Hotel Bintang Lima Intercontinental New York.
Yin Yi berdiri di dalam kamar mewah yang begitu luas ini, tak bisa menahan diri menggigit bibir.
Untuk menghindari perjalanan ke New York bersama Mu Yifeng, terpaksa dia datang duluan tanpa memberi kabar...
Tapi khawatir terjadi sesuatu jika ada yang mengenalinya sebagai istri Mu Yifeng, terpaksa dia memilih menginap di hotel berlevel tinggi ini...
Namun, dia sama sekali tak menyangka bahwa harga menginap satu malam di hotel ini setara dengan gaji 3 bulan kerjanya dulu...
Tapi mengingat sudah cukup lama berinteraksi dengan Mu Yifeng yang tak pernah menzaliminya, bahkan memberi sepasang anting berlian bernilai 1 juta, biaya penginapan malam ini jadi terasa tak berarti...
“Tapi, dia benar-benar tersayat hati melihat dompetnya, lagipula anting berlian yang ia berikan juga tak mau dia jual, tapi biaya penginapan yang dibayar hari ini adalah emas dan perak sungguhan...”
“Ah...”
“Tepat saat Yin Yixin sedang terharu melihat dompetnya mengempis, ponsel di dalam tas berdering.”
“Dia bersiap mengambil ponsel, tapi cincin berlian di jari manisnya tak sengaja menggores pita sutra tasnya. Dia membeku, baru menyadari masih ada cincin nikah di jari manisnya.”
“Ya, dia hampir melupakan cincin ini, hampir membawa pergi cincin ini...”
“Sepertinya sebelum pergi, dia masih harus mengembalikan cincin ini padanya.”
“Memikirkan ini, Yin Yixin baru mengeluarkan ponsel dari tasnya.”
“Melihat itu telepon dari Ibu, dia seketika menekan tombol penerimaan.”
““Ibu.””
““Yixin, kau sudah sampai di New York?” Ye Meiyan bertanya dengan perhatian utama.”
““Ya, aku sudah menginap di hotel New York... Besok pagi aku akan menghubungi Mu Yifeng, setelah urusan tumbal selesai, aku akan berpisah dengannya.” Tahu sang Ibu khawatir dia ragu, dia kembali memberi ketenangan.”
“Namun, Ye Meiyan masih tak percaya, berpesan hati-hati, “Yixin, jangan sampai ada ketidakterikaan lagi... Kita dan dia memang penghuni dua dunia berbeda, apalagi, ia tak mencintaimu.””
“Sampai sekarang Yin Yixin masih tertusuk kenyataan ini. Dia menarik napas dalam, mengurangi rasa sakit di dada, lalu berkata rileks, “Ibu tenang saja... Aku bisa menanganinya.””
Ye Meiyan menghela napas, akhirnya tidak berkata lagi, lalu berkata dengan penuh kasih, "Kalau begitu tidur lebih awal malam ini... jangan terlalu banyak dipikirkan."
"Sudah tahu." Yin Yixin menjawab.
Ye Meiyan kembali menghela napas, sepertinya sedang merenungi anak perempuannya yang mengalami masalah percintaan sama seperti dirinya di masa muda, tapi tidak melanjutkan pembicaraan lagi dan mengakhiri panggilan.
Setelah lama terdiam, Yin Yixin dengan kaku menurunkan ponsel dari telinganya, kemudian berdiri di depan jendela kaca kamar.
Seluruh pemandangan malam New York terpampang di hadapannya, dunia yang luas dan riuh rendah ini justru membuat Yin Yixin semakin merasa kesepian...
Sebenarnya dulu saat sendiri pun tak pernah merasa sesepian ini, tapi saat ini hatinya terasa hampa, seolah semua kemilau kota ini kehilangan warna aslinya di matanya, berubah menjadi suram...
Dia tahu, semua ini karena Mu Yifeng tak akan ada lagi di dunianya, hatinya terluka.
Semula dia mengira melepaskan seseorang adalah hal yang mudah, tapi mengapa sejak memutuskan untuk meninggalkan Mu Yifeng, frekuensinya mengingatnya malah semakin sering...
……
Malam ini Yin Yixin tidak bisa tidur nyenyak.
Meskipun ranjang hotel itu besar dan empuk, dia tetap bolak-balik tak bisa terlelap.
Akhirnya, dia menyalakan lampu tepi ranjang dan duduk diam di ranjang sambil memeluk lututnya.
Dia sebenarnya tidak ingin otaknya dipenuhi Mu Yifeng, tapi sejak membuka mata, yang terlintas di pikirannya adalah kenangan-kenangan kecil yang pernah dialaminya bersama Mu Yifeng...
Memang, akhir-akhir ini meski waktu mereka bersama tak lama, tapi sudah melalui banyak urusan bersama...
Menaklukkan Mu Guang, mengatasi Mu Sui...
Semua urusan ini mereka hadapi bersama bagai suami-istri sejati - sama-sama merasakan manis pahit, bersatu melawan musuh. Dalam hati, andai saja hari itu di Tanah Suci tidak melihat langsung Mu Yifeng menggendong Cen Ruoxin, mungkin dia masih akan terus berkhayal bahwa cinta mungkin tumbuh seiring waktu... Bagaimanapun, saat-saat bersamanya selalu terasa menyenangkan.
。
Tok, tok——
Dua kali ketukan di pintu kamar memutus alur pikiran Yi Xin yang sedang melayang.
Yi Xin heran siapa yang mungkin mengetuk di jam segini, dengan penuh kewaspadaan dia bertanya, "Siapa?"
Tak ada jawaban dari luar, tapi ketukan di pintu terus berlanjut.
Bukan ketukan gegabah, seolah tanpa niat jahat - teratur dan sopan.
Yi Xin tidak terlalu takut, tapi juga bingung siapa yang mungkin datang di tengah malam. Mengingat layanan hotel pun tak mungkin mengganggu tamu di jam segini, dia turun dari ranjang dan dengan hati-hati memeriksa kamera pengawas di TV kamar.
Detik berikutnya, napasnya tercekat. Matanya sulit mempercayai apa yang terpampang di layar.
Dengan gemetar dia bergumam, "Bagaimana mungkin... Mu Yifeng?"
Di tempat yang sama membeku lama sekali, Yin Yixin baru berjalan kaku sampai depan pintu kamar, perlahan membuka pintu.
Saat pandangannya dipastikan tanpa keraguan bahwa orang di depan mata adalah Mu Yifeng, dia menindih hati yang berdebar kencang tanpa alasan, menahan napas bertanya, "Kau... bagaimana mungkin muncul di sini sekarang?" Mu Yifeng memandangnya, sorot mata tajamnya fokus menyambut bola matanya yang panik. "Kalimat ini seharusnya ku yang tanya... Sebagai istriku, semestinya kau ikut bersamaku ke New York, tapi kau datang sendiri... Pernah kau pikirkan? Jika di perjalanan
kau ketahuan orang, apa yang akan dipikirkan orang tentang hubungan suami-istri kita?" Yin Yixin tersenyum manis, berkata demikian, "Aku sangat waspada, pasti tak ada yang memotret... Lagipula lihatlah aku memilih hotel mahal sekali ini untuk menginap, kalau sampai ketahuan, akan kukatakan ini romansa suami-istri kami, aku di hotel
menantimu..."
"Kau benar-benar berpikir sangat matang." Mu Yifeng tetap berbicara tanpa ekspresi.
Yin Yixin masih menjaga senyumannya, berpura-pura rileks, "Iya, semuanya sudah kupikirkan matang... Jadi tenanglah."
"Lalu, mengapa menghindariku?" Mu Yifeng tiba-tiba bertanya dengan suara berat.
Yin Yixin membeku, karena tak menyangka Mu Yifeng akan bertanya demikian, terpaku beberapa detik, baru menjawab, "Eh, kepala rumah tangga tak memberitahumu? Aku khawatir pesawat pribadimu terlalu sesak, jadi aku datang duluan..."
"Terlalu sesak?" Mu Yifeng menyipitkan mata, mengamatinya penuh kecurigaan. "Maksudmu?"
“Yi Xin sedikit menunduk, baru kemudian bergumam lirih, “Sekretaris Cen kan rekan kerjamu? Aku paham situasi… tak nyaman jadi lampu neon orang lain.””
“Kau——”Mu Yifeng kehabisan kata akibat emosi.
Yi Xin melihat ekspresi marah tak biasa Mu Yifeng, wajahnya penuh kebingungan. “Apa aku salah informasi? Bukankah hubunganmu dengan Sekretaris Cen sudah ditetapkan di tanah suci A Ge?”
Benar, dia pergi karena melihatnya bersama Ruoxin di Santiago. Pada ketukan ini, Mu Yifeng seolah terlempar dari neraka ke surga. Saat ia hendak menjelaskan, dering ponsel di saku jas tiba-tiba berbunyi.
