Karena di belakang burung hantu itu, aku melihat sesuatu yang membuat darahku membeku dan pikiranku kosong! Saat ini aku ingin lari, tapi kaki lemas seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeramku, tidak bisa bergerak sama sekali!
Di belakang burung hantu itu bukanlah yang lain, melainkan api hantu yang memancarkan cahaya kebiruan samar-samar bergoyang-goyang, semakin terlihat aneh setelah disinari senter di tanganku.
Saat melihat api hantu ini, jantungku serasa melompat ke tenggorokan!
Meski ilmu pengetahuan modern telah menjelaskan bahwa api hantu hanyalah fosfor dari mayat yang membusuk, fenomena alam biasa, namun dalam situasi seperti ini tetap membuatku merinding ketakutan.
Telapak tangan yang memegang senter kini basah oleh keringat, detak jantungku terdengar jelas, deg... deg...
Tiba-tiba, api hantu itu mulai melayang perlahan ke belakang kompleks makam tua. Tak lama kemudian, tiga empat api hantu lain muncul di berbagai tempat, mengambang di udara bagai ditarik benang tak kasatmata, bergerak bersama menuju satu arah di belakang makam.
Bersamaan dengan itu, burung hantu aneh itu pun mengeluarkan suara melengking, mengepakkan sayap dari nisan dan terbang ke arah yang sama dengan gerombolan api hantu!
Menyaksikan pemandangan ini, selain rasa ngeri dan takut, muncul perasaan aneh dalam diriku: Ke mana mereka pergi? Untuk apa? Jangan-jangan burung hantu dan api hantu ini saling berhubungan?
Meski pertama kali mengalami kejadian seperti ini, sekarang aku yakin: Api-api hantu itu pasti bukan fenomena alam biasa, apalagi sekadar kebetulan!
Namun, melihat cahaya-cahaya hantu itu tidak menuju ke arahku, hatiku lega sekaligus rasa penasaran yang besar menguasai diriku. Rasa takut pun tertahan, kakiku mulai melangkah mengikuti arah cahaya-cahaya hantu yang melayang itu.
Aku ingin tahu ke mana cahaya-cahaya hantu itu akan pergi, dan apakah burung hantu yang terus menatapku sambil terkekeh itu juga akan muncul di sana?
Sambil mengikuti, aku mematikan senter untuk mengurangi risiko ketahuan. Untungnya cahaya-cahaya hantu itu bergerak cukup lambat sehingga bisa kukejar dalam gelap.
Tanpa sadar, aku mengikuti cahaya-cahaya itu keluar dari kompleks makam angker ini menuju padang rumput liar. Dengan menggigit gigi, aku menerobos masuk ke dalam padang rumput setelah melihat cahaya-cahaya itu melayang masuk.
Tanpa jalan setapak dan rumput setinggi pinggang yang menghalangi pandangan, aku hampir terjatuh beberapa kali. Nyamuk-nyamuk yang berkeliaran di sekitar kepalaku terus menggigit, hampir membuatku kehilangan jejak.
Untungnya angin kencang sebelumnya sudah mereda dan cuaca membaik. Cahaya bulan yang menembus awan gelap sangat membantu, karena dalam kondisi sebelumnya, mengikuti jejak akan sangat sulit.
Setelah mengikuti cahaya-cahaya hantu itu cukup lama, akhirnya aku keluar dari padang rumput liar. Saat itu juga, rasanya ingin mengumpat sekeras-kerasnya.
Kawasan Beijiushui ini adalah tempat wisata yang indah, tapi kenapa di sekitar Kuil Qingzhu hanya ada tanah gersang dan kuburan? Surganya kuburan, dunianya nyamuk!
Sambil meraba benjolan gigitan nyamuk di wajah dan lengan, aku melihat ke depan dan menemukan sebuah desa kecil. Desa itu tidak besar, mungkin hanya puluhan rumah. Ada cahaya lampu yang terpencar, tampaknya masih ada yang belum tidur.
Melihat ini, aku mengeluarkan ponsel untuk mengecek waktu. Baru sadar baterai ponsel sudah habis. Terpaksa kumasukkan kembali ke saku.
Memperhatikan bola-bola api hantu itu, kulihat mereka bergerak mendekati salah satu yang lain. Tak lama kemudian menyatu menjadi bola api hantu yang lebih besar tapi lebih suram.
Jantungku berdebar ketakutan. Apa-apaan ini? Bola api hantu bisa menyatu sendiri? Apa hari sialku ini benar-benar bertemu makhluk halus?
Tapi setelah kupikir-pikir, ada yang janggal. Jika benar makhluk halus, bagaimana bisa kulihat? Mata Yin Yang-ku sudah disegel. Tapi jika bukan hantu, penjelasannya tidak masuk akal. Bola-bola api tadi jelas punya kesadaran sendiri, bukan sekadar fenomena fosfor menyala biasa.
Jangan-jangan mereka sengaja memperlihatkan diri? Lalu memancingku ke sini?
Pikiran ini membuat bulu kudukku merinding.
“Takut apa?! Kita masih harus menyelamatkan An Rushuang nanti. Kalau hal kecil begini saja sudah ciut nyali, dengan apa kita akan menyelamatkannya?!” Kuberi semangat pada diri sendiri dalam hati, kutekan gigi dan paksakan diri mengikuti cahaya hantu itu meski rasa takut membara.
Cahaya hantu berpendar biru itu melayang ke arah desa kecil di depan, lalu berhenti tepat di depan gerbang rumah salah satu warga.
Kemudian mulai berputar-putar dengan gerakan tak menentu mengelilingi seluruh rumah warga tersebut.
Rangkaian perilaku aneh si cahaya hantu ini membuatku semakin penasaran. Ada apa dia berputar-putar mengelilingi rumah ini? Semakin lama kulihat, bulu kudukku semakin merinding.
Setelah beberapa kali mengitari rumah, cahaya hantu itu tiba-tiba melayang ke atap rumah. Bentuknya berubah menjadi bola bercahaya biru mengerikan yang terus berguling-guling di atas genteng.
“Kekeke...” Suara tawa serak yang terdengar familiar namun menusuk telinga itu kembali memenuhi pendengaranku.
Kulihat ke belakang, burung hantu yang tadi tertawa di atas kuburan itu juga terbang mendekati rumah yang dikelilingi cahaya hantu. Ia hinggap di cabang pohon depan rumah sambil terus tertawa "kekeke..." ke arah pintu rumah.
Suara tawa itu benar-benar menyeramkan dan menakutkan, membuat seluruh tubuhku merinding tidak karuan.
"Aku tak bisa menahan bulu kudukku merinding, apa yang sedang Api Hantu dan Burung Hantu lakukan pada keluarga itu di tengah malam?"
Saat aku bersiap mendekat untuk melihat lebih jelas, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dengan keras. Seluruh tubuhku gemetar ketakutan. Cepat aku menoleh, ternyata itu adalah Shifu-ku, Master Qingfeng!
"Kalau kau tidak mau mati, jangan mendekat ke sana!!" Master Qingfeng membisikkan peringatan itu dari belakangku dengan suara tertekan.
"Mengapa kau menguntitku?! Bagaimana caramu berjalan tanpa suara sama sekali? Baru saja kau hampir membuatku mati ketakutan!" Kataku pada Master Qingfeng sambil menatapnya, jantungku masih berdebar kencang akibat terkejut.
“Cuma segini nyalinya, masih mau cari jamur mayat? Menurutku lebih baik kamu pulang ternak babi saja, lebih realistis.” Master Qingfeng mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya.
Aku yang melihat tingkahnya yang menjengkelkan ini juga malas berdebat, lalu bertanya: “Api hantu biru di atas atap rumah itu sebenarnya apa? Apakah burung hantu itu datang bersama api hantu tadi? Aku lihat mereka datang berbarengan.”
Master Qingfeng menghisap rokoknya, menatap tajam api biru yang masih berguling-guling di atap rumah itu beberapa saat, baru berkata padaku: “Ini hantu yang mencari nyawa, murid. Lihatlah, besok di keluarga ini pasti ada yang mati. Dan orang itu saat mati pasti posisi wajah menghadap bawah, punggung menghadap langit.”
Setelah mendengar perkataan Guru Qingfeng, hatiku langsung berdebar kaget. Dalam keterkejutanku, aku buru-buru berkata, "Lalu harus bagaimana, Shifu? Bisakah kau mencari cara untuk menolong orang itu dan mengusir si bola api hantu itu?"
Guru Qingfeng mendengar ucapanku, langsung menampar kepalaku sambil berkata, "Apa kau ingin memperpendek umur gurumu? Ini arwah leluhur keluarga mereka sendiri yang datang menuntut nyawa. Petugas neraka pun tidak mau ikut campur, apalagi aku orang luar yang ikut urusi apa?!"
Mendengar penjelasannya, aku semakin bingung. Masak iya leluhur keluarga sendiri setelah mati malah menyakiti keturunannya? Sebesar apa dendamnya? Seberapa besar kezaliman yang mereka alami sampai seperti ini?
"Ngapain masih melongo?! Cepat ikut aku pulang. Kau beruntung malam ini ketemu hantu penuntut darah, jadi sementara tidak perlu tidur di kuburan." Guru Qingfeng berdiri sambil menarik tanganku untuk kembali.
"Tapi... orang itu tidak kau selamatkan?" Tanyaku sambil tertarik olehnya.
"Menyelamatkan apa lagi? Keluarganya sendiri yang ingin saling membunuh, ngapain aku ikut campur?" Guru Qingfeng menginjak puntung rokoknya.
"Masih pantaskah kau disebut daoshi? Kakekku pernah bilang, tugas kalian para praktisi Tao adalah menangkap hantu dan memberantas siluman. Bagaimana bisa kau tega membiarkan orang mati? Jika kau tidak mau, aku yang pergi! Aku tidak percaya bola api sialan itu bisa membalikkan langit!" Aku melepaskan genggamannya dan berlari ke arah desa.
“Tepat saat aku berbalik dan belum berlari beberapa langkah, tiba-tiba kepala belakangku terasa nyeri, kemudian pandangan menggelap, dan aku pingsan...
Entah berapa lama, sampai akhirnya aku terbangun karena ingin buang air kecil. Membuka mata, ternyata hari sudah siang. Melihat sekeliling, baru sadar diriku sedang terbaring di ranjang kayu sebuah ruangan di Kuil Qingzhu.
Menggerakkan anggota badan yang masih kaku, rasa nyeri menusuk muncul di belakang kepala. Benar-benar kejam cara Daozhang Qingfeng memukul!
Mengusap kepala dan memakai sepatu, aku turun dari tempat tidur. Melihat tas ranselku juga diletakkan di atas meja tengah ruangan. Kuambil tas itu dan berjalan keluar ruangan.
Baru saja keluar, kulihat Daozhang Qingfeng sedang perlahan memainkan Tai Chi di tengah halaman.
Melihat wajahnya yang pucat seperti mayat tiga setengah bulan tak dikubur, amarahku langsung meluap. Kulanjutkan langkah, mendekatinya sambil menunjuk dan memaki:
"Hei monyet kurus! Kenapa kemarin malammu menyergapku? Beginikah caranya jadi guru? Langsung memukulku sampai pingsan, keterlaluan kau! Dengar ya, mulai sekarang aku ogah lagi sama kamu. Takkan mau jadi murid orang tak berperasaan. Uang itu anggap saja buat beli peti mati, aku pergi!" Kataku sambil bersiap pergi dengan tas.
Aku benar-benar tak tahan melihat orang kejam yang tak mau menolong seperti ini!
“Bagaimana kau tahu bahwa hantu penuntut nyawa itu pasti layak mati? Harusnya kutaklukkan? Dan bagaimana kau tahu orang yang dibunuh hantu itu tidak layak mati?” Suara Pendeta Qingfeng terdengar dari belakangku.
Mendengar ucapannya, aku tertegun sejenak, tubuhku berhenti bergerak. Benar juga, aku bukan pihak yang terlibat, mana mungkin tahu dendam kesumat antara hantu itu dengan korbannya? Setelah dipikir-pikir, perkataan Pendeta Qingfeng memang masuk akal.
“Tapi...tapi kau tidak boleh tinggal diam melihat nyawa melayang. Seorang pendeta sepertimu harusnya mencegah hantu membunuh orang,” kataku sambil menoleh ke arahnya.
“Kau salah. Di dunia ini, tidak semua hantu layak mati, juga tidak semua manusia layak hidup. Pendeta? Lalu apa? Kami hanyalah sekelompok orang yang takdirnya tidak lengkap.” Pendeta Qingfeng berdiri tegak, tangan terkunci di punggung.
Mungkin karena halusinasi, saat sinar matahari menyinari wajahnya, tiba-tiba kurasakan wajahnya yang biasanya menyebalkan itu terlihat lebih berwibawa...
