"Ke mana?" tanyaku, sekarang rasa tidak enak mulai menggelayut di hati, sangat tidak beres!
Jangan-jangan Lin Sen bajingan itu sudah menyuap seluruh kantor polisi? Mereka mau membawa kami keluar untuk dieksekusi diam-diam?
Begitu pikiran ini muncul, aku segera membuangnya. Kemungkinan Lin Sen mau membunuh kami diam-diam kecil, meski di jaman sekarang yang masih mengagungkan wajah dan uang, tapi hukum tetap ada.
“Dan yang paling penting, pada hari aku dan Leizi berkelahi, banyak orang yang melihat. Jika sesuatu terjadi padaku dan Leizi di penjara, Lin Sen akan menjadi tersangka utama. Dia bukan orang bodoh, pasti lebih paham daripada aku.”
Melihat wajah Wang Ling yang datar namun cantik, ditambah rangkaian kejadian sebelumnya, membuatku punya firasat buruk.
“Jangan banyak tanya sekarang, kalian akan tahu setelah sampai.” Suara Wang Ling terdengar kesal saat berbicara.
Leizi maju selangkah menatap Wang Ling, “Kalau kalian tidak mau bilang mau ke mana, kami pasti tidak akan ikut!”
Begitu Leizi selesai bicara, Shouhou turun dari mobil. Dengan cepat dia mengeluarkan pistol hitam dari pinggangnya dan mengarahkannya ke kami, “Suruh naik ya naik! Banyak bacot!” Nadanya kasar dan membuatku merinding.
Seandainya aku tidak mengolesi air mata sapi sebelumnya, mungkin akan kukira dia dan Wang Ling kerasukan roh jahat.
Di hadapan laras pistol yang mengancam ini, aku dan Leizi terpaksa menyerah. Tanpa pilihan lain, kami masuk ke mobil polisi bersama mereka.
Mobil meluncur keluar dari kantor polisi, menyusuri Jalan Dongdian Selatan menuju pinggiran kota.
Tingkah laku Wang Ling dan Shouhou ini membuatku resah. Sekalipun bodoh seperti kami, pasti tahu ada sesuatu yang mencurigakan.
Dan sesuatu yang mencurigakan ini pasti bukan kabar baik bagi kami berdua.
Mobil terus melaju, sepanjang perjalanan tak ada yang berbicara. Setelah sekitar lebih dari sepuluh menit, mobil tiba di lampu merah terakhir sebelum keluar kota. Saat perangkat kamera pengawas di palang lampu merah berkedip, si kurus yang menyetir tiba-tiba mengumpat:
“Baka!!”
Mendengar si kurus meneriakkan kalimat itu, seluruh tubuhku membeku di jok belakang!
Apa-apaan ini? Kenapa si kurus tiba-tiba mengumpat pakai bahasa Jepang?! Aku dan Leizi saling pandang, sama-sama melihat ketakutan dan kebingungan di mata masing-masing.
Suasana dalam mobil langsung menegang.
Jangan-jangan dua orang di depan itu bukan Wang Ling dan si kurus?! Lalu siapa mereka? Apakah mereka dirasuki tentara hantu Jepang sebelumnya?
Mengingat saat mereka datang ke ruang interogasi mencari aku dan Leizi, tiba-tiba saja masuk begitu saja. Aku dan Leizi sama sekali tak mendengar suara langkah kaki atau bunyi kunci dibuka.
Terlalu ceroboh, sekarang baru sadar sudah terlambat. Kami seperti naik perahu pencuri.
Tapi yang masih membuatku bingung adalah, jika mereka benar-benar dirasuki tentara hantu Jepang, mengapa aku dan Leizi yang sudah mengolesi air mata sapi tidak bisa mendeteksinya?
Di saat itu, Leizi diam-diam menarik ujung bajuku. Aku menoleh dan dia mengedip-ngedipkan matanya, seolah bertanya apa yang harus kita lakukan sekarang?
Sejujurnya sampai saat ini aku juga belum tahu harus berbuat apa. Melihat pemandangan di luar mobil polisi, aku sadar kami sudah keluar dari pusat kota. Si kurus sedang membawa kami menuju pinggiran kota.
"Tidak bisa terus menunggu seperti ini. Kita tidak boleh terus dikendalikan mereka. Harus mencari cara untuk melarikan diri."
Aku menghitung dalam hati: Kalau sudah sampai di tempat tujuan, aku dan Leizi pasti tidak sempat kabur. Jika ingin melarikan diri, harus dilakukan di perjalanan. Tapi mobil ini jelas tidak akan berhenti di tengah jalan. Harus bagaimana?
"Pak Polisi, aku ingin turun buang air kecil." Teriakku pada polisi kurus itu. Ucapanku ini sama sekali tidak berharap mereka benar-benar akan menghentikan mobil, hanya ingin menguji reaksi mereka.
"Tahan." Seperti dugaan, polisi kurus itu menjawab dingin dengan dua kata itu, menolak permintaanku.
Tampaknya tidak ada cara lain. Satu-satunya jalan untuk kabur sekarang adalah melompat dari mobil! Daripada dibawa ke tempat tak dikenal untuk mati, lebih baik mengambil risiko.
Memikirkan ini, aku memberikan isyarat dengan mata pada Leizi di sampingku, lalu membuat gerakan membuka pintu mobil dan melompat. Leizi tampak bingung, tidak mengerti maksudku.
Terpaksa, aku memperagakan lagi gerakan membuka pintu dan melompat dengan lebih ekspresif.
Kali ini Leizi paham. Ia mengangguk padaku dan memberi isyarat "OK", menunjukkan dia sudah mengerti dan setuju dengan rencanaku.
Karena Leizi setuju, tidak ada lagi keraguan. Saat kami sedang bersiap-siap melompat, mobil tiba-tiba belok tajam ke jalan tanah berbatu. Karena jalan berlubang, kecepatan mobil pun melambat. Inilah kesempatan!
Aku dan Leizi segera duduk di kedua sisi pintu mobil, masing-masing meletakkan tangan di tombol pembuka pintu, sambil bersiap untuk melompat keluar.
"Lompat!" Tepat pada momen yang tepat, kami membuka pintu secara bersamaan. Dengan memanfaatkan momentum, kami melompat keluar dari mobil.
Begitu kaki menyentuh tanah, gaya inersia dari gerakan mobil langsung membuat tubuhku terpelanting, terguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti.
Rasa perih akibat gesekan dengan tanah terasa di lengan, kaki, dan bagian bawah rusuk. Tanpa sempat memeriksa luka lecet, setelah yakin tidak ada tulang yang patah, aku segera bangkit dan berteriak ke arah tepi jalan: "Leizi, kau baik-baik saja?" Sambil bertanya, mataku melirik ke mobil polisi di jalan. Anehnya, setelah kami melompat, mobil yang dikemudikan Shouhou tidak berhenti seperti perkiraanku. Mereka malah terus melaju seolah tidak menyadari kami...
"San Ge, aku baik-baik! Tanah disini cuma berdebu tipis, nggak sampai melukai. Ayo cepat lari sebelum mereka mengejar!" Leizi bangkit sambil langsung mengajakku kabur.
"Nggak perlu lari. Mobil mereka sudah pergi," kataku pada Leizi.
"Apa?!" Leizi langsung menoleh ke arah jalan. Benar saja, lampu belakang mobil polisi itu sudah jauh di ujung jalan.
"Ini tidak biasa, San Ge. Apa mereka tidak lihat kita lompat?" Leizi bertanya curiga.
Kujawab: "Pasti mustahil mereka tidak tahu."
“Lalu kenapa mereka tidak berhenti dan mengejar kita?” tanya Leizi.
Pertanyaannya itu membuatku terdiam, akhirnya kujawab: “Aku juga tidak paham, yang penting sekarang kita harus cepat kembali ke kota lewat jalan raya ini. Aku akan telepon Shifu saya, Master Qingfeng, supaya dia segera menjemput kita.”
Untuk berjaga-jaga, sejak lama sudah kuhafal nomor HP Master Qingfeng.
Begitulah, aku dan Leizi tidak berhenti sama sekali, langsung berjalan menyusuri jalan yang tadi kami lalui menuju kota.
“San Ge, menurutmu apa dua polisi tadi kemasukan roh tentara Jepang itu?” tanya Leizi sambil berjalan.
“Hampir pasti,” jawabku.
“Lalu kenapa setelah diolesi air mata sapi kita sama sekali tidak melihat keanehan? Aku tidak bohong, San Ge, tadi si monyet kurus itu tiba-teriak ‘bakayaro’ waktu nyetir, nyaris bikin jantungku copot!” kata Leizi dengan wajah masih ketakutan.
“Aku juga tidak tahu,” jawabku jujur. Secara teori, air mata sapi seharusnya bisa melihat semua makhluk jahat. Jangan-jangan ini sudah kedaluwarsa?
“Menurutmu mungkin nggak kalau air mata sapi ini nggak mempan buat hantu luar negeri?” tanya Leizi sambil sesekali menoleh ke belakang, takut si monyet kurus dan Wang Ling mengejar lagi dengan mobil.
Aku menggeleng:
“Jangan ngaco. Kalau air mata sapi nggak bisa lihat hantu asing, waktu di tanah kosong dulu pasti aku juga nggak bakal melihat mereka. Jangan nebak-nebak dulu, nanti pulang aku tanya Shifu pasti jelas jawabannya.”
Kami terus berbicara sepanjang jalan, sudah berjalan lama tapi masih belum keluar dari jalan tanah ini. Ini membuatku merasa aneh, sesuai perhitungan sebelumnya, aku dan Leizi sudah melompat dari mobil polisi tak lama setelah masuk ke jalan tanah. Kenapa sudah berjalan begitu lama belum juga keluar?
Jangan-jangan karena langit terlalu gelap sampai salah jalan? Ketika aku sedang berpikir begitu, tiba-tiba Leizi di sampingku menunjuk ke depan dan berteriak: "San Ge, ada cahaya terang di depan, ayo kita pergi lihat."
Aku mengikuti arah yang ditunjuk Leizi. Benar saja, tak jauh di depan terlihat lampu yang muncul sesekali. Mungkin itu desa kecil di pinggiran kota. Di mana pun, tempat yang ada lampunya pasti ada orangnya. Asal bisa pinjam ponsel, kita bisa menghubungi Master Qingfeng.
"Ayo, kita pergi lihat." Dengan adanya tujuan, langkah kami pun semakin cepat.
Tidak lama setelah itu, Aku dan Leizi sudah sampai di desa ini. Setelah masuk ke desa melalui jalan setapak, kami menemukan bahwa meskipun desanya tidak besar, lampu jalan di pinggir jalan terus menyala.
Setelah berjalan beberapa saat di desa ini, Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Biasanya jika Aku dan Leizi berjalan di desa lain tengah malam, pasti akan mengagetkan anjing peliharaan warga. Tapi setelah sekian lama berjalan di desa ini, tidak terdengar satu pun gonggongan anjing. Seluruh desa terlihat mati suri, sama sekali tidak seperti permukiman berpenghuni!
Saat berjalan lebih jauh, Aku dan Leizi secara bersamaan melihat sebuah rumah dengan pintu terbuka. Lampu di halaman dan dalam rumah semuanya menyala, tapi sama sekali tidak terlihat bayangan orang.
"San Ge, sepertinya keluarga ini belum tidur. Apa kita masuk untuk memeriksa apakah ada orang di dalam?"
Rasa ingin tahu mendorongku dan Leizi berjalan masuk ke rumah ini.
"Hoi, ada orang tidak?" Suara tanyaku dan Leizi sengaja diredam agar tidak mengganggu, tapi setelah lama berteriak di halaman, tak seorang pun keluar.
Hati-hati mulai merayap dalam hatiku. Aku melangkah masuk ke ruangan yang pintunya terbuka, diikuti Leizi dari belakang.
Begitu masuk, pandanganku langsung tertumbuk pada dua foto hitam-putih di dinding. Setelah kuperhatikan lebih seksama, tubuhku langsung membeku! Rasa takut bercampur amarah menyergap dadaku!
Dua foto itu ternyata gambar diriku dan Leizi! Di bagian atas bingkai hitam itu tergantung dua pita sutra hitam - persis seperti cara memasang foto almarhum!!
Yang lebih mengerikan, wajah kami di foto itu menyungging senyum kaku yang tidak wajar.
Aku sama sekali tidak pernah mengambil foto seperti ini! Dari mana asalnya?!
"Bangsat! San Ge, siapa kurang ajar yang memasang foto kita sebagai foto almarhum di sini?! Sialan nenek moyangnya delapan belas keturunan!!" Leizi meledak marah, memaki-maki seisi rumah.
