Sambil mikir begitu, kuambil ponsel dari saku, cari charger di tas, siapkan untuk ngecas. Pengen buka internet, tapi nggak tau ada Wifi atau nggak. Habis cas coba deh, kalau ada bisa download film malam ini, biar nggak sia-sia ngadepin bulan dan bintang.
Penyair dan filsuf terkenal Li Bai pernah berkata: "Di puncak kebahagiaan, habiskanlah kegembiraan, jangan biarkan cawan emas kosong menatap bulan." Entah bahagia atau tidak, yang penting senang dulu. Apakah kesadaran ini lebih tinggi dari Li Bai?
Baru beberapa menit ngecas, sudah nggak tahan. Buru-buru kuaktifkan ponsel. Begitu menyala, beberapa SMS masuk bertubi-tubi. Kubuka satu per satu.
Pertama pemberitahuan panggilan tak terjawab dari ibu, lalu dari Leizi.
“Awalnya, aku menelepon ibuku untuk memberitahu situasi terkini agar mereka tenang. Sebenarnya, kakek sudah memberitahu orangtuaku soal aku menjadi murid guru ini, jadi aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar.”
“Setelah menutup telepon, aku mencoba menelepon Lei Zi. Tapi dering telepon berlanjut tanpa ada yang mengangkat. Kukira pasti dia sedang asyik bermain game dengan headphone di rumah!”
“Saat meletakkan ponsel, kusadari ada satu SMS yang belum kubaca. Isinya memberitahu bahwa satu jam lalu ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal.”
“Melihat pemberitahuan ini, hatiku mulai berkhayal. Nomor ponselku hanya diketahui orang-orang dekat. Jangan-jangan ini nomor Fang Ziyan yang baru minta nomorku hari ini?”
“Si bunga kelas ini aktif minta nomorku dan bahkan menelepon. Apa dia benar-benar naksir aku?”
“Tapi kok rasanya aneh. Aku tahu diri. Walaupun wajahku tampan dan menawan, tidak mungkin Fang Ziyan sampai segitu aktifnya.”
“Dia itu bunga kelas. Orang-orang yang ngejar dia bisa mengantri dari gerbang sekolah sampai lapangan basket!”
“Pasti ada alasan tertentu. Setelah menganalisa lama, akhirnya kudapat kesimpulan:”
“Mungkin aku yang overthinking. Untuk memastikan apakah Fang Ziyan naksir aku, pertama harus verifikasi dulu apakah nomor itu miliknya. Dengan itu, kuputuskan menelepon nomor tersebut...”
“Halo, kami dari XX asuransi. Mengingat polusi lingkungan yang semakin parah dan berdampak pada kesehatan...”
“Bangsat! Kulempar ponsel itu ke kasur sekuat tenaga!”
“Melihat ponsel yang kulempar ke tempat tidur, aku masih menggerutu dalam hati karena terlalu berasumsi. Tidak, ini bukan sekadar berasumsi, tapi lebih ke tidak tahu malu.”
“Menghela napas, aku bersiap melepas sepatu dan naik ke tempat tidur sambil bermain ponsel. Saat mencoba mencari sinyal Wifi di sekitar, tiba-tiba ponsel berdering. Kubuka dan melihat nomor tak dikenal lagi. Emosiku langsung meluap, perusahaan asuransi ini benar-benar keterlaluan. Kuangkat telepon dan berteriak, 'Apa kau idiot?! Barusan kutolak teleponmu, masih berani menghubungi lagi? Kalau berani telepon sekali lagi, kuancurkan perusahaan asuransimu dengan 500 kilogram mercon!' Teriakku penuh amarah ke telepon.”
“Di seberang garis jelas terkejut dengan seranganku, lama tak bersuara. Tepat saat kuputuskan untuk menutup telepon, suara Fang Ziyan terdengar:”
“Zuo Shisan, kamu... ada apa?”
“Ah? Kau Fang Ziyan? Aku... kukira telepon sales asuransi tadi lagi. Maaf, nomormu tidak tersimpan di kontakku jadi...” Wajahku memerah mendengar suaranya. Aku baru saja memarahi gadis ini tanpa alasan, rasanya sangat bersalah.
“Tapi... dia menghubungiku duluan?”
“Mungkinkah... mungkinkah dia sudah...”
“Tidak apa. Aku hanya ingin mengecek apakah nomorku masih aktif...” Kata Fang Ziyan di ujung telepon.
“Setelah mendengar perkataannya, perasaanku saat itu ibarat seekor angsa yang sedang terbang bebas di langit, tiba-tiba dihantam angin puting beliung hingga terjatuh ke tanah!”
“Oh, begitu ya…” kataku.
“Ngomong-ngomong, kamu masih ingat janjimu kalau aku main ke Kuil Qingzhu, kamu akan menjamuku?” tanya Fang Ziyan di ujung telepon.
“Ingat, mana mungkin lupa. Selain kita sekelas, sekalipun orang asing janjiku tetap berlaku,” jawabku.
Fang Ziyan tertawa di telepon, “Oke, liburan ini aku bosan sekali. Besok aku akan main ke Kuil Qingzhu dan menginap beberapa hari.”
“Apa? Menginap beberapa hari?!” Aku kaget. Apa gadis ini mengira kuil itu hotel? “Bermain sehari mungkin bisa kuminta izin Master Qingfeng, tapi menginap... bagaimana caranya?”
Fang Ziyan terdengar heran:
“Kenapa? Bukannya Kuil Qingzhu sangat luas? Apa tidak ada kamar kosong?”
“Bukan itu masalahnya. Ini bukan wewenangku, harus seizin guruku,” jawabku jujur. Aku tak bisa mengada-ada karena kuil ini milik Master Qingfeng.
“Baiklah, besok aku datang. Bawa aku menemui gurumu. Kalau benar-benar tidak memungkinkan tak apa. Aku mau mandi dulu, sampai jumpa besok!” Kata Fang Ziyan sebelum menutup telepon.
"Aku menatap ponsel, perasaan sedih menggelayut di hati. Tampaknya Fang Ziyan 50% berminat padaku, tapi aku sudah punya istri, An Rushuang. Mustahil aku mengkhianatinya."
"Ah! Terkadang, tampan itu juga sebuah dosa..."
Malam berlalu tanpa kejadian. Pagi berikutnya, saat aku masih bermimpi menghitung uang, teriakkan Master Qingfeng yang mirik dengkuran babi membangunkanku:
"Yang berat adalah akar yang ringan, ketenangan adalah penguasa kegelisahan. Tampilkan kesederhanaan, pegang kemurnian, kurangi keinginan pribadi. Bertindak tanpa tindakan, mengurus tanpa urusan, merasakan tanpa rasa. Yang mengenal orang disebut bijak, mengenal diri sendiri disebut tercerahkan. Mengalahkan orang lain adalah kekuatan, menguasai diri sendiri adalah keperkasaan. Tongkat sehasta, setiap hari dipotong setengahnya, takkan habis selamanya. Pasukan kuat akan hancur, kayu kuat akan patah; kulit keras akan retak, gigi lebih keras dari lidah tapi lebih cepat aus..."
Aku bangun dari tempat tidur, melihat keluar jendela. Langit masih gelap. Mengecek ponsel, belum jam lima pagi. "Dia sedang gila apa lagi ini?"
Terpaksa bangun karena bisingnya, aku mengenakan baju dan keluar. Memandang Master Qingfeng yang masih berteriak di halaman: "Guru, langit belum terang. Kau sedang meniru ayam jago berkokok atau bagaimana?"
Master Qingfeng melirikku, mendengus dingin:
"Kayu busuk tak bisa dipahat! Waktu terbaik setahun adalah musim semi, waktu terbaik sehari adalah pagi! Masak waktu berharga ini dipakai tidur? Menghabiskan waktu dengan sia-sia! Ikuti aku membaca, ini semua adalah intisari Tao kita."
Mendengar ini, aku dalam hati mengejeknya. Sok suci bilang menghabiskan waktu, padahal dia sendiri main game tidak ketinggalan!
“Ngomong-ngomong, Shifu, hari ini ada teman sekelas yang mau main ke sini.” Aku menatap Qingfeng Daozhang.
“Laki-laki atau perempuan?” Qingfeng Daozhang bertanya.
“Perempuan.” Jawabku.
“Tidak boleh, kuil ini tidak menerima tamu perempuan.” Kata Qingfeng Daozhang.
“Dia teman sekelasku.” Kataku.
“Teman sekelas juga tidak boleh.” Suara Qingfeng Daozhang tanpa celah untuk negosiasi.
“Dia sangat cantik.” Kataku.
“Chang'e datang pun tidak boleh! Ini aturan. Tanpa aturan tidak ada tatanan, mengerti? Shifumu adalah pria yang sangat berprinsip! Paham apa itu prinsip?” Qingfeng Daozhang menatapku dengan wajah serius.
“Tapi... keluarganya sangat kaya.” Aku mengarang.
Mendengar ini, Qingfeng Daozhang langsung berbalik menuju gerbang kuil.
“Shifu mau ke mana?”
“Gerbang masih dikunci, aku buka dulu...”
Aku memandang punggung Qingfeng Daozhang yang buru-buru membuka gerbang, kehabisan kata...
Pagi hari, setelah sarapan bersama Qingfeng Daozhang dan merapikan piring, aku langsung menuju kebun. Ayam-ayam sudah diberi makan, sekarang giliran menyiram sayuran sebelum matahari terik.
Saat asyik bekerja di kebun, tiba-tiba suara perempuan memotong kegiatanku:
“Wah! Teman sekelas Shi-san, tak kusangka rajin sekali. Pagi-pagi sudah sibuk ya?”
Aku menengadah, ternyata Fang Ziyan. Hari ini dia tampak sengaja berdandan rapi, mengenakan celana pendek jeans dan kaus lengan penduk putih bermotif bunga-bunga kecil, rambutnya dikepang model ekor kuda. Bentuk tubuhnya yang ramping dipadukan paras cantiknya, menambah kesan ceria khas gadis muda.
"Kok datang sepagi ini? Masuknya dari mana?" Tanyaku pada Fang Ziyan.
"Gerbangnya terbuka, tidak dikunci. Ya saya langsung masuk saja," jawab Fang Ziyan.
"Terus dari rumahmu naik apa ke sini?" Aku menatapnya sambil bertanya.
"Saya naik mobil sendiri. Ayo, temani saya jalan-jalan keliling. Ini pertama kalinya saya ke Kuil Tao." Fang Ziyan berkata sambil mendekatiku, dengan natural menyelipkan lengannya di siku tanganku.
Tidak, kebahagiaan ini datang terlalu mendadak, aku agak pusing...
Hanya kurasakan sentuhan lembut di lengan kiriku, kewarasan langsung melampaui jasad. Tapi meski tubuh Fang Ziyan ini lembut, kenapa sedingin ini?
Di saat itu, liontin giok di leherku tiba-tiba memanas. Sensasi api membakar di dada langsung menyadarkanku dari desa kelembutan Fang Ziyan.
Segera kutarik lenganku dari tubuhnya. Dalam hati kukira, pasti istri hantuku An Rushuang sedang cemburu.
Tidak bisa. Aku harus bisa mengendalikan diri. Bayangkan, sebagai perjaki yang tak pernah menyentuh wanita sejak kecil, menghadapi godaan Bunga Kelas, dibutuhkan keteguhan hati sebesar apa untuk menahan ini.
“Teman sekelas Fang Ziyan, ini... sepertinya tidak pantas? Lagi pula laki-laki dan perempuan tidak boleh terlalu dekat...” Aku berkata canggung pada Fang Ziyan.
Fang Ziyan tersenyum natural setelah mendengar ucapanku, “Hehe... Shisan, sekarang sudah zaman apa lagi? Masih konservatif begitu. Jangan-jangan sampai sekarang kamu belum pernah menyentuh perempuan?” Sambil berkata demikian, tubuhnya semakin mendekatiku.
