Lin Muxin yang baru saja menutup telepon juga melihatku dan Lei Zi. Dia tertegun sejenak, mungkin tidak menyangka kami akan datang ke rumahnya. Lalu melempar ponselnya ke meja, berdiri dan berjalan mendekati kami.
"Ayah, kenapa Bapak bawa mereka ke sini?" Ternyata dia memang putra Lin Sen. Aku baru sadar Lin Sen yang berusia sebaya ayahku ini kulitnya jauh lebih putih - jelas terlihat perbedaan antara orang kaya dan kami orang desa.
"Jangan asal bicara! Ini adalah Master Zuo yang Kupanggil untuk membantu urusan rumah kita," kata Lin Sen sambil menatapku.
"Hahaha... Ayah, Bapak sedang berbicara apa? Apa Bapak sudah putus asa sampai memanggil dukun palsu? Dia cuma teman sekelasku! Mana mungkin dia seorang master Tao? Mereka berdua jelas penipu!"
Aku tidak marah. Memandang Lin Muxin kujelaskan: "Teman Lin, aku benar-benar bukan penipu. Saat liburan musim panas aku berguru di Kuil Qingzhu dan mempelajari ilmu Tao. Ayahmu bukan orang bodoh, mana mungkin tidak bisa membedakan penipu atau bukan?"
"Siapa sangka Lin Muxin mendengus, memandangku dengan sinis sambil berkata: 'Keluarga Zuo, apa kau sampai kelaparan di rumah? Sebagai anak yatim yang bahkan orang tuanya tak mau mengurus, aku kasihan. Tapi berani-beraninya menipu di depan rumah kami, kau pikir keluarga kami bodoh?!'"
Sejak kecil, kakek yang selalu mewakili orang tuaku di rapat orang tua. Karena itu banyak teman sekelas yang membicarakanku sebagai anak liar.
Perkataan Lin Muxin ini menyentuh titik kelemahanku. Aku langsung naik darah, menyeringai dingin: "Menipu uang? Tak sampai segitunya. Tapi lain kali jangan panggil namaku langsung. Secara senioritas, kau harus memanggilku paman!" Aku memang selalu seperti ini - takkan memberi muka manis pada yang menghinaku.
"Zuo Shisan, lihat baik-baik! Ini di keluarga Lin! Coba berani menghina lagi?!"
"Hina lagi kenapa? Jika kau terus provokasi, aku bisa tumbangkan kau di sini sekarang juga! Percaya?!" Lei Zi yang pemarah ini mulai meledak. Saat marah, dia tak takut siapa pun. Seperti katanya: "Raja langit nomor satu, dia nomor dua".
Kuhentikan Lei Zi, menatap Lin Muxin: "Aku tak menghinamu. Ayahmu memanggilku kakak, pantas kau memanggilku paman. Di depan anakmu sendiri, katakan apa panggilanmu padaku." Aku menoleh ke Lin Sen.
"Taoist Zuo, mohon jaga reputasiku di depan anak..." Wajah Lin Sen pucat pasi, memandangku dengan wajah serba salah.
“Kamu mau muka atau nyawa?” Aku menatap Lin Sen dengan sengaja berpura-pura bersikap dingin dan bertanya.
Sekarang aku hanya punya rasa jijik dan benci pada orang sepertimu. Saat kamu selingkuh dan menghancurkan nyawa mahasiswi itu, kenapa tak memikirkan harga dirimu?
Laozi memang sedang mempermainkanmu!
Lin Sen kini hanya bisa menelan ludah sendiri. Ia menarik napas dalam, menggigit bibir, lalu memanggilku dengan suara rendah: "San... San Ge..."
Melihat ini, Lin Muxin membuka mulut lebar-lebar, benar-benar terpaku. Aku yakin, kini dia mulai meragukan jalan hidupnya sendiri...
Lei Zi di samping juga terkejut dengan sikap Lin Sen padaku. Meski sepanjang perjalanan Lin Sen selalu sopan pada kami, tapi sampai segini sudah melampaui perkiraan Lei Zi.
Lin Muxin memandangi ayahnya dengan ragu: "Ayah, kau... kau memanggil si penipu itu apa?!"
"Jangan ikut campur! Ini bukan urusanmu! Cepat masuk kamar!" hardik Lin Sen pada anaknya.
"Ayah! Mereka cuma dua penipu! Kenapa kau tak percaya padaku? Aku sudah sekelas dengan si Zuo itu bertahun-tahun, mana ada tanda-tanda dia seorang daoshi?!"
"Brak!!" Lin Sen menampar wajah anaknya, lalu berteriak: "Sudah besar begini masih seperti anak kecil tak paham keadaan!! Masuk kamar!!"
Lin Muxin menutupi wajahnya dengan satu tangan, matanya berkaca-kaca memandang Lin Sen penuh kekecewaan: "Ayah, kau... kau memukulku?! Baik! Baik! Aku pergi!!" Setelah berkata demikian, Lin Muxin langsung berlari keluar, sebelum pergi melemparkan pandangan penuh kebencian dan dendam kepada saya dan Lei Zi.
Melihat anaknya kabur, Lin Sen segera memanggil sopirnya dan menyuruhnya mengikuti Lin Muxin, mengawasinya agar tidak membuat onar.
Setelah sopir itu mengejar keluar, Lin Sen menghela napas dan memandang saya dengan sedikit kesal: "Kakak ketiga, lihatlah akibat perbuatanmu. Anak ini sejak kecil dimanja, belum pernah kuhajar. Sekarang setelah kupukul, bisa-bisa dia membuat masalah di luar."
"Kau belum pernah dengar pepatah Tiongkok? 'Tongkat menghasilkan anak berbakti'. Anak seperti kau kurang dipukul! Dari kecil kurang didikan, sampai berkeluarga masih main serong! Kalau bukan karena menghormati guruku, aku tak sudi urusi urusan kotormu!" Aku berjalan masuk ke dalam vila sambil berkata demikian.
Lin Sen paham bahwa ucapan itu adalah sindiran untuknya, tapi ia menahan diri tidak membalas.
Duduk di sofa, kulihat jam sudah menunjukkan pukul enam lebih sore. Segera kusuruh Lin Sen di sampingku: "Siapkan makan malam untuk kami berdua di sini."
"Kakak ketiga, mau makan apa malam ini?" Kulihat Lin Sen terus menahan emosi. Semakin dia menahan diri, semakin aku ingin memancing amarahnya. Biarlah mati kesal toh tak ada ganti rugi!
Untuk sampah masyarakat seperti dia, semakin banyak yang mati kesal semakin baik.
“Lei Zi, kamu mau makan apa?” Aku menatap Lei Zi yang duduk di seberangku dan bertanya.
Lei Zi melirikku, tanpa sungkan berkata: "Ayam panggang, bebek panggang, ikan rebus, daging babi tumis, semuanya pesin dikit!"
"Itu mahal apa, Lei Zi, jarang-jarang ada yang mentraktir, pesan yang mahal-mahal lah!" Aku mengingatkan Lei Zi.
"Makanan tadi juga nggak murah, minta tambahin 1 kati abalon buat kami berdua!" Lei Zi berteriak ke Lin Sen.
Lin Sen mengangguk, aku melanjutkan: "Kamu cuma dengar bisa ingat? Catet pake HP! Abalon 1 kati, lobster pesin satu panci besar, yang gede-gede dan segar, terus beberapa kilo daging sapi panggang sama sekarung bir Qingdao!"
Lin Sen mencatat satu per satu. Saat mendengar pesanan bir, dia menengok dan bertanya: "San Ge, kalau minum alkohol nanti, masih bisa bantu usir hantu di rumahku?"
"Alkohol itu nambah keberanian, ngerti nggak? Jangan banyak bacot, suruh beli ya beli aja!" Kataku.
Lei Zi tiba-tiba teringat sesuatu: "Eh, tambahin dua porsi sarang burung walet sama sirip ikan hiu buat kami cicipin. Sering dengar orang bilang enak, belum pernah nyoba. Plus anggur merah Lafite tahun 82 dua botol!"
"Lei Zi, jangan malu-maluin! Anggur tahun 82 namanya Lafite, bukan Feila!" Aku membenarkannya.
Meski kami juga belum pernah minum, setidaknya pernah dengar. Yang jelas anggur itu harganya selangit.
Ketika Lin Sen yang berada di samping mendengar perkataan Lei Zi ini, dia nyaris melompat:
"Aku bilang, dua kakak, eh tidak, dua kakek, janganlah mengerjai saya. Masalah bisa tidaknya membeli Lafite tahun 82 itu kita kesampingkan dulu, tapi dengan harga pasar sekarang setidaknya 70-80 ribu per botol. Ini kan menyusahkan orang?!"
Lei Zi langsung terkejut dan wajahnya berubah pucat:
"Sial, semahal itu! Kalau gitu pesan saja dua botol anggur Lafite biasa, buat kesenangan."
Lin Sen mencatat semua pesanan dengan wajah masam sebelum akhirnya pergi. Melihat Lin Sen telah meninggalkan aula, aku dan Lei Zi saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak.
"Wahaha... Kak San, ada apa sih dengan Lin Sen itu? Dia menuruti semua perintahmu dengan sangat hormat."
Aku kemudian menceritakan semua perbuatan Lin Sen dari awal sampai akhir kepada Lei Zi, termasuk tujuan kedatanganku hari ini untuk menyelamatkan mahasiswi yang telah menjadi hantu.
Lei Zi langsung naik darah mendengar perbuatan keji yang pernah dilakukan Lin Sen:
"Andai saja kita tahu dia manusia brengsek seperti itu, harusnya kita habisi dia! Terlalu murah kita perlakukan dia. Nanti saat dia kembali, kita pesan lagi Lafite tahun 82 itu!"
Aku menggeleng ke arah Lei Zi: "Pedagang licik seperti dia pasti punya seribu alasan. Untuk mengerjainya, tunggu saja kesempatan lain."
Satu jam kemudian, Lin Sen kembali dengan pelayan membawa semua makanan pesanan kami. Tanpa banyak bicara, kami langsung menyantapnya.
“Perut sudah kenyang, aku berunding dengan Lei Zi. Aku minta Lin Sen cari hotel di luar untuknya menginap sementara. Nanti malam setelah aku merapal mantra untuk mengantar arwah perempuan itu, baru aku akan bertemu dengannya.”
“Tapi Lei Zi ngotot menolak, bersikeras harus menemaniku di sini.”
“Aku tak bisa berbuat lain. Karakter Lei Zi memang keras kepala seperti baja, kalau sudah memutuskan, delapan ekor kerbau pun tak bisa menariknya kembali.”
“Karena hari masih awal malam, kami berdua merasa bosan. Akhirnya main game online di HP. Tak terasa waktu berlalu cepat. Belum beberapa level selesai, langit sudah gelap gulita. Para pelayan dan satpam vila pun pulang atau tidur di kamar masing-masing.”
“Sekarang seluruh vila megah ini hanya tersisa aku, Lei Zi, dan Lin Sen.”
“Melihat langit semakin kelam, Lin Sen mulai gelisah. Dia mematikan rokok di asbak meja lalu bertanya, 'San Ge, bolehkah aku pulang dulu? Urusan di sini kupercayakan pada kalian berdua.'”
“'Kau pulang? Kalau kau pergi, siapa yang akan memancing kemunculan hantu itu? Siapa pun boleh pergi, tapi kau tidak!' Cara menjadikan Lin Sen sebagai umpan ini adalah saran dari Master Qingfeng.”
“Sambil berkata begitu, kulihat jam di HP. Sudah lewat pukul sepuluh malam. Kira-kira arwah itu akan segera datang. Kukeluarkan air mata sapi dan daun willow yang kupetik di pinggir jalan dari tasku.”
“Baru saja kutaruh di meja, sebelum sempat kugunakan, angin dingin menyapu tiba-tiba menerbangkan daun-daun willow itu ke lantai.”
“Dari mana datangnya angin ini?” Lei Zi bertanya penasaran sambil melihat sekeliling.
Ruang utama villa ini, semua pintu dan jendela tertutup rapat. Bagaimana mungkin tiba-tiba muncul angin dingin yang aneh di dalam ruangan?
Lin Sen di samping langsung gemetar ketakutan, dengan wajah pucat membatu menatap dedaunan pohon willow yang tertiup angin aneh tadi ke lantai. "Dia... dia datang..." gumamnya terbata.
Mendengar ucapan Lin Sen, hatiku langsung ciut. Dasar brengsek siapa yang bilang hantu tidak muncul sebelum jam 12 malam? Hantu wanita ini malah main diluar aturan, membuatku kaget tak siap.
Meski belum pasti apakah angin tadi memang ulah hantu wanita itu, tapi fenomena ini seolah mengingatkanku akan permulaan yang tidak baik.
Tapi menggerutu saja percuma. Kuberanjak mengambil daun willow di lantai. Belum sempat menyentuhnya, angin dingin itu kembali berhembus, menerbangkan daun-daun itu jauh. Badanku ikut menggigil kena tiupan angin itu!
Menghadapi situasi begini, hatiku mulai panik. Jangan-jangan ini benar-benar perbuatan hantu wanita itu?
Dasar, main kotor dengan aku! Langsung kukeluarkan pedang kayu persik mentah pemberian Pendeta Qingfeng dari tas kecil, kuhunuskan ke segala arah!
