benar melupakan semua yang terjadi antara mereka, dan memulai hidup baru?
Dan Tan Yan...
Bisakah dia melupakannya?
Tapi dengan karakternya, di masa depan pasti akan memperlakukan orang yang menemaninya dengan baik. Saat itu, dia perlahan akan melupakannya?
Pertama kali, dia berdoa waktu berjalan lebih lambat... Sungguh tak tega berpisah dengannya...
