Kakek ragu sejenak, lalu mengatupkan giginya sambil menatapku: "Ah, tampaknya takdir memanggilmu ke jalan ini. Kakek takkan menghalangimu. Di kaki gunung belakang Bei Jiu Shui, ada Kuil Qingzhu. Dulu Kakek dengar kepala kuil itu pernah menaklukkan mayat hidup yang bangkit, dan sangat mahir ilmu Tao. Kakek akan ajakmu belajar padanya selama liburan musim panas. Setelah menguasai ilmu menangkap hantu dan menaklukkan siluman, barulah kau cari jamur mayat itu."
Melihat kakek mulai luluh, aku segera menyetujui:
"Baik! Terima kasih, Kakek."
Begitulah, kakek membawaku pulang untuk berkemas dan memberi tahu nenek, lalu kami berangkat menuju Kuil Qingzhu di Bei Jiu Shui.
Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara. Aku mengayuh becak mengikuti petunjuk kakek, mengambil jalan pintas menuju kuil.
Di depan gerbang Kuil Qingzhu, sambil turun dari becak kakek, kuperhatikan penampilan kuil ini yang tak berbeda dengan kuil Tao biasa.
Kalau mau mencari perbedaan, mungkin hanya pada nama kuilnya...
Setelah kakek mengetuk pintu gerbang cukup lama, tak ada yang keluar. Kutanya kakek: "Kakek, apa kuil ini kosong?"
Kakek juga heran memandangi pintu: "Tidak mungkin. Kalau tidak ada orang di dalam, kenapa pintunya terkunci dari dalam?"
“Aku akan memanjat tembok untuk melihat ke dalam.” Tanpa menunggu persetujuan Kakek, aku langsung melompat ke tepi dinding. Saat melewati tembok dan mendarat di halaman, suara Kakek baru terdengar dari luar:
“Shisan! Jangan Hu Nao, cepat keluar!”
“Kakek, aku mau cek apakah ada orang di dalam. Kalau kosong segera aku keluar.” Sambil berkata begitu, aku berjalan menuju rumah berpintu terbuka di dalam kuil Tao.
Sebelum sempat masuk, suara pria paruh baya tiba-tiba menggema dari dalam rumah:
“Goblog! Siapa dasar yang ngasih kepala manusia lagi?! Ngerti gak cara jadi jungler?!... Dasar PSK, AFK lagi. Setiap musim panas LOL gak bisa dimainin! Gak bisa! Cuma pemula semua!”
Aku mendengar kalimat-kalimat di dalam rumah ini, langsung menjadi seperti patung di tempat. Apa aku datang ke kuil Tao atau masuk warnet?
Aku berjalan masuk mengikuti suara di dalam rumah. Begitu masuk, langsung melihat seorang pria sedang memakai headphone duduk di depan komputer dengan penuh konsentrasi, suara keyboard yang dipukulnya berbunyi tok! tok!
Di dinding belakang komputer tergantung sepasang bait tulisan. Bait atas tertulis:
"Tinju hantam anjing ngiler AFK."
Bait bawah tertulis:
"Tendang babi nekad nyerang menara."
Tulisan melintang: "Si Raja Masturbasi."
Melihat pemandangan ini, aku langsung merasa datang ke tempat yang salah. Ini bukan MAHIR ilmu Tao, tapi jelas-jelas paman paruh baya lajang penggemar game online yang teracuni sampai lupa cuci kaki!
“Sial! Lima orang di sebelah, empat di antaranya super dewa, nggak bisa main nih!!” Laki-laki paruh baya itu mengumpat, melepas headphone dengan kasar dan melemparnya ke meja komputer. Begitu dia berdiri, kulihat celana pantai bergambar Crayon Shin-chan yang dikenakannya...
Tentu saja, dia juga langsung melihatku.
“Kau ini siapa? Masuk dari mana?” Laki-laki berjambang tipis itu bertubuh kerempeng seperti monyet, matanya menyipit curiga menatapku.
“A...Aku dibawa kakekku ke sini.” Suaraku gemetar penuh rasa bersalah, sebab jelas-jelas ini masuk tanpa izin.
“Apa? Kakekmu? Kakekmu siapa?” Nada suaranya mulai kesal.
“Coba lihat saja di luar, kakekku sedang menunggu di gerbang utama.” Kataku.
“Tunggu di sini.” Laki-laki itu masuk ke dalam kamar. Tak lama kemudian, dia muncul dengan jubah Tao berwarna kuning, langkahnya gesit nan anggun, tatapan mata berkabut, rambut acak-acakan dan janggut tak terurus, mirip dewa yang turun dari langit...
Jangan-jangan dia ini pemimpin Kuil Bambu Hijau?
Tapi yang membuatku penasaran, kenapa di dada kiri jubah Taonya ada logo "Adidas"? Setelah kupikir-pikir, mungkin ini jubah Tao impor yang tak terjangkau oleh pemikiranku.
“Dasar anak sialan, kau yang jalan di depan.” Sang pemimpin kuil ini menyuruhku, tapi malah sendiri yang menyelonong berjalan di depanku...
“Setelah dia membuka pintu, kakek saya melihat pemimpin kuil ini, langsung melangkah cepat ke depan sambil mengatupkan tangan berkata: 'Daozhang, cucu saya tidak mengerti adat, masuk dengan memanjat tembok tanpa permisi, harap jangan tersinggung, ini kesalahan saya tidak mendidik dengan baik.'”
“Pemimpin kuil ini pertama-tama memandang kakek saya, lalu menegakkan postur tubuhnya dan berkata: 'Apa urusan kalian datang ke Kuil Bambu Hijau ini bersama cucumu? Saya sedang melatih diri dan berlatih Dao di dalam kuil, tanpa uang persembahan jangan ganggu.'”
“Mendengar perkataannya, saya yang berdiri di belakangnya langsung ingin menendang pantatnya sampai dia tahu mengapa bunga begitu merah. Orang ini kulit mukanya bisa dijadikan rompi antipeluru, jelas-jelas sedang masturbasi di dalam kamar, tapi bilang sedang berlatih Dao, tidak tahu malu!”
“Kakek saya mendengar ucapannya, segera mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari saku dan menyerahkannya:”
“'Ini uang persembahan untuk kuil, tidak banyak, tapi ini niat tulus dari kami berdua.'”
“'Ah... Anda... datang saja langsung, ngapain formalitas?! Apa tidak terlalu duniawi? Yang penting niatnya!' Ujar pemimpin kuil sambil memasukkan uang itu ke sakunya.”
“'Ayo, Tuaian masuk minum teh. Hati-hati, anak tangganya agak tinggi...'”
“Melihat perubahan sikap pemimpin Kuil Bambu Hijau ini, saya tertegun.”
“Saya dan kakek mengikuti pemimpin kuil masuk ke aula utama. Setelah menyuguhkan teh, kami duduk sesuai posisi tamu dan tuan rumah.”
Kakek baru saja menyatakan maksud kedatangannya, yaitu ingin memintanya menerima saya sebagai murid untuk mempelajari ilmu Tao.
Setelah mendengar perkataan kakekku, kepala kuil itu meneguk teh terlebih dahulu, lalu berdehem dan berkata: "Anda benar-benar menemui orang yang tepat. Izinkan saya memperkenalkan diri, nama Tao saya adalah Pendeta Qingfeng, kepala Kuil Qingzhu sekaligus pemimpin Sekte Maoshan Longhu. Tanpa basa-basi, tuan tua, jika cucumu belajar ilmu Tao dariku, masa depannya akan cemerlang bagai burung phoenix mengepakkan sayap, baik karir maupun kekayaan akan bersinar terang..."
Aku yang duduk mendengarkan percakapan mereka memiliki firasat: Pendeta Qingfeng ini pasti dulunya anggota MLM!
Namun kakek terus mengangguk-angguk, sepertinya ia benar-benar mempercayai omongan Pendeta Qingfeng itu.
"Tapi, tuan tua, meskipun hamba memandang harta bagai tahi kering, tahan makan nasi aking dan dedak, melihat wajah cucu kesayanganmu yang manja ini..." Pendeta Qingfeng mengerutkan dahi dengan ekspresi tulus, "Bagaimana ia bisa tahan hidup bersamaku?"
Begitu mendengar kata-katanya, aku langsung punya firasat sisa uang di kantong kakek akan raib...
"Gampang. Saya takkan membiarkannya numpang makan dan belajar gratis. Terimalah ini." Kakek mengeluarkan setumpuk uang dari saku dan menyodorkannya ke Pendeta Qingfeng.
Melihat tumpukan uang itu, hatiku terasa perih. Meski kakek sering meramal nasib orang, beliau tak pernah menerima uang sepeser pun. Entah sudah berapa lama kakek dan nenek menabung uang ini. Dalam hati kuberjanji, setelah lulus kuliah nanti pasti akan bekerja keras dan membahagiakan mereka berdua.
"Ah, kamu terlalu sungkan. Aku terima ini atas nama Tiga Dewa Suci." Ujar Master Qingfeng sambil menyimpan uangnya.
"Ayo, ayo! Lakukan ritual penghormatan pada guru!" Setelah menerima uang dari kakek, Master Qingfeng tersenyum lebar dan melambai-lambaikan tangannya padaku.
Meski dalam hati masih ada prasangka pada Master Qingfeng yang terkesan tidak kompeten, aku berpegang pada prinsip "laut tak bisa diukur dengan gantang, manusia tak bisa dinilai dari rupa". Lagipula, kakek sudah mengeluarkan uang!
Ritual sujud, menyajikan teh, lalu menyalakan hio untuk leluhur. Di depan patung Tiga Dewa Suci, Master Qingfeng menatapku serius semberi menyerahkan hio: "Kau yakin mau menjadikanku guru?"
Aku mengangguk.
"Sudah yakin."
"Dalam Taoisme, setelah masuk jalur ini, takdirmu tak akan lagi utuh. Pasti terkena lima kemalangan dan tiga kekurangan. Tidak akan punya takdir normal lagi. Benar kau sudah mantap?" Tanya Master Qingfeng lagi.
"Sudah mantap." Uangnya saja sudah masuk kantongmu. Kalau masih ragu, bukan berarti aku bodoh?
Daozhang Qingfeng mengangguk, tidak berkata lagi, lalu membimbingku untuk mempersembahkan dupa pada leluhur. Saat mempersembahkan dupa, kulihat ekspresi Daozhang Qingfeng sangat khidmat dan penuh hormat, gerakannya dalam mempersembahkan dupa dan memohon restu leluhur juga sangat hati-hati, seolah berbeda dengan sikapnya sebelumnya.
Setelah ritual dupa, barulah aku dianggap resmi memasuki gerbang Taoisme, menjadi murid utama dari apa yang disebutnya sebagai Pemimpin Sekte Maoshan Longhu...
Kakek melihatku sudah bersujud menjadi murid, bertukar basa-basi dengan Daozhang Qingfeng beberapa saat, lalu pergi ke becak tiga roda untuk mengambil barang bawaanku. Sambil memanggul barang, kudengar kakek berpesan panjang lebar: patuhilah perkataan Daozhang Qingfeng, rajin-rajin, banyak belajar membaca situasi, dan sebagainya, sebelum akhirnya pulang mengendarai becak tiga roda.
Memandang punggung kakek yang semakin menjauh, kusadari dia benar-benar sudah tua. Dan aku pun sadar, diriku sudah benar-benar dewasa.
Terkadang, waktu berlalu begitu cepat...
Waktu terkadang adalah yang paling berbelas kasih di dunia, karena bisa menghapus segala rasa sakit.
Tapi waktu juga terkadang yang paling kejam di dunia, karena bisa melenyapkan segala keindahan.
Tak seorang pun bisa menghindarinya.
Setelah mengantar kepergian kakek, aku kembali ke Biara Bambu Hijau. Daozhang Qingfeng sudah menungguku di dalam ruangan.
Melihatku kembali, dia mengusap janggut kambingnya sambil tersenyum: "Muridku, pepatah mengatakan sekali jadi guru, selamanya jadi ayah. Karena gurumu sudah menerimamu sebagai murid, harus ada hadiah. Buku 'Ensiklopedia Ilmu Maoshan' ini akan kuberikan sebagai hadiah perkenalan!" Daozhang Qingfeng mengeluarkan buku kekuningan dari balik jubahnya.
Kulihat sekilas, sampul buku ini bertuliskan tiga karakter besar "Jin Ping Mei"!
“Aku... Aku bilang Shifu, kayaknya kamu salah ambil deh?...” Aku menatap Master Qingfeng sambil berkata.
“Ha?! Ini... Gurumu ini sudah membaca banyak buku, ilmu setinggi gunung, mempelajari segala karya sastra dengan penuh penghayatan sastrawi!” Master Qingfeng menyimpan buku "Jin Ping Mei" sambil mengeluarkan buku lain dari dalam jubah Taonya dan menyodorkannya padaku.
Begitu melihat judul "Panduan dan Teknik Pengawinan Babi", rasanya ingin kulemparkan buku itu ke kepala gembulnya!
“Murid, jangan hanya lihat permukaan. Buka dan baca isinya. Buku warisan leluhur "Pegangan Ilmu Taois Maoshan" ini sangat berharga, tentu perlu disamarkan sampulnya.” Master Qingfeng menjelaskan padaku.
Aku membuka buku "Panduan dan Teknik Pengawinan Babi" dengan perasaan mengalah sementara untuk menghindari pukulan. Di halaman pertama, benar-benar terlihat barisan karakter besar "Pegangan Ilmu Taois Maoshan".
Membalik halaman berikutnya, terpampang berbagai metode menaklukkan siluman dan menangkap hantu, disertai diagram mirip buku rahasia ilmu silat. Termasuk catatan tentang tumbuhan dan benda-benda aneh beserta cara penggunaannya untuk menghadapi makhluk halus.
Bahkan ada pengetahuan membaca garis wajah manusia, feng shui bangunan dan kuburan. Melihat ini, di hati aku bergembira. Jika bisa menguasai feng shui kuburan, pasti akan menemukan Tanah Pemeliharaan Mayat itu.
Yang perlu kulakukan sekarang adalah memperbanyak kemampuan. Setidaknya saat menghadapi zombie mutasi mayat, aku punya kemampuan melawan dan melarikan diri.
“Bagaimana? Hadiah perkenalan dari Shifu ini lumayan kan?” Taoist Qingfeng menatapku sambil bertanya, sambil mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya, mengambil sebatang dan menjepitnya di mulut:
“Mau ngerokok?”
Aku menggelengkan kepala dan bertanya: “Shifu, seorang Taois boleh merokok?”
“Kenapa tidak? Sekarang biarawati saja bisa beli pil KB, apa anehnya gurumu merokok?!” Taoist Qingfeng mengeluarkan korek api, menyalakan rokoknya, menghirup dalam-dalam lalu melanjutkan: “Bawa selalu buku Pegangan Ilmu Taois Maoshan, jangan sampai hilang. Tas tinggal di sini, ikut aku.”
Mendengar perintah Qingfeng yang kini menjadi guruku, terpaksa aku mengikutinya keluar rumah menuju area belakang.
Berhenti di samping kebun sayur belakang, Taoist Qingfeng menunjuk ke tanaman: “Rawat baik-baik ini. Siram tepat waktu, beri pupuk, cabut rumput, tangkap hama. Juga jangan lupa kasih makan ayam-ayam di sebelah. Itu dapur di depan ada kompor gas, masak di situ. Oh ya, malam ini aku mau makan terong bumbu kecap dan sup gambas, selesai sebelum jam enam.”
Mendengar ini, darahku langsung naik. Kutatap tajam: “Ini menerima murid atau mencari pembantu rumah tangga?”
“Eh, habis makan malam, siapkan juga air mandi panas untukku.” Taoist Qingfeng pura-pura tak dengar, terus memerintah.
“NGGAK MAU!” Aku menolak tegas. Aku juga punya harga diri sebagai lelaki.
“Apa? Aku ini master, kau murid, wajar kan master menyuruh murid kerja dikit?” Pendeta Qingfeng memandangku dengan wajah terkejut, seolah-olah jika aku menolak, pantas dihukum mati.
“Aku tidak mau, aku datang kesini untuk belajar ilmu Tao, bukan untuk memberi makan ayam dan berkebun.” Kataku.
“Kalau tidak mau, aku tidak akan mengajarimu ilmu Tao. Mau atau tidak?” Pendeta Qingfeng bertanya sambil menatapku.
Seorang paman paruh baya ini malah mengancamku, seorang anak kecil! Hal paling menyebalkan di dunia...
Memandang wajahnya yang menjengkelkan itu, dengan putus asa kuambil cangkul di samping dan berjalan menuju kebun.
Terpaksa menunduk di bawah atap orang. Pokoknya nanti setelah kuasai ilmu Tao, carilah tanah pemakaman, lalu gunakan jamur mayat untuk menyelamatkan An Rushuang, biar An Rushuang yang menghajarnya!
Aku yakin pendeta kurus seperti monyet yang kecanduan game ini bukan tandingan istri hantu perempuanku.
