Sepanjang sore aku sibuk di kebun: menyiangi gulma, menyiram air, memberi makan ayam, membersihkan kandang, lalu masak. Untung bahan masakan tersedia di kebun - cuci sayur, potong, tumis, sajikan.
Beruntung dulu belajar masak dari nenek, kalau tidak hari ini benar-benar bingung.
Kurang dari setengah jam, kukukus mantou di dapur dan selesaikan masakan. Melihat jam hampir pukul enam, segera kularikan ke aula utama untuk memanggil Pendeta Qingfeng makan.
"Sampai di dalam tidak melihat siapa-siapa, tanpa perlu menebak aku sudah tahu di mana dia."
Keluar dari aula, berjalan menuju ruangan tempat Daozhang Qingfeng sebelumnya bermain game. Benar saja, suaranya terdengar dari dalam:
"Mid lane mid lane, cepat serang! Jangan biarkan dia kabur!!"
"Shifu! Makan sudah siap." Kataku sambil masuk ke ruangan.
"Kamu makan dulu, aku habiskan game ini dulu. Mau lihat shifumu jadi carry?" Daozhang Qingfeng berkata tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
"Tidak tertarik."
Keluar dari ruangan, aku terpaksa kembali sendirian ke dapur dan melahap makanan di meja sambil memuji-muji rasanya yang enak.
Usaha sendiri, berkecukupan!
Mungkin karena sayuran organik ini memang lezat, atau mungkin karena kesal diperlakukan sebagai pembantu oleh Daozhang Qingfeng, aku menghabiskan semua lauk tanpa sisa.
"Murid, masakanmu enak sekali. Aroma wanginya sudah tercium dari luar." Suara Daozhang Qingfeng terdengar dari luar.
Dia masuk ke ruangan. Ekspresinya langsung membeku saat melihat dua piring kosong di meja.
"Shifu, masih ada sedikit sup..." Kataku gugup melihat raut wajahnya.
"Dasar anak kurang ajar! Balas dendam lewat makanan ya?!" Daozhang Qingfeng masuk sambil duduk di hadapanku.
Kubuat wajah sangat tersakiti: "Kan shifu yang suruh aku makan dulu."
"Kira bisa mengalahkan Daozhang ini? Ketahuilah, Daozhang ini punya mi pedas Wei Long!" Dia mengeluarkan sebungkus mi pedas dari entah mana dan mulai menyantapnya dengan roti kukus.
Sambil makan, dia berkata: "Ada Taobao, memang praktis!"
Setelah Master Qingfeng selesai makan, aku membereskan meja dan mencuci piring. Setelah semua selesai, ketika keluar kulihat langit sudah gelap. Cuaca benar-benar mendung, dan angin mulai bertiup kencang.
Melihat kondisi langit yang tidak baik, kuduga sebentar lagi akan hujan. Aku pun berjalan menuju kamar Master Qingfeng.
"Shifu, malam ini aku tidur di kamar mana?" tanyaku saat masuk.
"Di belakang dapur ada dua kamar, fasilitasnya bagus. Kamu bisa tidur di sana." Kali ini dia tidak bermain game, melainkan duduk bersila di tempat tidur dengan mata terpejam.
Mendengar perkataan Master Qingfeng, aku berjalan ke belakang dapur. Sesampai di lokasi, melihat rumah yang ditunjukkannya, hatiku seperti diterjang sepuluh ribu kuda lumpur—ini adalah gubuk reyek yang hampir roboh!
Ini balas dendam, balas dendam yang telanjang!
Kuperhatikan dari atas ke bawah, gubuk ini jelas bekas kandang babi yang sudah tidak terpakai. Masak layak untuk ditinggali?!
Atap gubuk penuh lubang bolong, sudah tidak bisa menahan angin dan hujan. Tembok yang tersisa pun compang-camping, berantakan di mana-mana.
Tiupan angin menerpa, tembok bergoyang sejenak tapi akhirnya tetap bertahan. Sekarang aku mulai mengagumi tembok-tembok compang-camping ini. Meskipun diterjang badai, tetap tegak berdiri, diam-diam menahan terpaan angin, tak mau menyerah dan roboh.
Hidup manusia pun seperti ini. Ini pelajaran berharga untukku sekarang!
Tiupan angin kembali datang. Tembok bergoyang sejenak... lalu roboh...
Melihat gubuk jerami yang roboh diterpa angin, aku memutuskan untuk membalas dendam.
Master Qingfeng ini benar-benar keterlaluan. Memikirkan itu, aku langsung menggendong tas dan berlari menuju ruangan tempat Master Qingfeng sedang bermeditasi.
Aku berencana mengajaknya berdiplomasi dulu sebelum bertindak kasar. Akan kubicarkan alasan logis dan sentuhan emosional agar dia mau mengganti pondokanku. Jika tidak bisa tidur nyenyak, dia pun jangan harap bisa beristirahat tenang!
Setelah mantap dengan keputusan, aku tiba di depan kamar tidur Master Qingfeng. Lampu di dalam masih menyala.
"Murid, kau mengendap-endap di depan pintuku mau apa?" Suara Master Qingfeng sudah terdengar dari dalam sebelum sempat aku masuk.
Sudah ketahuan, tak ada gunanya bersembunyi. Kuderobos pintu sambil menatap Master Qingfeng yang masih duduk bersila di atas ranjang: "Gubuk yang kau berikan itu layak huni? Bisa untuk tidur? Tertiup angin sedikit langsung rubuh! Aku akan lapor ke kakekku, aku mau refund!!"
Master Qingfeng mengangkat kelopak matanya perlahan setelah mendengar protesku: "Dengan mental lembek seperti ini mau belajar ilmu Tao dariku? Tidak punya kamar tidur kenapa? Seorang Tao sejati menjadikan bumi sebagai ranjang, langit sebagai selimut, seluruh dunia sebagai rumah! Di mana pun bisa tidur!"
"Lalu kenapa kamu tidur di dalam kamar?" Tanyaku sinis. Aku takkan termakan omong kosongnya.
“Shifu saya punya penyakit rematik, tidak boleh?!” Master Qingfeng berteriak padaku, lalu turun dari tempat tidur dan berkata, “Malam ini Shifu akan mulai memberimu tugas. Tugasmu malam ini adalah tidur semalaman di kompleks pemakaman belakang kuil, baru kembali besok pagi!”
Mendengar perkataan Master Qingfeng, hampir saja aku melompat ketakutan:
“Aku tidak mau tidur di kompleks makam!” Kompleks makam ini adalah sebutan kami untuk kuburan, terutama kuburan pedesaan dimana kremasi belum sepenuhnya diterapkan. Begitu malam tiba, cahaya hantu fosfor terus beterbangan. Jika harus tidur sendirian di sana, bukankah itu berarti bunuh diri?
“Bahkan nyali segini pun tidak punya, lebih baik cepat gulung tikar dan pergi! Ngomong-ngomong, uangnya tidak bisa dikembalikan.” Master Qingfeng memandangku dengan tatapan merendahkan.
“Aku...” Perkataan Master Qingfeng membuatku tercekat.
“Hmph! Dengan kepengecutanmu ini, masih berani mencari zombie yang mengalami mutasi mayat? Bukan maksudku menghina, tapi kurasa jika benar-benar bertemu, kau pasti mengompol ketakutan!” Master Qingfeng terus menyindirku melihatku diam.
“Pergi ya pergi! Cuma tidur di kompleks makam kan? Aku berangkat sekarang.” Kataku sambil menggendong tas dan berbalik meninggalkan kamar.
“Tunggu, bawa ini.” Master Qingfeng melemparkan sebuah senter.
Memegang senter, aku berjalan keluar gerbang kuil dengan langkah gemetar. Begitu melewati gerbang, pemandangan gelap gulita di sekeliling disertai desau angin langsung membuatku menyesal.
"Tapi sekarang sudah seperti menunggang harimau, menyesal pun tak berguna, terpaksa terus maju..."
Aku menyalakan senter, pergi ke belakang kuil Tao, menemukan jalan setapak berliku-liku, lalu mengikutinya.
Di kedua sisi jalan tumbuh rumput setinggi pinggang, angin dingin menderu menggerakkan rerumputan, suara gesekan tajam bagikan teriakan hantu.
Aku menarik napas dalam-dalam, langkahku tak sengaja dipercepat, terus berjalan maju. Aku tak berani menoleh, di belakangku hanya kegelapan tak berujung.
Dan aku terus merasa ada sesuatu yang mengikutiku dari belakang, saat kucepat ia ikut cepat, saat kulambat ia ikut lambat. Ketakutan ini membanjiri kepalaku, dengung di telinga, keringat dingin sudah mengalir dari dahiku.
Sejak kecil aku sudah punya fobia tak rasional terhadap kegelapan!
Dengan hati gemetaran, akhirnya sampai di ujung jalan. Aku mendongak dan langsung menarik napas tajam!
Di hadapanku terbentang kuburan tak terhitung yang tak terurus, seolah sudah ditinggalkan lama. Diterpa lolongan angin kencang, semakin menyeramkan.
Saat melihat pemandangan ini, bulu kudukku langsung meremang. Tiba-tiba teriakan menusuk menerobos malam, masuk ke telingaku: pertama suara "kukuruyuk...kukuruyuk...", lalu berubah menjadi tawa aneh yang mengerikan:
"Kekekeke..."
Suara yang tiba-tiba ini langsung membuatku kaget bukan main! Refleks, aku mengarahkan senter ke arah sumber suara.
Di bawah sorotan lampu, seekor burung hantu hitam sedang bertengger di atas sebuah nisan, menatapku dengan mata hijau yang menyala, sesekali mengeluarkan suara tawa "kekekek…"
Tawa semacam ini terlalu menyeramkan, membuat seluruh tubuhku merinding.
Ketika melihat jelas burung hantu aneh ini, jantungku langsung berdebar kencang! Seluruh tubuh terasa dingin menusuk tulang!
Burung hantu ini membelakangiku, tapi kepalanya terputar 180 derajat, menatapku dengan seluruh wajahnya.
Alasan aku ketakutan, pertama karena burung hantu ini terlalu aneh—tidak takut manusia—belum lagi kepala yang terpelintir 180 derajat itu benar-benar mengerikan!
Di desa kami ada pepatah: Tak takut burung hantu berkokok, yang ditakuti burung hantu tertawa.
Di sini, banyak orang sangat percaya pada pepatah ini karena memang terbukti. Ketika burung hantu tertawa di suatu tempat, tak lama kemudian pasti ada yang mati di situ.
Masih kuingat kejadian tentang Kakek Chengxiao yang tinggal bersebrangan jalan dengan rumah kakekku. Kakek tua itu beberapa tahun lalu sering didatangi burung hantu yang berkokok di depan rumahnya.
Melihat itu, kakekku menghela napas dan berkata pada nenek: "Ah! Kakek Chengxiao juga sebentar lagi sampai di ujung jalan."
Tepat satu minggu setelah perkataan kakekku, kakek tua itu benar-benar meninggal…
Peristiwa ini meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagiku!
Malam ini burung hantu ini terus menatapku sambil tertawa, apakah aku akan... Aku tidak berani melanjutkan pikiranku...
Dalam situasi ini, malam yang gelap gulita, angin dingin menderu, di antara kumpulan makam yang dipenuhi rumput liar, seekor burung hantu aneh dan menyeramkan berdiri di atas nisan sambil memandangimu dan sesekali mengeluarkan tawa yang mengerikan.
Siapa yang tidak takut, aku akan memanggilnya kakek!
Karena ketakutan ini, pikiranku secara refleks teringat pada An Rushuang, tapi aku tahu dia tidak bisa lagi keluar dari giok itu.
Begitu teringat padanya, aku langsung teringat pengorbanannya menyelamatkanku dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Aku segera mencaci diriku sendiri yang pengecut!
Masak sampai segitunya takut pada burung hantu? Bagaimana nanti kalau menghadapi zombie yang bangkit dari kematian?!
Tampaknya Pendeta Qingfeng sudah lama menyadari sifat pengecutku. Tidak boleh! Aku harus melatih nyaliku!
Dengan pikiran itu, aku segera mengambil batu dari tanah dan bersiap melemparnya ke burung hantu yang masih menatapku itu!
Tapi sebelum sempat melempar, aku langsung membeku karena terkejut.
