Leizi yang melihat kondisi Huzi juga tak tahan menitikkan air mata. Ia menepuk pelan bahuku, "San Ge, tolong cabut serpihan kayu di cakar Huzi dulu. Aku akan cari obat, di kamar pamanku pasti ada."
Kukanggukkan kepala pada Leizi. Kuseka air mata dengan tangan sambil menatap cakar Huzi yang penuh darah dan serpihan kayu. Dada ini terasa sesak tak karuan.
Meski merasa kasihan dan takut menyakiti Huzi, tetapi jika duri di cakar depannya tidak dicabut, lukanya akan semakin parah. Jadi, sambil menahan perasaan, aku mengelus kepala Huzi dan berkata: "Huzi, kau harus tahan ya, aku akan cabut durinya. Tahan sebentar..."
Setelah berkata demikian, tanganku gemetar menjulur ke arah duri di salah satu cakar Huzi.
Setiap kali aku mencabut duri berdarah dari cakar depan Huzi, dia merintih pelan dan tubuhnya gemetar, tapi sama sekali tidak menangis.
Melihat ini, hatiku semakin tersayat untuk Huzi.
Tak lama kemudian, Leizi menemukan kotak kayu berisi berbagai obat, berlari menghampiriku dan menaruhnya di sampingku: "San Ge, coba lihat apa ada yang bisa dipakai di sini?"
Setelah membuka kotak itu, selain obat flu, antiradang, hanya ada plester luka. Bahkan obat merah penghenti darah pun tak ada.
Hatiku mulai cemas. Darah di kedua cakar Huzi masih mengalir, dan mulutnya juga banyak lecet. Saat aku hampir ingin langsung menggendong Huzi kembali ke Kuil Tao malam itu juga, teringat Paman Li di pondok kayu seberang.
Benar! Aku harus tanya apakah dia punya obat penghenti darah.
Dengan harapan tipis, kuminta Leizi menjaga Huzi sementara aku berlari menuju pondok kayu Paman Li.
“Braak! Braak! Braak!” Bersamaan dengan suara ketukanku, tak lama kemudian suara Paman Li terdengar dari dalam gubuk kayu:
“Siapa itu?”
“Paman Li, ini aku!” teriakku.
Baru saja suaraku habis, kudengar suara Paman Li turun dari tempat tidur sambil berpakaian. Setelah menunggu sebentar, Paman Li membuka pintu sambil memegang lampu minyak tanah dan bertanya: "Nak, ada apa? Kenapa kamu datang tengah malam begini?" Saat bertanya, matanya sesekali melirik ke belakangku.
“Paman Li, apakah Bapak punya obat penghenti darah?” tanyaku panik.
Mendengar ini, wajah Paman Li langsung berubah pucat. Ia menggenggam tanganku erat sambil menatapku gugup: “Ada apa? Apa Leizi kenapa-napa?!”
Aku menggelengkan kepala sambil menelan ludah: “Bukan, anjingku mencakar tanganku sampai terluka. Darahnya belum berhenti sampai sekarang. Jadi aku datang untuk bertanya apakah Bapak punya obat penghenti darah.”
Paman Li langsung mengangguk cepat: “Ada, ada, ada! Ada Yunnan Baiyao, Bapak ambilkan dulu. Tunggu sebentar ya.” Ia segera kembali ke gubuknya mencari obat.
Hati pun langsung lega mendengar ini. Untung ada Paman Li, kalau tidak aku benar-benar bingung harus berbuat apa di tengah malam begini.
Tak lama kemudian, Paman Li keluar dari gubuk dan menyerahkan dua botol kaca berwarna kuning kecoklatan padaku.
“Cukup tidak？” Paman Li menatapku bertanya.
“Cukup, aku akan segera pulang untuk mengobatinya. Terima kasih banyak, Paman.” Kataku sambil buru-buru berlari kembali.
“Nak, rawat baik-baik anjingmu itu. Anjing yang bagus, sangat pintar!” Teriak Paman Li dari depan pondok kayu.
“Mengerti.” Jawabku sambil membawa obat Yunnan Baiyao® kembali ke rumah.
Di dalam rumah, setelah menuangkan bubuk Yunnan Baiyao® pada luka cakar depan dan mulut Huzi, aku mencari baju berbahan breathable dari lemari paman kedua Leizi, merobeknya menjadi perban, dan membalut kedua cakar depan Huzi.
Setelah membalutnya, kuangkat Huzi ke tempat tidur. Menyaksikannya tertidur, barulah aku lega.
“San Ge, anjingmu benar-benar luar biasa. Kalau bukan karena Huzi malam ini, kita pasti sudah tenggelam. Melihat cakarnya yang terluka, pasti sangat sakit...” Suara Leizi tersekat lagi saat memandangi Huzi.
“Iya, kita berhutang nyawa padanya.” Jawabku.
Leizi memang selalu sembrono. Dulu di sekolah, meski kepalanya terluka berdarah saat berkelahi dengan preman, tak pernah sekalipun dia merengek atau menitikkan air mata.
Tapi hari ini, air matanya terus mengalir untuk Huzi.
Laki-laki sejati tak mudah menangis, kecuali saat hatinya benar-benar tersayat...
Tapi ada satu hal yang sampai sekarang tidak bisa kupahami, mengapa aku dan Leizi yang sudah mengikuti petunjuk An Rushuang dengan mengikat tali merah di jempol dan tidur di bawah ranjang, masih bisa terkena sihir tukang santet itu?
Hampir saja mati tenggelam dalam mimpi!
Mungkinkah cara An Rushuang ini sudah diketahui oleh tukang santet itu? Untuk sementara hanya bisa dijelaskan seperti ini.
Setelah lama, Leizi baru menatapku dan bertanya: "San Ge, menurutmu apakah kemarin kita hampir mati tenggelam itu benar-benar karena dikenai santet? Apakah pamanku benar-benar ingin membunuhku?"
"Sampai sekarang masih belum mengerti? Aku tidak tahu apakah yang menyantet adalah pamanmu, tapi dia pasti tahu semua tentang hal ini. Mengapa dia memanggilmu ke sini justru pada hari ketika rumah ini dipasangi santet? Menurutmu apa maksudnya?" tanyaku pada Leizi.
Leizi terdiam oleh pertanyaanku, membuka mulut lama akhirnya berkata dengan marah: "Nanti kalau paman datang, pasti akan kutanyakan langsung! Keluarga kami tidak pernah bermasalah dengan keluarganya, untuk apa dia mau membunuhku?!"
"Jangan gegabah. Pamanmu bukan orang bodoh. Kita tidak punya bukti, kalau dia tetap mengelak, apa yang bisa kita lakukan?" kataku pada Leizi.
"Lalu harus bagaimana?" tanya Leizi.
"Jangan panik dulu, biarkan aku berpikir." Kataku sambil mulai merenung.
"Ada ide!" Sekilas inspirasi muncul di kepalaku.
"San Ge sudah dapat ide?" tanya Leizi menatapku.
"Aku melihat ke luar jendela pada langit yang mulai terang dan berkata pada Leizi: 'Bagaimanapun juga, Paman Keduamu harus kembali hari ini untuk meneruskan ilmunya, kan?'"
"Betul!" Leizi mengangguk.
"Kalau begitu kita sembunyi dulu, berpura-pura mati tenggelam karena jadi korban Ilmu Tumit. Nanti saat Paman Keduamu pulang, kita mengintai dari tempat gelap untuk mencari secercah petunjuk di tubuhnya." Aku menjelaskan pada Leizi.
"San Ge jago juga ya, akal yang bagus! Ayo kita lakukan!" Leizi menepuk tangan dan menyetujui.
Demikianlah, aku dan Leizi membereskan pondok kayu sebentar, membuat kesan seolah kami sudah keluar melalui jendela dan tidak pernah kembali. Kemudian aku berbicara langsung dengan Paman Li, menyatakan kecurigaanku bahwa paman kedua Leizi berniat mencelakai Leizi. Setelah mendengar penuturanku, Paman Li menghela napas dan berkata, "Nak, jujur saja, sebelumnya aku sudah merasa anak itu Jiang Ran ada yang tidak beres. Dia sering bangun tengah malam membakar dupa di rumah, membuat merinding. Sehari sebelum kalian datang, dia membakar dupa hampir semalaman. Dari pondokku ini aku cuma bisa diam takut. Makanya saat kalian tiba, waktu makan aku sengaja bertanya tajam ke si Leizi itu."
Aku mengangguk mendengarnya, lalu berkata pada Paman Li:
“Paman Li, bagaimanapun juga, kita hanya bisa menebak sekarang. Aku ke sini ingin minta bantuanmu.” Sambil mengatakan ini, aku segera menceritakan pengalamanku dan Leizi tadi malam serta rencana hari ini kepada Paman Li.
Aku sudah berjanji dengannya bahwa jika paman kedua Leizi, Cheng Jiangran, datang hari ini dan menanyakan kami, dia akan bilang tidak melihat.
Paman Li segera mengangguk dan menyetujui permintaan itu.
Begitulah, aku berpamitan dengan Paman Li dan kembali ke pondok kayu. Melihat Leizi yang sedang sibuk di dalam, kukatakan padanya: "Leizi, tunggulah sebentar di sini. Pamanmu belum mungkin datang saat ini. Aku akan mencari beberapa batang rumput ungu untuk dioleskan ke Huzi. Hanya mengandalkan Yunnan Baiyao saja, efeknya terlalu lambat."
Leizi mengangguk:
"Baik, aku akan antar Huzi ke pondok Paman Li dulu."
Aku keluar dari pondok kayu dan langsung menuju padang rumput di belakang. Biasanya di area seperti itu banyak tumbuh rumput ungu.
Rumput ungu alias Zizhu Cao, di daerah kami biasa disebut rumput penghenti darah. Memiliki khasiat menghentikan pendarahan, mengurangi bengkak, dan yang terpenting bisa meredakan nyeri!
Karena itulah aku ingin mencari beberapa batang Zizhu Cao untuk Huzi. Akan kulembutkan dan tempelkan di lukanya agar dia tak terlalu menderita.
