Alih-alih marah, Master Qingfeng malah berhenti dan menatapku: "Andai aku mau membantu, apa yang bisa kita lakukan?! Kasusnya sudah lama, kematian perempuan itu sudah dinyatakan bunuh diri. Bisakah kita menyuruh polisi percaya ada hantu di dunia ini? Atau membujuk Lin Sen untuk menyerahkan diri?!"
Aku terpaku oleh pertanyaannya. Dia benar, kami benar-benar tidak berdaya menghadapi semua ini.
Dengan perasaan kesal yang teramat sangat, aku dan Master Qingfeng melanjutkan turun tangga.
Di ruang tamu villa, aku melihat Lin Sen dan Lei Zi tertidur di sofa.
Melihat mereka berdua, aku segera membangunkan mereka. Setelah sadar, Lei Zi menatapku bingung dan bertanya, "San Ge, aku... aku di mana ini?"
"Kamu sendiri tidak tahu di mana? Kenapa kalian bisa tertidur?" tanyaku pada Lei Zi.
Lei Zi duduk di sofa sambil berpikir sejenak, lalu menepuk pahanya dan berkata, "Ingat! San Ge, bukannya kemarin kita ke sini untuk menangkap hantu? Ngomong-ngomong, hantu perempuan itu mana? Kenapa aku bisa tertidur?" Lei Zi menatapku penuh tanya.
Melihat sikap Lei Zi, aku menduga dia dan Lin Sen kemungkinan besar telah terpengaruh oleh hantu perempuan itu semalam, sehingga mereka tertidur pulas.
"Sudah beres, tidak ada masalah lagi," jawabku pada Lei Zi.
Lei Zi menggaruk kepalanya dengan malu, "San Ge, maaf ya. Aku juga tidak tahu kenapa bisa tertidur di sofa ini."
"Tidak apa-apa, ini bukan salahmu," kataku.
Saat kami berbincang, Master Qingfeng juga selesai berbicara dengan Lin Sen. Kulihat Master Qingfeng menerima kartu bank dari Lin Sen, lalu menoleh dan bertanya padaku, "Shisan, kamu ikut pulang bersama saya? Kebetulan dia akan mengirim mobil untuk mengantar kita."
Aku menggelengkan kepala:
"Shifu, Anda pulang dulu. Aku mau jalan-jalan sebentar di kota bersama temanku."
Master Qingfeng tidak memaksa, hanya memberikan beberapa nasihat sebelum pergi. Lin Sen kemudian mengantarnya keluar.
Melihat bayangan punggung Lin Sen si sampah masyarakat itu, gigiku gemeretak menahan amuk. Saat ini rasanya ingin menghancurkannya sampai hancur lebur!
Sudah membunuh dua nyawa, tapi hidup lebih enak dari siapa pun, bebas berkeliaran di luar hukum, sungguh memuakkan!
Aku dan Lei Zi membereskan barang-barang, saat hendak keluar rumah, kebetulan bertemu Lin Sen yang sedang mengantar Master Qingfeng pulang di depan pintu villa. Melihat kami keluar dari rumah, ia segera menyambut dengan senyum lebar:
"Xiao Daozhang, semalam pasti capek sekali. Berkat bantuanmu, bagaimana kalau makan dulu sebelum pergi?"
"Bangsat kau! Makanan darimu si sampah masyarakat ini bikin mual!!"
Mendengar ucapanku, senyum di wajah Lin Sen langsung membeku. Matanya yang berbentuk segitiga penuh kebencian menatapku: "Xiao Daozhang, aku Lin Sen selalu sopan padamu dan temanmu. Beri jalan keluar dong, kata-katamu keterlaluan ini tidak pantas!"
Melihat wajah Lin Sen yang menjijikkan itu, amarahku langsung meluap. Tak tahan lagi, kutuding hidungnya sambil memaki:
"Dasar anjing! Binatang tak berperikemanusiaan! Wajahmu seperti mayat tak dikubur! Kuburan mana yang ceroboh sampai melontarkanmu keluar?! Tega membunuh istri sendiri Song Qinghan dan anak, apa kau masih punya hati? Sekarang aku benar-benar ingin memanggil kakekmu 'Ayah'!"
Lin Sen saat ini mendengar kata-kata makianku padanya, wajahnya menjadi pucat pasi. Pertama-tama ia melirik ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang luar, kemudian menatapku dan berkata: "Keluarga Zuo, aku menghormatimu karena menghargai gurumu. Sebagai nasihat, bicaralah dengan bukti! Menuduh orang sembarangan seperti ini pasti akan kau tanggung konsekuensinya!!"
"Dasar brengsek! Lin Sen, hari ini aku akan bicara terang-terangan! Song Qinghan dan anak itu jelas kau racuni obat tidur lalu kau tindih selimut sampai mati lemas! Jangan sok suci! Kalau tidak ingin ketahuan, jangan berbuat jahat!!" Aku meneriakkan kemarahan sambil menatap Lin Sen.
Rentetan teriakanku ini menarik perhatian satpam dan petugas kebersihan di vila sekitarnya. Namun mereka tidak mendekat, hanya berkerumun dua tiga orang sambil berbisik-bisik mengamati kami dari kejauhan.
Lin Sen kini juga meledak amarahnya. Matanya merah menyala sambil berteriak: "Kau jangan kurang ajar! Aku ini... Aaarrgghh~~!!!" Teriakannya terpotong oleh jeritan kesakitan.
Jeritannya muncul karena Lei Zi sudah menghajarnya dengan pukulan keras ke kepala sebelum ia selesai bicara. Sifat pemarahnya yang seperti bom itu kembali muncul.
Mendengar semua ini, mana mungkin Lei Zi bisa menahan diri? Langsung saja ia bertindak.
Melihat Lei Zi sudah mulai beraksi, sebagai teman aku pun tidak bisa hanya berdiri menonton. Meski Lei Zi bertubuh besar, tapi selisih usia dengan Lin Sen cukup signifikan. Bertarung sendirian pasti akan dirugikan.
“Mikirin itu, aku langsung menendang selangkangan Lin Sen! Tendangan ini tepat mengenai bagian vitalnya, langsung membuatnya kehilangan kemampuan bertarung, lalu aku dan Lei Zi menghujani dia dengan pukulan dan tendangan.”
“Bangsat kayak gini, kalau ga dipukulin, ga bakal lega!”
Saat beraksi, di kepalaku terus bergema kata-kata hantu perempuan itu: “Bangsat itu tak punya hati, ingkar janji, tega membunuhku dan anakku satu mayat dua nyawa, dendamku punya alasan, amarahku tak terlampiaskan! Di mana keadilan langit? Di mana hukum karma?! Langit buta, ahli gaib tolol! Song Qinghan ini sakit hati! Geram! Benci! Menyesal!”
“Sial! Karena nafsu birahi lo, dua nyawa segar jadi korban! Dasar binatang!”
Semakin kupukul semakin panas, tiba-tiba seorang kakak satpam berlari menghampiri, menghalangi aku dan Lei Zi sambil menarik-narik kami dan berkata:
“Sudah jangan berantem, berhenti! Cepat berhenti!! Bos Lin saya halangi, Bos cepat lari!”
Tapi kakinya malah menyepak Lin dengan keras!
Aku bingung, satpam villa Lin ini ngapain? Mau bikin ribut atau bantu Lin? Kok tendangannya lebih kejam dari kami?
Setiap tendangan mengarah ke bagian vital, teman ini benar-benar jahat!
Gawat! Kalau dibiarkan terus, bisa-bisa ada korban jiwa, nanti aku dan Lei Zi yang kena getahnya.
“Lei Zi, berhenti! Bantu aku tarik satpam ini!!” Teriakku sambil menarik lengan si kakak satpam.
Begitu Lei Zi mendengar perkataanku, dia juga langsung menyadari ada yang tidak beres dengan si satpam. Ini bukan sekadar memukul, ini jelas-jelas ingin membunuh Lin Sen.
Entah berapa banyak orang yang telah dijahati Lin Sen selama ini. Satpam yang dia bayar untuk menjaga rumah malah berbalik memukulinya habis-habisan.
Jadi aku dan Lei Zi berhenti berkelahi. Kami berdua mencoba menarik si satpam itu. Entah apakah Lin Sen sudah XX istrinya atau belum membayar gaji, kami berdua susah payah menariknya tapi tak berhasil. Kulihat wajah Lin Sen sudah berlumuran darah. Jika dibiarkan terus ditendang seperti ini, dia pasti tewas.
Akhirnya kugunakan jurus andalanku. Kukosongkan tangan kanan, mengubah telapak menjadi cakar, dan mencengkeram pangkal paha si satpam itu!
Aksi ku ini langsung membuat wajah si satpam menghitam. Dia membungkuk sambil memegang selangkangan, melompat-lompat kesakitan di tempat.
Melihat Lin Sen yang tergeletak bernapas berat dengan wajah berdarah, syukurlah tidak sampai tewas. Aku dan Lei Zi saling pandang, bersiap kabur dengan cepat.
Kami berlari panik ke gerbang vila. Dua satpam penjaga gerbang langsung membuka pintu sebelum kami sampai. Mereka malah memberi hormat kepada kami yang sedang kabur!
Aku dan Lei Zi tertegun. Apa yang terjadi? Pertama kali dalam hidup kami memukul orang malah dapat perlakuan seperti pahlawan yang pulang dari medan perang, disambut meriah!
Seketika aku merasa sedikit sombong, apakah aksi kami kali ini sesuai dengan keinginan rakyat? Ternyata Lin Sen memang bukan orang baik selama ini, di saat kritis, tidak ada yang mau membantunya.
Setelah lari keluar gerbang vila, Lei Zi di sampingku tiba-tiba merasa penuh semangat kepahlawanan, sambil berkata: "San Ge, apa itu pahlawan? Kenapa aku merasa hari ini kita melakukan hal yang sangat heroik? Ini seperti 'Marah hingga rambut berdiri di halaman vila, menghajar Lin Sen di tengah hujan rintik-rintik, sepuluh langkah membunuh satu orang, ribuan li tak meninggalkan jejak...'"
Perkataan Lei Zi belum selesai, kami berdua langsung membeku karena melihat di jalan depan vila, sebuah mobil polisi putih dengan lampu darurat sedang melaju kencang ke arah kami.
"Lei Zi lari cepat! Mobil polisi datang!" Aku berteriak sambil langsung berlari ke arah jalan kecil.
Siapa yang brengsek lapor polisi? Tidak tahukah bahwa kami sedang memberantas kejahatan untuk rakyat?
Sambil berlari, aku menoleh ke belakang. Pandangan itu membuat hatiku langsung dingin karena mobil polisi itu ternyata mengejar kami!
"Kalian dua di depan, segera berhenti di pinggir jalan! Dengar tidak?! Berhenti di pinggir jalan!" Terdengar teriakan polisi dari dalam mobil.
Melihat mobil polisi yang sudah menyusul, kami tidak punya pilihan lain kecuali patuh berhenti di pinggir jalan.
Tak lama kemudian, mobil polisi berhenti di depan kami. Tiga polisi turun dari mobil, dua laki-laki dan satu perempuan.
“Salah satu polisi yang kurus kering berjanggut mendekat, melihatku dan Lei Zi dengan nada tidak ramah bertanya: "Barusan kalian yang berkelahi di villa?"”
Sebelum Lei Zi sempat bicara, aku cepat-cepat menggelengkan kepala: "Tidak, tidak, Pak Polisi. Kami tadi coba melerai, bukan berkelahi."
Tak disangka polisi kurus seperti monyet itu meludah ke tanah setelah mendengar penjelasanku, berkata dingin: "Bukan kalian yang menentukan apakah ada pemukulan. Ayo, ikut kami untuk dimintai keterangan korban."
Aku langsung panik. Kalau harus berhadapan dengan Lin Sen, mana mungkin kami bisa lolos? Segera kukatakan pada polisi kurus itu: "Pak, kami tidak perlu ikut kan? Ibu sudah memanggilku pulang makan."
"Jangan banyak bicara, naik mobil!" Tiba-tiba polisi pria lain mendorong kami masuk ke mobil patroli.
"Aduh, aduh! Kok main dorong?! Katanya masyarakat harmonis? Katanya polisi sahabat rakyat? Tolong, polisi main kasar!!"
