Karena di tanah kosong luar jendela, kulihat sekelompok tentara Jepang berbaju era Perang Dunia II! Sejak kecil aku sering menonton film perang anti-Jepang, jadi sangat familiar dengan seragam tentara Jepang masa itu!
Wajah setiap tentara Jepang di tanah kosong itu berwarna abu-abu kehitaman, dengan raut ganas. Mereka semua menatap ke satu arah, langkah kaki seragam, bunyi sepatu kulit menginjak tanah pun kompak, seolah sedang apel latihan normal!
Sekilas, jumlah mereka mencapai dua tiga puluh orang!
Ya ampun! Apa yang terjadi?! Kenapa bisa muncul begitu banyak tentara Jepang era PDII di area kutukan Macan Putih ini?! Benarkah seperti dugaan Leizi, mereka semua hantu?!
Atau mungkin tentara Jepang yang tewas di PDII bangkit lagi karena kutukan aneh Macan Putih ini?!
Membayangkannya, dingin menyergap. Gigiku mulai gemetar tak terkendali...
"Tepat pada saat itu, seluruh pasukan hantu Jepang itu tiba-tiba berhenti, berbalik badan, dan serempak berlutut menghadap arah barat daya. Kemudian dengan kedua tangan memegangi kepala mereka sendiri, mereka memutar dengan keras hingga semua kepala terpuntir dari tubuh, lalu mengangkat kepala itu dengan kedua tangan sambil membungkuk kearah barat daya."
"Malam yang pekat, sinar bulan redup menyinari tubuh pasukan hantu Jepang yang menggenggam kepala mereka sendiri, bagai darah hitam pekat yang dingin mengalir dari mayat yang membusuk, menambah nuansa mengerikan. Seluruh pemandangan terlihat sangat seram dan menakutkan."
"Membuat jantungku menggigil ketakutan."
"Apa yang mereka sembah ini? Apa yang ada di barat daya sampai bisa membuat begitu banyak 'hantu prajurit Jepang yang bangkit dari kematian' era Perang Dunia II ini berlutut?"
"San Ge, kau tidak tidur, sedang lihat apa?" Leizi yang tak kusadari sudah bangun menepuk bahuku dan bertanya.
"Sekonyong-konyong ditepuk Leizi, nyaris membuatku pingsan ketakutan. Tak sempat menjelaskan, segera kulihat ke arah pasukan hantu Jepang di luar yang sedang memegangi kepala mereka."
"Pasukan hantu Jepang itu kini semuanya telah memutar badan sambil menggenggam kepala mereka, menghadap ke arah gubuk tempatku dan Leizi berada!"
"Dengan jelas kulihat otot wajah di bawah helm baja mereka mengerut ke bawah, akar lidah di tenggorokan menjulur keluar mulut, dan bola mata yang melotos lebar."
Di kepala-kepala yang bergelantungan itu, bola mata cembung mengalirkan darah hitam pekat. Sorot mata dingin penuh niat jahat itu terus menatapku tajam!!
Saat melihat semua hantu tentara Jepang di luar jendela menggunakan bola mata kelabu pekat yang menatap tajam ke arahku, detak jantungku tiba-tiba mulai berdetak kencang. Aku hanya merasa seperti akan melompat keluar dari tenggorokan, dan kepanikan seperti mimpi buruk semakin kuat mengikutiku.
Hantu-hantu tentara Jepang itu membuatku merasa seperti jatuh ke neraka es dingin, seluruh tubuh gemetar tak terkendali. Dalam ketakutan psikologis ini, ternyata ada secercah keputusasaan. Meskipun di hati sangat takut mati, aku berusaha menurunkan detak jantung yang berdebar kencang, tapi kepanikan misterius dalam tubuh tetap tak bisa hilang.
“San Ge, ada apa denganmu? Ada apa di luar jendela yang membuatmu ketakutan seperti ini?” Leizi melihat ekspresiku sangat pucat, ditambah sebelumnya aku tidak menanggapi panggilannya, sehingga ia menepuk bahuku pelan dan bertanya.
Leizi tidak mengoleskan air mata sapi, secara alami tidak bisa melihat pasukan hantu tentara Jepang di tanah kosong di luar jendela.
Sentakan tepukan Leizi menyadarkanku. Segera kututup jendela daun itu, kuraih lengannya dan menyergapnya berjongkok di pinggir dinding.
“Jangan bersuara sama sekali, jangan bergerak.” Melihat Leizi mengernyitkan dhana penuh tanda tanya dan hendak berbicara, kusambar lebih dulu dengan bisikan pelan.
"Leizi dan aku berjongkok bersama. Meski belum paham apa yang terjadi, dia bisa merasakan sesuatu di luar jendela dari raut wajahku. Dengan menahan rasa penasaran, dia ikut berjongkok di dekat tembok tanpa bersuara."
"Dug... dug... dug..." Detak jantungku berdegup kencang yang jelas terdengar. Napasku semakin berat dan cepat, rasa takut yang mencekam menyelimuti.
"のくにあるののため、で、はまずをて。" (Ada ahli Yin-Yang di sekitar sini. Untuk berhati-hati, aku akan mendekat dulu.)
Suara serak dan kaku terdengar dari tanah kosong di luar jendela belakang. Meski tak bisa bahasa Jepang, aku yakin itu adalah ucapan dalam bahasa Jepang!
Leizi menatapku dengan wajah pucat dan mulut menganga. Dia juga mendengar suara Jepang tadi, tampak kebingungan.
Kuangkat tangan ke mulut, memberi isyarat agar diam. Saat ini kami tak boleh membuat suara sedikitpun.
Leizi mengangguk paham, menggigit bibirnya sambil menunduk. Kulihat dia sudah ketakutan setengah mati, mungkin sudah menebak sosok di luar.
Setelah suara Jepang itu, derap sepatu bot mulai mendekat dari kejauhan ke arah kami.
"Dag... dag... dag..."
“Tampaknya ada pasukan hantu datang!”
Setelah mendengar suara langkah kaki ini, hatiku langsung berdebar kencang. Aku menempelkan tubuhku lebih erat ke dinding, khawatir pasukan hantu Jepang yang datang karena mendengar suara itu akan melihatku dari jendela.
Tapi dari suara langkah kakinya, sepertinya hanya satu pasukan hantu Jepang yang mendekati ruang interogasi tempat aku dan Leizi berada.
Langkah kaki semakin dekat. Jantungku dan Leizi berdegup semakin kencang. Keringat dingin mulai mengucur tanpa kami sadari. Bahkan saat pertama kali bertemu hantu perempuan itu, rasa takutku tidak separah ini.
Sialan! Jika sampai ketahuan oleh pasukan hantu Jepang itu, pasti nasibku dan Leizi akan mengenaskan. Dipotong-potong dan dimakan hidup-hidup mungkin masih termasuk hukuman ringan.
Semakin kupikirkan semakin menakutkan. Di tengah kepanikan ekstremku, langkah kaki itu perlahan tapi pasti semakin mendekat...
"Tap!"
Begitu langkah kaki terakhir terdengar, pasukan hantu Jepang itu telah sampai di bawah jendela tepat di atas kepala kami.
Dalam hati aku berdoa: Dewi Guanyin, Kaisar Giok, Buddha Sakyamuni, Sun Wukong, Huluwa, Nezha, Kucing Hitam Polisi... Tolong lindungilah kami!
Setelah beberapa saat, tidak ada lagi suara dari luar jendela. Seolah-olah pasukan hantu Jepang yang tadi berdiri di luar jendela itu tiba-tiba menghilang.
Aku jadi heran. Mungkin mereka benar-benar takut dengan energi kebenaran yang kuat dari kantor polisi ini sehingga tidak bisa masuk? Atau mungkin mereka belum menemukan aku dan Leizi yang bersembunyi di bawah dinding?
Hanya dua penjelasan itu yang mungkin.
“Membayangkan ini, aku perlahan mengangkat kepala, menatap ke arah jendela di atas…”
Karena tirai venetian tertutup, sulit melihat ke luar. Aku menyandarkan kepala sedikit ke samping, mengintip melalui celah di tengah tirai venetian.
Saat itu, mataku langsung bertemu dengan sepasang bola mata hitam keabuan yang penuh kebencian, mengalirkan cairan hitam. Ketika makhluk di luar itu melihatku, terpancar kilatan permusuhan dan kebengisan!
Cepat-cepat kututup mulutku dengan tangan. Hampir saja aku berteriak kaget melihat penampakan mata tadi. Tapi bersembunyi sekarang sudah percuma. Aku buru-buru berdiri dan berkata pada Leizi yang di samping, "Leizi, jangan jongkok lagi! Makhluk itu sudah lama mengawasi kita!" Lalu aku berlari ke arah dinding seberang ruang interogasi.
Karena sudah ketahuan, aku tak mau diam saja. Pertama-tama panggil Leizi menjauh dari tentara hantu Jepang itu.
Mendengar perkataanku, Leizi berdiri dan berlari ke arahku sambil menoleh ke jendela:
“San Ge, di mana? Sebenarnya apa sih makhluk jahat di luar itu?!”
“Itu gerombolan tentara Jepang yang mati di masa Perang Dunia II!!” jawabku sambil terus menatap tajam ke arah jendela.
"Sekarang aku akhirnya mengerti, kenapa polisi wanita bernama Wang Ling itu sebelumnya berpesan seperti itu padaku dan Leizi. Rupanya kantor polisi mereka sudah lama menemukan situasi ini, hanya saja mereka hanya bisa mendengar suara tanpa melihatnya. Sedangkan hantu tentara Jepang itu sepertinya punya tujuan lain, tidak ingin menimbulkan masalah. Jadi antara mereka dan kantor polisi tidak terjadi apa-apa."
"Tapi kemungkinan besar hantu tentara Jepang itu datang mencari aku dan Leizi karena menyadari aku bisa melihat mereka!"
Saat otakku terus berpikir cepat, Leizi di sampingku bertanya dengan suara gemetar, "San Ge, kenapa... kenapa tentara Jepang dari era Perang Dunia II ini bisa datang? Jangan-jangan mereka melakukan perjalanan waktu?!"
"Apa kamu kebanyakan nonton drama time travel?! Masih ngomongin time travel! Mereka adalah arwah penasaran yang tidak bisa beristirahat! Barusan aku lihat sekelompok tentara itu sedang bersujud ke arah barat daya menyembah sesuatu. Kurasa di arah barat daya pasti ada sesuatu yang lain!" Sekarang aku sudah pasrah, sengaja meninggikan suara. Bagaimanapun, karena sudah ketahuan, kita tidak boleh menunjukkan rasa takut, apalagi di depan sekelompok penjajah!
Begitulah, aku dan Leizi terus menatap jendela itu. Setelah sekitar lebih dari sepuluh menit, Leizi mulai tidak sabar dan berkata, "San Ge, bagaimana kalau kamu yang pergi lihat? Mungkin saja tentara Jepang itu sebenarnya tidak bisa masuk dan sudah pergi."
"Aku yang lihat? Kenapa kamu tidak pergi saja?" Aku menatap Leizi sambil bertanya.
“San Ge, kamu kan pendeta Tao, pasti hantu-hantu takut sama kamu? Kalau aku pergi terus gak bisa balik gimana? Tenang, secara mental dan keyakinan aku bakal dukung kamu sepenuhnya!” kata Leizi.
“Masih pendeta Tao? Dalam kondisiku sekarang, gak perlu hantu, anak SD kelas lima aja bisa ngalahin aku,” jawabku pada Leizi.
Sebenarnya tadi Leizi sengaja bicara begitu, tujuannya agar kami bisa bercanda dan mengurangi ketegangan. Jangan lihat Leizi ceroboh dan tempramental, tapi kalau dia sudah teliti, ketelitiannya gak kalah sama perempuan. Dalam kondisi ketakutan, dia masih bisa menenangkan diri dengan cepat, lalu mulai membual untuk meredakan tekanan dan rasa takut kami berdua.
“Bagaimana kalau kita berdua pergi lihat bersama?” kataku.
“Oke.” Leizi langsung menyetujui.
Melihat Leizi setuju, aku langsung berjalan menuju jendela itu duluan, diikuti Leizi dari belakang.
Kami berdua berdiri di depan jendela. Aku menarik napas dalam beberapa kali untuk menenangkan diri, mempersiapkan mental menghadapi berbagai kemungkinan, lalu perlahan membuka tirai jendela...
